Sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya, Malang (tahun 1985-1999), penulis punya kelompok diskusi dan penulis. Beberapa di antaranya menjadi penulis kelas nasional, seperti: Nico Andas Putra yang juga menulis dan menerbitkan monografi mengenai etnisnya, yakni Dayak Kanayatn (Lembaga Literasi Dayak, 2017).
Selain Nico, anggota klub diskusi dan penulis itu adalah Kalvin, Laurentius Doby, Serafinus Jompau –yang juga menaruh minat dan meneliti mengenai Dayak, ada yang dari sisi adat perkawinan (Jompau) dan sebabai penganut kepercayaan asli nenek moyang (Doby).
Di luar klub diskusi penulis “Dayak STFT WD”, ada Djuweng, Julipin Stanza, Edy Petebang. Mereka, kawan seangkatan dulu di SMA St. Paulus, Nyarumkop (Kalimantan Barat) yang kuliah di perguruan tinggi negeri terkenal di Pontianak, Kalimantan Barat, yakni Universitas Tanjung Pura. Kami sering diskusi via tulisan, saling mengritik, saling mengkritisi. Julipin misalnya, bersama sama kerap “adu jotos”, sampai keluar urat leher mengenai asal usul suku bangsa Dayak. Jika mau mencari arsipnya, silang-pendapat itu ada di majalah Fokus ketika itu, saingan Tempo yang sangat kritis.
Kelak di kemudian hari, mereka berkembang karena mengasah kompetensi dan menjadi cendikiawan muda-penulis yang di Pontianak ini menjadi sangat penting perannya dalam usaha mendirikan sekaligus menggelorakan literasi Dayak. Tanpa memberikan embel-embel dan tegas dengan moto, seperti Lembaga Literasi Dayak, Juweng dan Julipin dkk. (bersama Paulus Florus dan tokoh muda intelektual Dayak lainnya) bekerja sama dengan Konferensi Waligereja Indonesia (LP3S-KWI) mendirikan institute of Dayakologi Research and Development – IDRD yang menjadi cikal bakal Institut Dayakologi atau ID.
Pada era keemasannya, sebelum kantornya di Jalan Imam Bonjol terbakar habis bersama arsip-arsipnya, IDRD dengan majalah Kalimantan Review sangat disegani dan dijadikan acuan karena hasil penelitian dan publikasinya yang berkualitas. Ratusan Folklor diteliti, dituliskan, dan dianalisis. Demikian juga halnya dengan kesenian, budaya, adat istiadat, dan sebagainya.
Lembaga ini pula yang pada tahun 1992 sangat berjasa menyelenggarakan Seminar Internasional Kebudayaan Dayak di Pontianak, Kalimantan Barat. Seminar diikuti wakil-wakil Dayak dari berbagai belahan bumi Borneo, intelektual, cendekiawan, peneliti, penulis, yang juga dari luar, yakni non-Dayak. Meski secara fisik, saya tidak turut aktif di dalam Seminar itu, namun peran saya lumayan berarti. Ketika Palus Florus, salah seorang pengurus dan orang pening di IDRD mengontak saya sebagai wakil Penerbit PT Grasindo, di Jakarta, sisters company-nya Kelompok Kompas Gramedia.
Prosiding Seminar Internasional Kebudayaan Dayak di Pontianak yang momentum dan isinya penting itu.
Usai Seminar itu, paper, makalah, paparan lisan yang ditranskrip dikumpulkan. Lalu disunting oleh Paulus Florus dan dikatapengantari oleh Michael R. Dove. Memang penerbitan prosiding Seminar itu dibiayai IDRD, namun sebagai rasa hormat dan agar tidak menyalahi tata krama, saya mohon izin dan memberi tahu petinggi Kompas Gramedia. Saya diterima August Parengkuan, ketika itu, di lantai IV kantor Kompas, Jalan Palmerah Selatan 22, Jakarta.
Setelah saya presentasikan isinya yang merupakan hasil dari paparan dalam Seminar internasional itu, Mas Agus memberi lampu hijau. Nihil obstat – tidak ada aral melintang. Maka terbitlah buku dengan cover dominan warna hitam, merah, putih; warna khas Dayak itu (Kelak, Agus tidak mengizinkan naskah yang isinya mengenai konflik etnis Dayak-Madura di Kalimantan Barat diterbitkan Grasindo).