Kuasa Budaya Dayak

Penampakan sukubangsa Dayak pada hari ini: keren dan bening-bening. Penuduk asli Borneo yang makin menjadi, tumbuh kembang sesuai zaman.
Apakah bidang kehidupan, yang digolongkan ke dalam “kebudayaan” yang omnipotens? Yang paling berpengaruh, dan karena itu omnipotens?
Politik? Tidak! Paling politik menguasai hajat hidup manusia 5, atau 10 tahun. 
Ekonomi” Bukan! Paling tahan, kuasa ekonomi bertahan 3 generasi. Setelah itu, tumbang!
Lalu apa? 
Camkan mengapa Cina berkuasa, dan punya daya tawar (bargaining position) serta menguasai sebagian besar dunia. Juga bangsa Israel. Mengapa? Hal itu karena adat-budaya mereka kuat. Berlaku di mana pun sampai kapan pun! 
Jika etnis Dayak ingin “berkuasa”, lakukan apa yang orang (etnis) sukses lakukan!

Dayak sukubangsa asli (indigenous people) Borneo. Fakta ini telah menjadi pengetahuan umum. Tidak mungkin untuk dibantah lagi. Bahwa penduduk dengan populasi 8 juta sedunia penghuni pulau terbesar ke-3 itu memiliki kebudayaan tinggi, hal ini menjadi pengakuan dunia.
Rasa-rasanya, hampir tak ada sukubangsa di dunia ini yang begitu menarik demikian banyak minat orang untuk menelitinya. Betapa tidak. Suku ini memiliki 6 rumpun besar, dengan 405 subsuku. Telah ratusan, bahkan ribuah publikasi (monografi) telah dipublikasikan. Meski demikian, masih menyisakan banyak celah (topik) terra incognita, yang belum diketahui.

Budaya, sebagaimana kita ketahui menurut Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengandung 7 dimensi. 

Orang kerap silau dengan kuasa ekonomi dan poltiik. Namun, alpa dengan kuasa budaya. Kuasa yang sebenarnya amat mendasar. Sekaligus berdaya dahsyat, meski bekerja dalam diam. Oleh karenanya, langgeng sepanjang zaman.

Kali ini, narasi kita tentang “kuasa budaya”. Bagaimana Dayak dan masa depannya nanti ketika Ibu Kota Negara Indonesia (IKNI) berpusat di tengah Indonesia. Pada tempat (bukan di mana sebab “di mana” terjemahan lurus dari kata Inggris “in where” yang kerap disalahgunakan bukan pada tempatnya) nanti, jika jadi, suku bangsa Dayak berbudaya.

Hal yang membuat sekelompok orang menjadi suatu suku atau golongan etnis adalah askripsi (ascription). Inilah proses sosial yang menaruh cap, tanda (labeling), pada orang, tanda apa saja.

Penyamak kulit di Jepang, yang dikenal sebagai suku Barakumin, dulu ditandai sebagai Eta, yang berarti: “penuh kotoran”, jorok, bego, kasar, dan sebagainya.

Di Sri Lanka, ada Rodiya, yang juga berarti “yang kotor”. Di Indonesia, dulu di Batavia, penggali parit dari Tegal dan Cirebon disebut “Jawa Lumpur” (Modder Javanen) dan diperlakukan sebagai satu suku.

Orang kerap silau dengan kuasa ekonomi dan poltiik. Namun, alpa dengan kuasa budaya. Kuasa yang sebenarnya amat mendasar. Dan berlaku sepanjang segala masa.

Askripsi adalah gejala interaksi, bukan gejala isolasi. Askripsi terjadi ketika beragam orang bertemu dalam bermacam lapangan kehidupan. Namun, dalam pertemuan itu seseorang tidak diperlakukan sebagai pribadi, melainkan sebagai contoh atau wakil kelompok dengan cap tertentu.

Menurut Wee dan Lang dalam Saha (2006: 61), askripsi adalah… “identity requires “identiy work” –that is, the work of constructing an identity that is simultaneously inclusive (to insiders) and exclusive (to outsiders). Such “identity work” focuses on linking oneself to local cultural markers.” (Identitas askriptif membutuhkan “kerja identiitas” -yaitu, pekerjaan dari membangun sebuah identitas yang bersamaan inklusif (orang dalam) dan eksklusif (orang luar). Seperti “kerja identitas” berfokus pada menghubungkan diri ke penanda budaya lokal.)

Parakitri dalam tulisannya di Tempo (Tempo 11 Maret 2000) mengemukakan bahwa masuknya faktor waktu atau sejarah, kemudian mengubah askripsi menjadi deskripsi, sikap dan cara bertindak, alias rules of conduct.

Para sarjana menyebutnya “cultural ethnicity.” Berkat Belanda selama ratusan tahun, Jawa dianggap berperangai halus dan terkendali, sedangkan etnis tetangganya dipersepsikan kasar dan terus terang.

Begitulah etnisitas berisi mitos, ingatan kolektif, lambang, dan nilai, ibarat benda-benda berbeda di ruang tiga dimensi melemparkan bayangan seekor binatang buas di dua dimensi.

Para pecandu kekuasaan bisa dengan mudah memainkan semua itu. Waspadalah! Waspadalah!

Manakala ada bara api di sekam, ada sekelompok/ segelintir orang ingin memantik, kemudian menyulutnya menjadi kerusuhan massal, massa beringas, amuk massa; kemudian muncullah apa yang dalam kamus2 yang hanya dimengerti dan dipegang para etnolog sebagai “manual” istilah “rust en orde”. Bikin rusuh dulu. Kemudian, kuasai mereka.

Itulah yang saya amati, terutama dalam tragedi kemanusiaan di Kalbar pada 1967, 1997 dan kemudian Sampit.

Bila kekuasaan menjadi motif dalam pergaulan sosial, sentimen etnis dikipasi. Cultural ethnicity berubah menjadi political ethnicity. Inilah yang terjadi di Indonesia sekarang, setelah kurang lebih satu dekade dikipasi.

Pengalaman sejarah, Ibukota RI di tanah Jawa, dekat Pusat Sunda, sama sekali tidak membuat orang Jawa berubah menjadi suku lain dan Sunda menjadi suku lain pula. Mengapa?

Inilah yang perlu kita dalami dan belajar. Kekhawatiran Dayak akan punah setelah pindah IKNI, suatu yang berlebihan. Dalam bahasa Stoltz, bagaimana: turn obstabcles into opporunities

Saatnya Adversity Quotient (AQ) orang Dayak yang dimanjakan alam selama berabad-abad, diasah dan dipertinggi sesuai situasi kondisi. Kebiasaaan menghabiskan rezeki yang didapat hari ini untuk hari ini, perlu ditanamkan sikap menabung untuk hari esok.

Saya lalu teringat adagium yang ditemukan kawan-rapat dan teman diskusi saya, Dr. Yansen Tp: Bukan tempat yang mengubah kita, tapi kitalah yang mengubah tempat (dalam arti luas).

Dayak: sukubangsa penghuni asli bumi Borneo.

Kita menganut keyakinan: Setiap generasi punya gen dan kecerdasan untuk mengatasi persoalan zamannya. Syaratnya: jangan warisi beban sejarah dan ketakutan masa lampau kepada generasi berikutnya.

Tapi kita, orang tua, wajib memberi arah, semangat, dan mewarisi nilai-nilai luhur. Benih padi yang kita semai tidak semuanya tumbuh, akan tetapi jika kita menabur terus, kita pasti akan menuai. Jangan berhenti menabur. 

Perkara ada yang mati, yang kerdil, yang subur dan berbuah, itu soal usaha, berkanjang, dan memelihara. Juga harapan dan doa.

Belum banyak yang menyadari bahwa KUASA BUDAYA ini lebih mustajab dibanding kuasa-kuasa lainnya, termasuk kuasa ekonomi dan politik.*)

Share your love
Avatar photo
Biblio Pedia
Articles: 242

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply