Satu ini saja. Seumur hidup, sejak menjadi penulis profesional pada tahun 1984, hanya ini satu-satunya antologi puisi saya.
Jujur, sejak mula pertama menjadi penulis, saya sebenarnya adalah seorang penyair. Puisi-puisi saya menghiasi halaman Sastra & Budaya harian Suara Indonesia, Hidup, Kemudi, dan berbagai media lainnya.
Namun, karena honor puisi yang kecil, saya kemudian beralih ke cerpen. Kemudian ke cerbung di harian Jawa Pos dan Surya (dua media cetak besar yang terbit di Jawa Timur) yang berani membayar lebih besar.
Apakah saya berhenti menulis puisi? Tidak! Puisi memang tidak membuat saya kaya. Namun, puisi membuat tulisan-tulisan saya menjadi kaya. Puisi tidak bisa dibandingkan dengan jenis tulisan lain. Memandang puisi, seperti menatap kaca benggala. Ada wajah kita terpancar dari dalamnya. Aku sangat mencintai puisi!
Antologi puisi Bathsheba Kucinta Dia ini adalah yang terlama saya siapkan dibandingkan dengan buku-buku lain: 3 bulan. Buku KP ini terbit tahun 2012. Selain menguras energi, pikiran, dan waktu; juga menguras modal.
Dananya pun keluar dari kantong sendiri untuk cetak dan distribusi. Bahkan, saat acara bedah buku dan peluncurannya, saya mengundang sastrawan sekelas Ahmadun Yosi Herfanda dan pembahas ahli Filsafat dan Feminis dari STF Driyarkara, Dr. Margareta van Eymeren.
Meski keluar biaya yang tidak sedikit, hati ini puas. Tak bisa ditakar kepuasan itu dengan dacin apa pun. Juga tak bisa ditukar dengan uang seberapa jumlah pun.
Puisi. Begitulah cara kerjanya!