“Jurnalistik sastrawi” digunakan, setelah diskusi dengan para pakar bahasa Indonesia. Judul dan substansi buku tidak menggunakan “jurnalisme sastrawi”. Mengapa? Karena salah kaprah. Perhatikan dengan saksama: Ada dua patah kata sifat (predikat), sehingga bingung mana menerangkan dan mana yang diterangkan. Dalam logika, “apa yang dikatakan mengenai subjek adalah predikat”.
Jadi, yang menggambarkan fakta adalah ” jurnalistik sastrawi”. Relasinya di sini subjek dan predikat. Dalam bahasa Inggris, -ism memang dapat kata benda. Tapi, begitu diindonesiakan, harusnya kata benda juga (tik, bukan isme). Lihatlah buku-buku jurnalistik sebelumnya, misalnya Rosihan Anwar atau Djafar Asegaff yang menggunakan “jurnalistik” dalam Bahasa Indonesia Jurnalistik dan Jurnalistik Masa Kini.
Bukan Bahasa Indonesia Jurnalisme dan Jurnalisme Masa Kini.
Siapa pembaca wajib buku ini?
Mahasiswa jurusan jurnalistik, dosen, jurnalis, dan calon penulis. Pertama dalam bahasa Indonesia!
Harga rp 52.500
Penerbit Salemba,Januari 2010
Agar tidak melanggar etika, dalam blog ini saya muat pengantar dan daftar isinya saja. Pembaca yang berminat memesan, dapat mengontak saya.
JURNALISTIK era new media, bukan semata-mata menuntut seorang jurnalis terampil merangkai dan menyampaikan fakta (pesan) kepada khalayak. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban masyarakat, seorang jurnalis masa kini dituntut pula menguasai ilmu pengetahuan yang relevan dan konvergen, cakap menggunakan media sebagai tools penyampai pesan, selain terampil menulis.
Dengan kata lain, seorang jurnalis masa kini dituntut menjadi knowledge worker, sebagaimana tuntutan pada dunia industri maju lainnya. Dengan demikian, posisi tawarnya semakin tinggi dan profesi yang digelutinya menjanjikan ditilik dari status sosial dan segi finansial.
Sehubungan dengan itu, kurikulum pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi dituntut link and macth dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Molly Blair (2006: 159) Putting the Storytelling Back into Stories: Creative Non-fiction in Tertiary Journalism Education mencatat kompetensi yang harus dimiliki jurnalis masa depan sebagai komunikator massa. Bahwa sejak di bangku kuliah, mahasiswa harus banyak membaca dan mengemulasi tulisan-tulisan bermutu. Sembari, memelajari pula disiplin ilmu lain yang terkait, secara konvergen. Hanya melalui jalan ini, seorang jurnalis akan terampil merangkai fakta dengan hati.
Itu sebabnya, substansi buku ajar yang khusus disusun guna memenuhi kebutuhan belajar-mengajar Fakultas Ilmu Komunikasi ini mengacu pada kompetensi jurnalis masa depan: cerdas dalam nalar dan terampil dalam menulis. Dalam istilah jurnalistik masa kini, seorang jurnalis harus memiliki kompetensi clear thinking dan clear writing sekaligus.
Dalam pada itu, mahasiswa pun perlu diberikan orientasi mengenai peluang karier, terutama di bidang kecerdasan olah kata dan bahasa (word smart). Bahwa di masa datang, orang yang memiliki kecerdasan ini dapat hidup layak dari keterampilannya.
Namun, lebih dari itu semua, agar tetap eksis, dan dapat bersaing dengan multimedia lain yang menawarkan kecepatan dan juga keanekaragaman sajian, para pekerja media cetak di Indonesia selayaknya dibekali dengan kemampuan berpikir kreatif. Misalnya, dengan mencipta entah rubrik baru, entah genre baru penulisan seperti dilakukan para pelaku media cetak di Amerika Serikat.
Ketika pada awal 1970-an tayangan TV dan media elektronika begitu gencar menyerang keberadaan media cetak, tantangan dijawab Tom Wolfe. Wolfe mengenalkan genre baru dalam dunia jurnalistik yang disebut dengan “New Journalism”. Ia mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Laporan jurnalistik mengadopsi karya sastra, tapi faktual. Jenis jurnalisme ini mensyaratkan isi liputan yang dalam, namun tetap memikat.
Genre ini, kemudian dikenal dengan banyak nama, seperti: literary journalism, narative reporting, narrative nonfiction writing, literary nonfiction, creative nonfiction, factual fiction, documentary narrative, dan the literature of actuality (Edward Humes, “A Brief Introduction to Narrative Nonfiction”: 2007).
Buku ajar ini bukan saja membekali mahasiswa cakap secara nalar, tapi juga memunyai karakter yang baik. Itu sebabnya, disertakan pula rambu-rambu etika dalam jurnalistik dan bagaimana sejak dini (calon) jurnalis mengidentifikasi mana yang fakta dan mana yang opini.
Pada akhirnya, menjadi genaplah pembejalaran jurnalistik di perguruan tinggi, seperti dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosentiel, yang menegaskan kembali perlunya kerja jurnalistik terhubung dengan warga.
Gading Serpong, 1 September 2009
DAFTAR ISI
BAGIAN I
KECERDASAN OLAH KATA, KOMPETENSI MAHASISWA, SEJARAH, DAN PERTEMUAN JURNALISTIK-SASTRA
Bab 1
Kecerdasan Olah Kata (Word smart) dan Peluang Karier
1.1 Redefinisi Kecerdasan: Bukan Hanya IQ
1.2 Multikecerdasan
1.3 Peluang Karier
1.4 Writing Process
Bab 2
Tuntutan Kompetensi dan Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi
2.1 Tuntutan Kompetensi dan Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi
2.2 Membaca Menemukan Gaya
2.3 Pokok Bahasan dan Waktu yang Dibutuhkan
Bab 3
Jurnalistik dan Sastra dalam Lintasan Sejarah
3.1 Jurnalistik Zaman Romawi Kuno
3.2 Gutenberg dan Revolusi Pers
3.3 Sekelebat Sejarah Sastra
Bab 4
Jurnalistik Sastrawi sebagai Jurnalisme Baru
4.1 Ruang Lingkup Jurnalistik dan Sastra
4.2 Nama Lain Literary Journalism
4.3 Elemen Jurnalistik Konvensional
4.3 Sepuluh Elemen Sastra
4.4 Meramu Elemen Sastra
4.5 Karakterisasi
4.6 Point of View (sudut pandang)
4.7 Gaya Bahasa
4.8 Tema
4.9 Jurnalistik Sastrawi: Faksi
4.10 Jurnalistik Sastrawi menurut Para Pakar
4.11 Jurnalistik Sastra dan Perkembangannya di Indonesia
4.12 Sastra, Jurnalistik, dan Masyarakat
Bab 5
Logika sebagai Jalan Nalar Membuktikan dan Merangkaikan Fakta
5.1 Profesi Jurnalis dan Pertanyaan Filsafat
5.2 Logika sebagai Rangkaian Fakta dan Jalan Nalar Pembuktian
5.2.1 Asal Usul Logika
5.2.2 Alam dan kebudayaan Yunani
5.3 Apakah Logika Itu?
5.4 Induksi dan Deduksi: Jalan Menghasilkan PengetahuanBaru
Bab 6
Sillogisme: Jalan Mempraktikkan Deduksi
6.1 Sillogisme Kategoris
6.2 Bentuk-Bentuk Deduksi
6.3 Metateorikal Hasil
6.4 Taksonomi Logika
6.4.1 Logika Aristoteles
6.3.2 Logika Abad Pertengahan
6.3.3 Logika Modern
6.4 Logika dan Komunikasi Sehari-hari
Bab 7
Setiap Wacana Berawal dari Sepatah Kata
7.1 Struktur Bahasa
7.2 Kategori Kalimat
7.3 Argumen
7.4 Kapan Suatu Argumen Dapat Diterima?
7.5 Logika sebagai Cabang Filsafat Ilmu Pengetahuan
Bab 8
Merangkai Term sebagai Unsur Penalaran dengan Gaya Sastra
8.1 Term dan Kata
8.2 Isi dan Luas Term
8.3 Pembagian Term
8.3.1 Term menurut komprehensi
8.3.2 Term menurut ekstensi
8.3.3 Term menurut predikabilia
8.3.4 Term menurut kategori
8.4 Term sebagai Unsur Penalaran
8.5 Cerdas Merangkai Factum Menggunakan Term
Bab 9
Menulis dengan Hati, bukan Opini
9.1 Kode Etik Jurnalistik
9.2 Definisi dan Pengertian Kebenaran
9.3 Menulis Berdasarkan Fakta
9.4 Wacana sebagai Rangkaian Fakta, Bukan Opini
9.5 Jurnalistik Sastrawi: Menulis dengan Hati
Bab 10 Gaya Publikasi Jurnalistik Sastrawi
10.1 Gaya Publikasi
10..2 Unsur dan kaidah Sastrawi dalam Tulisan Kreatif Non-fiksi
10.2.1 Memoir
10.2.2 Biografi
10.2.3 Esai Personal
10.2. 4 Esai sastrawi
10.2.5 Artikel feature
10.2.6 Non-fiksi naratif
Bab 11
Literary Journalism: Paparkan, Jangan Katakan (Show, Don’t Tell)
11.1 Show, Don’t Tell
11.2 Persamaan antara Literary Journalism, Cerpen/Novelet/novel
Bab 12
Lead yang Mengail Minat Pembaca
12.1 Definisi Lead
12.2 Ragam Lead
12.1 Teras Ringkasan (Summary Lead)
12.2 Teras Paparan (Narrative Lead)
12.3 Teras deskripsi (Descriptive Lead)
12.4 Teras Tanya (Question Lead)
12.5 Teras Kutipan Langsung (Quotation Lead)
12.6 Teras Berkomunikasi Langsung (Direct Adress Lead)
12.7 Teras Berifat Teka Teki (Teser Lead)
12.8 Teras Imajinatif (Imaginative Lead)
12.9 Teras Kombinasi (Combination Lead)
Bab 13
Judul yang Memancing Minat Pemvaca
13. 1 Teknik Membuat Judul
13.1.1 Mengambil bulat-bulat nama tokoh utama
13.1.2 Menggabungkan tokoh utama dengan predikat
13.1.3 Simbolis
13.1.4 Alias
13.1.5 Intisari cerita
13.1.6 Persamaan dan Keindahan Bunyi (Eulogi)
13.1.7 Hasil Akhir
13.2 Kalimat (dan Alinea) Pertama
BAGIAN III
LITERARY JOURNALISM DALAM PRAKTIK
Bab 14 Proximity, Clarity, Accucary, dan Readability
14.1 Empat Kunci Sukses
14. 2 Fog Index dan Manfaatnya
14.3 Menerapkan Check Ability
Bab 15
Membaca Menemukan Gaya
15.1 Mencari dan Menempatkan Gagasan Pokok
15.2 Latihan
DAFTAR GAMBAR
Diagram 1.1 Multiple intelligences menurut Howard Gardner
Diagram 1.2 Proses menulis dimulai dari mencari ide
Diagram 1.3 Spider diagram untuk menemukan fokus dan alur tulisan
Diagram 2.1 Arus pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi dan tuntutan kompetensi lulusan
Diagram 2.2 Tuntutan kompetensi mahasiswa jurnalistik
Diagram 4.1 Model segitiga terbalik dalam jurnalisme tradisional
Diagram 4.2 Diagram plot
Diagram 4.3 Elemen karakter
Diagram 4.4 Dinamika struktur jurnalistik sastrawi dan persilangan antara jurnalistik dan sastra
Diagram 4.5 Pertemuan antara pendidikan jurnalistik dan kebutuhan industri dan masyarakat
Diagram 6.1 Generalisasi dan kekecualian
Diagram 7.1 Elemen bahasa dan ”proses menjadi” clear thinking dan clear writing.
Diagram 8.1
Tteknik dan struktur penulisan jurnalistik sastrawi
Diagram 8.2
Fakta (kebenaran) menjadi dasar jurnalistik sastrawi dengan menggugah emosi
Diagram 9.1 Dinamika kebenaran dalam liiterary journalism
Diagram 9.2 Dinamika pendekatan creative non-fiction
Diagram 10.1 Dinamika waktu literary journalism
Diagram 10.2 Gaya publikasi literary journalism
Diagram 11.1 Dinamika edorial dalam jurnalistik sastrawi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Klasifikasi tingkat IQ, frekuensi, tipe pendidikan dan profesi
Tabel 3.1 Karya jurnalistik sastrawi terbaik dunia abad 20