Gonjang ganjing. Dan hiruk pikuk terjadi dalam panggung politik nyata depan mata kita pada ketika ini. Pemandangan itu seolah menjadi peta kehidupan politik yang tidak pernah berhenti berdinamika.
Saling jual-beli, transaksi dalam politik, gila jabatan, pengkhianatan, dan intrik memenuhi layar politik. Kadang mengaburkan visi dan harapan banyak orang.
Menyaksikan berbagai peran yang dimainkan dalam panggung politik, pertanyaan pun muncul begitu saja dalam benak warga negara,
“Begitukah etika berbangsa dan bernegara? Bila rekonsili nasional benar-benar nyata, bukan pura-pura?”
Politik, seharusnya menjadi kendaraan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Wadah untuk mengatasi permasalahan bersama sebagai bangsa. Dan jembatan emas untuk membangun fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Namun, realitanya, politik seringkali diwarnai oleh aksi saling menginjak, menjatuhkan, dan mengambil kesempatan. Etika sepertinya semakin menghilang dari perbincangan dan tindakan para politisi.
Metanoia politik
Dalam narasi yang sebelumnya, kita telah mengecap serba-sedikit “ading” naskah kuna politik yakni Politeia https://bibliopedia.id/mimpi-indonesia-dipimpin-oleh-filsuf/?v=b718adec73e0. Jika ente jual ane beli berlanjut. Maka begitulah seterusnya. Sedemikian rupa, sehingga tidak pernah putus dendam-politik sebagai mata-rantai.
Setiap kebohongan yang diucapkan, janji yang diingkari, dan kepercayaan yang dikhianati hanya akan mengakumulasi kebencian dan ketidakpercayaan di antara sesama.
Rekonsiliasi politik tampaknya menjadi utopia ketika para pemimpin dan pejabat lebih memilih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok ketimbang memikirkan, apalagi mengutamakan kemaslahatan bersama.
“Ketika dendam terus bertengger dalam hati, maka damai itu tak akan pernah hadir,” begitu kata seorang bijak. Balas dendam menjadi jalan yang dipilih untuk merespon tindakan yang menyakitkan.
Tak jarang, pertikaian politik yang diwarnai dendam berakhir dengan kompetisi merusak, tanpa mencari penyelesaian yang baik.
Namun, di tengah gejolak politik dan dendam yang meluap, ada kekuatan yang lebih besar, yakni The Power of Forgiveness. Kata ini positif. Forgiveness terlalu dangkal diterjemahkan dengan: memaafkan. Melainkan dengan kata “mengampuni”. Ini pun sepatah kata yang tidak dapat menampung semua makna, apalagi merangkum seluruh realita yang termuat di dalam kata itu.
Kata “memaafkan” seringkali dianggap sebagai tindakan lemah atau kekalahan, padahal sebenarnya, mengampuni adalah sikap yang luhur dan penuh keberanian. Ia bukan hanya sekedar melupakan dan melupakan, tetapi lebih dari itu, ia adalah menghadapi dan mengatasi emosi dan ketidakadilan dengan bijaksana.
Kuasa mengampuni
The Power of Forgiveness adalah kemampuan untuk memaafkan kesalahan orang lain tanpa mengharapkan balasan atau keuntungan pribadi. Mengampuni bukan berarti melegalkan kesalahan atau menutup mata terhadap ketidakadilan, tetapi sebaliknya, ia adalah langkah pertama untuk menciptakan kedamaian dan mencari jalan keluar dari konflik yang tak kunjung berujung.
Seorang guru bijak tengah mengajar murid-muridnya tentang pentingnya mengampuni. Topik yang ia angkat adalah perdamaian, sebuah nilai yang sangat berharga dalam kehidupan bermasyarakat. Sang guru memberikan pelajaran yang tidak hanya aktual, tetapi juga sarat dengan muatan filosofis.
Dalam kelas itu, ada seorang pendengar yang sangat terkesima dengan penjelasan sang guru. Ia merenungkan betapa kuatnya pesan tentang mengampuni, namun sekaligus menyadari betapa sulitnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama di panggung politik yang penuh dengan intrik dan keserakahan.
Kesalahan harus dengan mudah dihapus dari ingatan. Sebaliknya, berapa kali mengampuni, harus dicatat dalam prasasti. Agar abadi. Dan selamanya diingat.
Lalu, tanpa ragu, ia mengacungkan tangan dan bertanya, “Guru, berapa kalikah kami harus mengampuni? Satu kali? Dua kali? Tiga kali? Atau tujuh kali?”
Sejenak sang guru terdiam. Matanya menatap tajam si murid. Namun, tak berapa lama kemudian, ia menengadahkan wajahnya ke langit. Seperti mencari jawaban dari sana. Setelah itu, ujung jarinya lembut menyentuh permukaan tanah. Ia hendak menggurat sesuatu. Lalu bertanya kembali pada muridnya,
“Kesalahan apa yang dilakukan orang tersebut pada kamu?”
Si murid dengan tegas menjawab, “Orang itu telah mengingkari janji. Katanya akan membayar utang hari ini, tapi sama sekali tidak melakukannya.”
Sang guru pun mencatat kesalahan orang yang telah melakukan kesalahan pada muridnya: ingkar janji. Kesalahan ini ditulisnya di permukaan tanah.
Selanjutnya, sang guru menjawab pertanyaan, “Berapa kali orang harus mengampuni?” Begitu bijak sang guru, sehingga dalam menjawab pertanyaan ia justru bertanya balik. “Menurut keyakinanmu, berapa kali orang harus mengampuni?”
Si murid ingat buku suci yang pernah dibacanya, “Tujuh kali, guru.”
Aku berkata kepadamu, kata sang guru, “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Sembari berkata demikian, sang guru menulis angka 70 x 7 di permukaan batu prasasti.
Mengapa kesalahan seseorang ditulis sang guru di atas permukaan tanah? Sedangkan berapa kali harus mengampuni di atas batu prasasti?
Kesalahan harus dengan mudah dihapus dari ingatan. Sedangkan berapa kali mengampuni, harus dicatat dalam prasasti. Agar abadi. Dan selamanya diingat.
sumber ilustrasi: https://centralrecoverypress.com/product/the-power-of-forgiveness
***