Tidak semua hal yang dikerjakan, dan ditinggalkan, Kompeni di Nusantara ini buruk semua. Satu dua hal, harus diakui, baik adanya.
Misalnya saja, Kompeni mendatangkan bibit karet unggul jenis “land bouw” yang kami 5 tahun lalu masih punya. Batang pohonnya sebesar drum. Sedangkan lateksnya mengucur deras, banyak sekali (akan saya posting di narasi yang lain).
Land bouw adalah jargon Kompeni Hindia Belanda. Muncul dalam kalimat, “het bewerken van de grond om graan e.d. te laten groeien.”
Jadi, karena karet perbanyakannnya melalui generatif (biji) maka biji-bijian itu ditanam di tanah datar, tepi sungai, yang subur. Lidah orang pribumi tidak bisa menyebutnya, sehingga keseleo menjadi: lambau.
Alkisah, pohon penghasil karet pertama di Nusantara yang dipindahkan dari Amerika Selatan biangnya ditanam oleh Hindia Belanda di Buitenzorg (Kebun Raya, Bogor) sekitar tahun 1867 –demikian menurut catatan Swart (London, 1911).
Ketika melewati pos penjagaan waktu pulang, semua pekerja, diperiksa. Opas Kompeni mungkin mengira biji-biji orisinal pemberian Adam punya pemuda Jangkang lebih dari dua, sehingga biji-biji karet land bouw yang dimasukkan ke kantong celana ini pun, lolos….
Semula, tanaman yang tumbuh dan hidup di hutan-hutan wilayah Amazon, Amerika Selatan, ini mulai menyebar ke seluruh pulau Jawa, Sumatera, dan Borneo. Tahun 1876 telah menjadi salah satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah budidaya karet di Hindia Belanda.
Varietas karet land bouw ini biasa ditanam di dataran rendah– dan kapal yang membawa hasilnya lewat sungai-sungai, yang bermuara ke laut. Pada akhirnya, tiba di dermaga milik VOC di Sunda Kelapa.
Cerita ayah saya dan seorang pelaku sejarah (Yosef Basai), bibit karet unggul yang “dicuri dari VOC” ini didapat di daerah rubber onderneming kompeni di Meliau, Borneo Barat. Tidak boleh, dan tidak diperkenankan untuk dibawa ke mana pun waktu itu.
Namun, beberapa pemuda jangkang punya akal: memasukkan ke dalam kantong celana –dulu celana lebar dan longgar– biji-biji karet itu. Sedemikian rupa, sehingga bibit karet unggul kompeni, sampailah ke kami. Kali ini, kompeni diakali orang Dayak!
Ketika melewati pos penjagaan waktu pulang, semua pekerja, diperiksa. Opas Kompeni mungkin mengira biji-biji orisinal pemberian Adam punya pemuda Jangkang lebih dari dua, sehingga biji-biji karet land bouw yang dimasukkan ke kantong celana ini pun, lolos….
Sejak bilakah varietas super karet peninggalan VOC ini sampai di wiayah kami? Pastinya, telah lama sekali. Dari generasi ke generasi, telah mengisahkannya. Juga hidup dari menyadap karet. Komoditas “harian” yang lekas-hasil. Sebab disadap pagi, bisa dijual sore.
Sejak pindah rumah di Nanga Toboro, pada 1969. Suatu kawasan cukup luas di Jangkang yang dibeli ayah dari guru Akim, saya sudah melihat karet ini: land bouw di belakang rumah kami. Pohonnya angkuh. Tinggi menjulang. Namun, 5 tahun lalu ditebang adik saya, Fidelis Saputra dan Bojel Lijun karena khawair akan tumbang dan bisa membahayakan.
Akan tetapi, saya masih menyimpan mata-rantainya. Beberapa pohon saya cabuti. Kemudian, saya minta Bojel dan Emanuel membuat kreasi lebih gila daripada VOC. Jika VOC satu pohon satu kaki, kami satu pohon karetnya berkaki 3. Jadi, karet kami lebih super daripada kompeni (lihat penampakannya).
Itulah kisah mengapa kami di Jangkang masih punya karet warisan kompeni Hindia Belanda ini.
(bersambung)