The History of Dayak | Dayak Menulis dari Dalam

Preambul:
Dayak Menulis dari Dalam – adalah motto Penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Gamblang saja maknanya. Selain penulisnya orang Dayak, kandungan yang menjadi sajian gizi menu literasinya: dalam.

Demikianlah! Sejak November 2015, telah keluar sebanyak 244 ISBN LLD. Beberapa buku, tidak menggunakan ISBN, tetapi cukup Google Key. Ke depan, buku-buku yang tidak harus untuk CUM, atau kenaikan pangkat/ golongan untuk dosen dan guru dan ASN, LLD cukup dengan Google Key.

Oleh sebab fokus kita terkait judul narasi, maka kembali ke laptop:

Sejarah Dayak Mulai dari Mana?
DARI mana kita mulai sejarah Dayak? Apakah terhitung semenjak terminologi, labeling, dan pertama kali istilah untuk menyebut penduduk asli pulau Borneo itu diperkenalkan Hogendorph tahun 1757? Atau jauh sebelumnya, ketika prasasti Yupa didirikan di Muara Kaman, wilayah Kalimantan Timur sekarang, pada pengujung abad ke-4 M? Ataukah, sesuai dengan kaidah penelitian dan penulisan sejarah yang berdasarkan kronologis waktu; sehingga mulai dari zaman prasejarah? Sedemikian rupa, seurut dengan waktu yang dianggap sebagai tonggak yang menandai peristiwa dan kejadian yang terjadi dan dialami Dayak dari masa ke masa?

Sebelum Pembaca bertanya-tanya, Penulis lama telah merenung-renungkan hal itu. Setelah berdiskusi dengan beberapa cerdik cendikia, terutama dengan kawan-rapat Prof. Kumpiady Widen, seorang antropolog Dayak terpandang, akhirnya sistematika seperti buku ini.

Dalam “Kronologi Dayak” yang ditempatkan pada halaman muka buku ini, sebenarnya telah tersurat dengan sangat gamblang  konsep itu: Masa pra, atau sebelum Tahun 1757, adalah fase di mana identitas Dayak belum dikenal untuk menyebut penduduk asli, indigenous peoples, atau autokton[1], Borneo, pulau terbesar ke-3 dunia[2] yang pada masa pengaruh Hindu-India dikenal dengan sebutan “Varuna Dvipa”.

Pada Bab bab awal, bagian pertama buku ini nanti, kita akan banyak bertemu dan berdiskusi tentang topik ini. Hal ini penting, mengingat makin hari makin banyak terjadi bias, dan adanya dua aliran besar menyangkut asal usul, atau keaslian Dayak penduduk asli Borneo ini. Sebab ada penganut aliran lain, sebagai contoh, Sellato, Lahajir, dkk., yang meyakini dan telah menulis mengenai asal mula nenek moyang suku bangsa Dayak yang menurut mereka berasal dari Yunan. Dalam Dr. Marthin Billa Kekayaan & Kearifan Budaya Dayak (2017: 33). Pandangan Lahajir ini dikutip dan dijadikan acuan oleh peneliti dan penulis luar Dayak, Maunati (2004).

Dapat diringkas di sini, mereka yang menganut aliran/ pandangan yang menyebut bahwa asal usul nenek moyang Dayak dari  Yunan, Cina sebagai berikut: Oleh karena proses yang berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun lamanya, kelompok migrasi dari Yunan ke pulau Borneo ini menyebar, dan terpecah-pecah. Kelompok yang menyebar dan terpecah-pecah itulah yang diyakini oleh aliran ini “menjadi”, atau dalam proses alamiah-evolutif kemudian dikenal dan disebut dengan “Dayak”.

Dalam perspektif sejarah, aliran ini cukup lemah. Syarat-mutlak sejarah tidak pernah dapat dibuktikan secara meyakinkan. Misalnya, apa peristiwanya? Di mana pertama kali mendarat? Siapa tokohnya? Tahun berapa? Jawaban atas pertanyaan bahwa Dayak berasal dari Yunan ini, tidak pernah kita dapatkan. Yang ada, “konon katanya….” atau , “dapat diduga”, dan seterusnya. Ini bukanlah pendekatan akademik yang bertumpu pada fakta dan dokumen.

Sejauh yang dapat kami telusuri, pustaka dan referensi yang mengulas dan menjelaskan dengan cukup meyakinkan asal usul dan penggolongan Dayak adalah Fridolin Ukur (1971), Tjilik Riwut (1952), dan Lontaan (1975). Akan tetapi, jika diperhatikan dengan saksama, itu adalah sumber sekunder. Mereka mengutip sumber primer dari penulis-peneliti Dayak sebelumnya, seperti Duman, Malinckrodt, Stohr, atau Nieuwenhuis. Contoh, Ukur (1971: 52) mengutip penggolongan Dayak oleh Malinckrodt yang mengelompokkan penduduk asli Borneo yang disebut sebagai stammenras.

Akan tetapi, dikemudian hari ada beberapa ilmuwan dan peneliti “dari dalam” yang mengembangkan dan menemukan fakta bahwa jumlah subsuku Dayak jauh lebih banyak dari yang disebutkan para peneliti dan penulis sebelumnya. Sebagai contoh: Alloy, Albertus, dan Istiany (2008) meneliti dan menemukan bahwa hanya di Kalimantan Barat saja terdapat 151 subsuku Dayak – bilangan yang jika diteliti lagi subsuku Dayak lainnya di provinsi lain di Indonesia (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara) ditambah di Malaysia dan Brunei Darussalam maka niscana bilangan subsuku Dayak lebih dari 405 sebagaimana yang sering menjadi rujukan banyak penulis dan peneliti yang mengacu kepada hasil penggolongan oleh Malinckrodt yang terdiri atas 6 stammenras (rumpun besar) dan 405 subsuku (dalam Lontaan, 1975: 48 – 64).

Bayangkan saja, hanya di Kalimantan Barat saja sudah 151 subsku Dayak. Jika diteliti dengan saksama, dengan meng-up date data, niscaya ada 600-700 subsuku Dayak. Ketika meneliti dan mempublikasikan monografi Dayak Djongkang (2010), penulis menemukan kenyataan bahwa hanya subsuku Bidayuh, Jangkang, sub subsukuhnya ada: 11. Jadi, stammenras atau rumpun besar bisa menurunkan puluhan suku kecil-kecil.

Fakta yang sama terjadi juga di belahan wilayah lain di Borneo, yakni di Krayan, Kalimantan Utara. Selama ini, yang dahulu muncul dengan nomen clatur “Murut”, kini menjadi Lundayah (Di Malaysia dan Brunei: Lun Bawang). Diketahui faktanya bahwa saat ini yang disebut “Lundayeh” terdiri atas 4 subsuku, yakni: Lengilo, Tanah Lun, Sa’ban, dan Nan Ba’. Dahulu kala, hanya dikenal suku Murut saja, yang kemudian oleh Misionaris Presswood pada tahun 1941 terkenal menjadi Lundayeh.

Poin kita adalah bahwa penggolongan etnis Dayak di masa lalu itu penting, sebagai pedoman dasar, dan jika berdasakan sebaran maka memang benar dan tepat serta berlaku pada waktu itu. Seperti penggolongan Dayak oleh Nieuwehnuis (1894) yang mendasarkan penggolongannya pada peresebaran tempat tinggal dan pemukiman orang Dayak. Pada masa kini, sudah musykil untuk membuat peta dan penggolongan Dayak berdasarkan persebaran seperti waktu itu lagi. Hal itu karena mobilisasi serta dinamika perubahan sosial yang sangat cepat sedemikian rupa, sehingga konsentrasi dan persebaran Dayak tidak seperti dahulu kala lagi.

Dalam konteks itu,  kita merindukan sekaligus mendukung, adanya penelitian baru sekaligus up date terhadap dinamika dan perkembangan subsuku Dayak dari masa ke masa.

Saya membangun teori bahwa Dayak tidak dari mana pun. Ia dari sini dan di tempat ini (Borneo). Apa argumennya? Apa dukumennya? Selengkapnya, baca tuntas buku ini! 

[1] Dari kata Yunani, yang secara harfiah berarti: dari sini dan di tempat ini, tidak dari mana pun juga, bukan impor dari luar (Bakker, 1972: 1). Biasanya digunakan sebagai lawan kata dari alokton (sesuatu atau hal yang berasal dari luar, tidak orisinal, impor). Citarasa maknanya cukup dalam dibandingkan “penduduk asli”, hampir sama bobotnya dengan istilah Inggris, indigenous peoples. Adapun istilah Inggris ini sendiri diderivasi dari kata Latin indigena, yang berarti “berasal dari tanah, asli”. Indigena adalah khasanah Latin Kuno indu “di atau di dalam” plus kata gignere “untuk melahirkan, menghasilkan”.

[2] Dengan luas 748.168 km², Kalimantan adalah pulau terluas ke-3 dunia. Pada urutan kedua adalah New Guinea dengan luas /821.400 km²; dan pada urutan pertama adalah pulau Greenland yang luasnya 2.166.086 km² – menurut sumber https://www.britannica.com/list/the-largest-islands-in-the-world

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply