Saya menyerahkan buku hasil penelitian berjudul Ketungau Tesaek kepada Prof. Gelgel Wirasuta, toxicolog, ahli peracunan dan fermentasi lulusan Jerman, di Bedugul, Bali.
Ada kemiripan dari sisi sejarah antara Bali dan Dayak. Dilakukan comparative study.
Ini kolaborasi para ahli.
1. Prof. Gelgel Wirasuta, dalam kapasitasnya sebagai toxiolog, pernah jadi saksi ahli dalam perkara/ kasus Munir.
2. Ia juga saksi-ahli kasus Jessica, dalam hal perkara kopi-beracun ataukah tidak?
Prof. Gelgel Wirasuta juga piawai menafsirkan tanda (semeion), artefak, patung, benda-sejarah, arkeologi, serta paham dalam hal sejarah-budaya Bali.
Saya melakukan studi komparasi: Mengapa Bali menjadi Bali, sedangkan Dayak belum menjadi Dayak? Di mana letak perbedaanya? Jawabnya dua-patah kata saya: KUASA BUDAYA.
Kami telah pun berdiskusi ihwal kemiripan Dayak-Bali yang sama-sama dipengaruhi Hindu-India.
Saya telah pula berkunjung ke lokus-sejarah peradaban Borneo yang dipengaruhi Hindu-India, di Kutai Kertanegara. Semula, kerajaan Dayak (asli), yakni Kudungga. Dipastikan, dari bukti-sejarah, itu akhir abad 4 atau awal abad 5 Masehi.
Saya juga ke lokus sisa-sisa pengaruh Hindu di Tumbang Mangu, Katingan. Dari upacara, ritus, bangunan, persembahan, kepercayaan lokal mirip, bahkan sama, dengan Hindu-Bali.
Di Mentaren, Kalimantan Tengah, bahkan Bali eksis dari semua aspek budaya –menurut definisi Kroeber dan Klukhohn.
Terdapat perkampungan Bali di sana. Namun, hingga kini, belum ada kampung Dayak di Bali.
Tapi akan ada, dalam waktu dekat, sebab saat ini tengah dibangun oleh Sandy Texun, seorang pengusaha yang mengusung konsep sosiopreneur. Ia sudah berdiskusi dengan saya, ihwal “Kampung Dayak”, arsitektur, bangun-budayanya, serta nuansa keDAYAKan di Bali.
Lokus kampung Dayak di Bali sedang dirancang di Bedugul.
Tunggu realisasinya.