MANUSIA ITU MAKHLUK YANG BERJALAN-JALAN DAN LALU PULANG LAGI

HARI INI-YANG SAAT ITU

Kita menemukan Sokrates di mana-mana. Ustad/ustazah bicara tentang Sokrates. Penyair menulis puisi tentang Sokrates. Mahasiswa filsafat tak ada bosannya tentu; juga mahasiswa macam-macam jurusan; tidak jarang mahasiswa bukan filsafat tahu lebih banyak soal Sokrates daripada mahasiswa filsafat.

Pak Haji tahu juga tuh Sokrates —kata dia Sokrates bukan nabi. Pak Fulan bin Fulan yang tak lagi solat dan mengatakan semua agama adalah candu tahu juga —kata dia Sokrates adalah nabi yang layak masuk sorga. Aneh juga.

Guru seni bahkan dapat melukis wajah Sokrates seakan dia muridnya yang disuruh duduk di taman sekolah yang ditumbuhi mawar dan jadi model lukis seperti Si Gadis Remaja yang disuruh demikian oleh Pak Ito dalam cerita Osamu Dazai[1].

Kaos oblong juga ada yang bergambar Sokrates. Status-status medsos juga sering mengutip Sokrates. Tulisan di cangkir hadiah tamu pernikahan bisa jadi. Poster juga. Di mana-mana ada Sokrates. Kalau begitu apa artinya masa lalu jika orang dari masa lalu itu, dari Yunani, masih saja ada di saat ini di negara kita atau di negara lain?

Mengapa kita tidak pernah cukup membicarakan presiden kita yang jelas-jelas masih hidup? Mengapa yang sudah ribuan tahun lalu mati masih hadir hari ini seperti para nabi dan para filosof? Ini semua menyangkut masalah waktu.

Mari perhatikan. Sekarang malam, maka tadi siang, seolah-olah antara tadi dan sekarang terbentang jarak waktu, padahal yang berubah hanya warna langit. Malam adalah waktu, siang adalah waktu. Tadi langitnya terang sekarang langitnya gelap, dengan catatan kita berada di titik yang sama, di halaman rumah yang sama, misalnya. Kalau kita sendiri bergerak bersama cahaya itu, di titik cahaya, maka sebenarnya kita tidak merasakan waktu. Selalu siang dan tak pernah malam. Waktu adalah fakta yang tidak mudah kita terima lagi.

Dalam model siang-malam tersebut jelas sekali waktu hanya fenomena perubahan terang ke gelap yang kita rasakan dengan penglihatan atau suhu yang terasa di badan, lalu mengonstruksi perasaan sebagai gerak itu sendiri. Kalau semua manusia tidak punya mata dan tidak pernah dapat merasakan perubahan cahaya, masih mungkinkah manusia mempersepsi waktu dari cahaya? Kita dapat belajar dari tokoh Shin dalam karya Dazai yang tadi sudah saya sebut juga dua tokoh “edan” Shunkin dan Sasuke dalam “Potret Shunkin” Junichiro Tanizaki[2].

Shin adalah sepupu Si Gadis Remaja, umur mereka sebaya, yang dikisahkan buta. Ia tidak dapat merasakan siang dan malam, hari dan bulan dilewati begitu saja. Bagi Shin waktu tidak lagi disebabkan fenomena perubahan cahaya, dan entah oleh apa karena Si Gadis Remaja tidak menerangkannya. Sedangkan kebutaan tokoh Shunkin dan asistennya Sasuke yang gila kesetiaan masih dapat menangkap cahaya sehingga waktu berlangsung dalam remang-remang, tidak terang tidak juga gelap. Ketiga tokoh buta dalam dua cerita ini sama-sama tidak merasakan waktu berdasarkan fenomena cahaya.

Dengan modal telinga saja, katakanlah, waktu dikonstruksi oleh pendengaran demi pendengaran; suara jangkrik di kampung menandakan hari sudah menjelang malam.

Kembali kepada Sokrates, kalau ia tidak pernah mati, maka ia tidak terikat dengan masa lalu. Kalau semua manusia di dunia ini tidak mati seperti iblis maka tidak ada sejarah. Iblis selalu aktual. Iblis tidak punya masa lalu kecuali dari api ia sebermula. Sekali ia hidup, ia hidup selamanya. Ia tak akan mengalami waktu kubur. Iblis berjalan bersama waktu dan ia seakan waktu itu sendiri.

Yang jadi masalah, kematian Sokrates hanya kematian jasad, ia masih benar-benar hidup di berbagai artefak yang tadi saya sebutkan. Ia hidup di berbagai dunia yang ditempelinya. Ia adalah hidup yang banyak dan ada di mana-mana. Orang-orang penting, tidak hanya dia, memang masih hidup di mana pun setelah kematiannya. Filosof-filosof, para alim ulama, penemu-penemu sains, sastrawan-sastrawan ternama, seperti para nabi.

Mari kita lihat wajah Sokrates di kaos-kaos, di gelas-gelas, di lukisan-lukisan, di buku-buku komik filsafat, ia ada karena dijasadi lagi dengan semua itu. Ia tidak sekadar ada, tapi benar-benar masih bernapas. Di sebuah kartun animasi, bayangkan saja ada kartun animasi macam itu, Sokrates menjadi kartun yang dapat bicara, maka dia masih bernapas. Sokrates belum mati juga jasadnya kalau begitu. Komik-komik filsafat bahkan sanggup membuatnya seakan bicara di depan kita.

Seorang aktor memerankan tokoh Sokrates, dia pun menjasadi Sokrates lagi. Tanpa itu semua, tanpa jasad-jasad itu, katakanlah dia muncul dalam kata-kata, dia ternyata masih juga ada, bahkan jika kata itu hanya “Sokrates” belaka. Kata-kata adalah napas manusia yang membebaskan manusia dari masa lalu. Kata-kata seperti para iblis yang tak mati-mati.

Kata adalah jasad bagi ke-ada-an yang disebutkan oleh kata tersebut. Iblis tak pernah terlihat jasadnya, tapi ia ada dalam kata “iblis” dan sifat-sifatnya: serakah, pendengki, licik, culas, dll. “Tuhan” juga sama, kata-jasadi untuk yang kita adakan sebagai Tuhan. Seharusnya Ia tak terkatakan, karena tidak ada kata yang paling tepat, namun tanpa kata, tanpa nama, kita akan kesulitan menyebut ke-Ada-an-Nya. Dan Tuhan tentu tidak punya waktu dan itulah waktu yang sebenarnya, seperti dalam analogi cahaya yang sudah saya jelaskan: bayangkan kita ada dalam cahaya maka siang-malam itu tidak berlaku lagi. Tuhan bersifat melingkupi segala yang ada, maka Tuhan adalah Ada yang sebenar-benarnya ada.

Bahwa kita lahir, tumbuh, tua dan mati, itu pun bukan proses dalam waktu, tapi proses kembali ke hari ini-yang saat itu. Hari ini kita mati dan itu sama artinya kita kembali ke saat sebelum lahir, yakni kematian juga. Bahwa iblis seperti waktu dan sudah dikatakan adalah waktu itu sendiri karena sifatnya yang abadi dalam waktu, ia tak mampu melingkupi segala yang ada. Mungkin kita dapat katakan Tuhan itu ada dalam Waktu, dan iblis dalam waktu. Perbedaan penulisan ini semoga menjadi gambar yang jelas untuk membedakan keberadaan yang melingkupi dan yang dilingkupi.

DI SANA-YANG DI SINI

Kamu ada di titik A dan mau ke titik B dan di antara A dan B terdapat ruang waktu, apakah kita dapat menembus waktu untuk mencapai B? Itu tidak dapat dipahami dengan baik. Menembus hanya mungkin jika waktu W adalah entitas di antara A dan B dengan apitan yang bukan waktu (bw):

A (bw) W (bw) B;

jika demikian maka dapatlah kita menerima logika menembus waktu itu.

Sokrates dalam fenomena yang sudah saya jelaskan tidak pernah menembus waktu, karena antara masa dia ada sebagai jasad ke masa kini sebagai artefak yang mengadakannya, melulu waktu. Adakah batas-batas antara waktu dia dan waktu kita sekarang?

Dengan kata lain, Sokrates dan kita sekarang adalah Sokrates yang tidak dibatasi waktu, dia tidak menembus ke arah kita, kita pun tidak menembus ke arah dia karena antara dia dan kita hanya waktu yang sama pula, tak berbatas, sehingga yang ada di sana ada pula di sini, atau yang di sini pun ada di sana. Ini dapat dibuktikan dengan kajian-kajian terhadap fenomena-fenomena hari ini yang menggunakan perspektif masa lalu, dan betapa banyak pemikiran dari masa lalu yang ternyata tentang hari ini.

Mengapa filsafat Sokrates masih dapat kita maknai? Karena ketika dia bicara di titik A, dia sedang bicara di titik B juga (B adalah tempat kita). Tapi benarkah begitu jauh ia dan kita terbentang? Dalam ruang waktu yang sama A=B/B=A, bukan A-(ruang)-B, A dan B betapa rapat-betapa dekat dan akhirnya tak terbeda-bedakan, tak terpisah-pisahkan, tak berkelindan, benar-benar masih yang ini-ini juga.

Saya mengerti sekarang mengapa saya berkali-kali teringat cerita Gadis Remaja Dazai sepanjang memikirkan tema ini, karena ujung dari cerita tersebut adalah kesadaran Si Gadis Remaja tentang yang ini-ini juga. Ia tidak bicara dari masa lalu yang jauh macam yang kita diskusikan dengan contoh Sokrates. Ia hanya membicarakan apa yang dialaminya hari itu, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, dan meyakini bahwa apa yang akan terjadi besok adalah hal-hal yang sama saja, terlepas dari tema ceritanya yang berujung pada ketidakjelasan hidup, dan ketikdakyakinan sang tokoh terhadap kebahagiaan, dan itu dapat dimaklum karena ia tak dapat menjawab mengapa manusia bisa mati, dalam hal ini ayahnya sendiri, karena ia masih remaja yang ilmunya masih terbatas.

YANG DI SANA SELALU ADA DI SINI

Suatu hari saya datang ke Lembang dan berkata “Dingin ya seperti di Perancis!” —Kalau begitu apa bedanya Lembang dan Perancis? Saya pernah mengitari Perancis di satu musim semi dan ketika jalan-jalan ke Lembang saya merasakan udara yang sama dinginnya, dan bahasa sering menunjukkan dunia di mana pun sama: “seperti”.

Seperti itu bagaimana pun lebih banyak mengandung makna sama daripada sedikit samanya. Kita juga sering mengatakan “Firaun benar dia!” misalnya saat menghujat pemimpin yang dolim karena Firaun adalah pemimpin yang macam itu. Kalau kita menyebut pemimpin kita sebagai Firaun, berarti dia memang benar-benar mirip Firaun, dan itu mengandung arti Firaun tidak sekadar berada di masa lalu tapi pun di negara kamu di waktu yang sama saat kamu mengatakannya. Yang di sana selalu ada di sini, maka yang di sana adalah yang di sini pula dan berlaku sebaliknya. Sejarah jika ia ada, adalah hari ini yang pernah ada di masa lalu yang sama dengan hari ini.

Saya harap kamu sudah mengerti mengapa saya selalu bingung memahami makna sejarah.

BANDUL: TERTIPU GERAK

Bayangkan bandul bergerak dari titik A ke titik B dan dari B ke A lagi, begitu terus menerus tiada henti. Kalau kita ada di bandul tersebut apakah kita dapat merasakan bergerak? Tentu saja tidak, sebagaimana kita tidak merasakan planet kita bergerak dalam porosnya atau dalam lintasannya.

Kita mengatakan bandul itu bergerak karena kita menatapnya pada jarak tertentu. Kita duduk di kursi dan bandul itu di meja makan tempat kita sekarang berbincang. Kita pun selalu melihat bulan bergerak karena kita ada di Bumi. Kalau kita berada di bulan maka kita akan mengatakan Bumilah yang bergerak. Sudut pandang ini perlu kita pahami sebagai penyebab adanya waktu; dan sebagai gerak, waktu itu bergerak di titik-titik yang sama. Ya, ia bahkan tidak berpidah sama sekali!

Antara A dan B pada bandul tadi hanya terdapat titik-titik yang ditempati bandul yang sama, dan waktu pun menempati titik-titik yang sama saja, berulang atau berkitar. Demikian dengan Sokrates, dia menempati titik-titik waktu yang sama dari A ke B dan dari B ke A semata. Kita tertipu oleh fenomena gerak dan dengan sembarangan kita menyebutnya waktu.

ADA DALAM JARAK

Bayangkan di depan kamu ada kolam dan seekor ikan hidup di dalam airnya. Ia bergerak dari pojok kiri ke pojok kanan. Pertanyaan saya apakah ia tahu ia hidup di air? Tentu saja tidak. Kita saja yang mengatakan begitu karena kita tidak hidup di air.

Kita menunjuk dan menamai dunia karena kita ada dalam jarak dengan dunia tersebut. Kita menyebut hidup karena kita tahu mati dan menjadikan kematian sebagai jarak. Kita menyebut mati karena kita mempersepsi dari jarak hidup. Tanpa jarak, kita tidak akan mampu merasakan hidup ataupun mati.

Dalam bahasa agama malah itu lebih jelas: hiduplah kamu seakan kamu mati, atau saat mati nanti kita sebenarnya hidup. Mana batas perbedaan keduanya kalau begitu? A adalah B dan B adalah A. Kita mengatakan ada B kalau kita di A, kita mengatakan A kalau kita ada di B. Belum mati kita sudah membayangkan mati, nanti mati —masuk akal juga hukuman Alam Kubur itu— kita akan teringat hidup. Di titik inilah saya sendiri selalu tak punya alasan untuk tidak beriman.

Berfilsafat adalah melatih diri menalar apa saja, dan salah satu yang patut kita nalar dengan cermat adalah logika kematian, sebab ternyata ia adalah satu-satunya yang paling pasti kita alami. Pasti pula kita hidup lagi berdasarkan penalaran tadi. Saya membayangkan gerak bandul itu di titik A (hidup) ke titik B (mati) dan sebaliknya. Jika dimulai dari A maka kita selalu menuju kematian (pada saat hidup), dan jika dimulai dari B maka kita menuju kehidupan (pada saat mati).

MATERI ROH

Sekarang kita perluas tema ikan itu pada materi ikan. Ia adalah air juga, dan kita dapat buktikan dengan sebuah timbangan. Katakanlah ikan itu kita timbang dan beratnya satu kilogram. Kalau kita peras ikan itu dengan perasan paling kuat hingga menyisakan material yang kehilangan berat, maka cairan yang keluar dari perasan masihlah satu kilogram juga. Dengan kata lain, ikan adalah air, atau ikan dan air kolam tadi menempati ruang kolam yang sama sebagai material yang juga sama.

Logika ini membuat kita dan waktu pun tak terbedakan. Jika kita tinggal di ruang waktu dan kita sendiri pun diperas dengan perasan paling kuat hingga kita tinggal debu tanpa berat, maka entitas kita adalah waktu pula; lebur bersama waktu dan memang hanya waktu; mirip dengan material ikan yang lebur bersama air tadi.

Waktu tidak punya massa, demikian juga dengan roh kita. Kita sering bayangkan roh itu melayang-layang, kenapa kita tidak mengatakan waktu pun melayang-layang, padahal material keduanya sama? Kamu harus belajar dari pengarang Dazai lagi, dia sungguh tak tertandingi dalam soal ini. Dia bilang kita ini digoda oleh kesan-kesan, dan kesan-kesan itu adalah hantu. Bukankah hantu itu seperti roh?

Kita pun kini makin mengerti mengapa roh tak pernah mati, karena ia adalah entitas yang abadi, tetap, tak tertarik gravitasi. Kesusutan, kemenurunan, hingga kematian, pada dasarnya merupakan fenomena gravitasi material. Yang mengalami semua itu hanya unsur jasad. Kita abadi sebagai roh. Manusia yang menghidupkan rohnya adalah manusia yang menghidupkan keabadiannya. Sokrates adalah contoh yang baik, ia manusia yang mengembangkan jiwanya, nalarnya, pikirannya, dan bukan jasadnya —sebab jelas jasad tak kan bisa dibuat abadi (kecuali dalam pengertian keabadian materi yang akan saya jelaskan kemudian). Agama-agama menghendaki kita mengembangkan roh, bukan? Tak ada yang salah dengan agama. Salah jika agama tidak untuk mengembangkan roh itu.

Maka ada orang-orang yang mengatakan sejarah itu roh, karena esensi sejarah adalah waktu dan waktu tidak bermassa dan ia adalah waktu yang sama pula atau abadi. Tidak mungkin waktu Sokrates beda dengan waktu kita. Hukum kekekalan energi berguna pula untuk menjelaskan kekekalan roh itu. Energi hidup disebabkan keabadian roh.

Bahkan, jangankan roh, materi-materi pun abadi. Air tak pernah menjadi lebih dan menjadi kurang di dalam Bumi, demikian juga udara. Kalau pun air atau udara itu berkurang, ia tentu tidak hilang, tapi pindah ke lain tempat, terserap benda-benda, atau sementara jalan-jalan sebagai uap dan awan. Saat jasad kita jadi tulang belulang dan hilang, ia tidak hilang ke mana pun, ia hanya menjadi bagian dari keabadian materi, dari tanah ya kembali ke tanah, dari masa kini yang ke masa lalunya lagi.

Hal yang sama tentu berlaku pada data-data digital kita yang pernah kita hapus di perangkat kita, mereka semua tidak hilang, tapi kembali pada yang tak terbaca saja, seperti tulisan-tulisan kono di atas kertas atau lontar yang tak lagi dapat kita baca karena kembali pada keabadian materialnya lagi. Kehilangan dengan demikian juga tidak pernah menghilangkan yang ada, atau kehilangan itu tidak pernah ada sama sekali. Yang ada-dilingkupi selalu ada-dilingkupi. Di luar Tuhan, tidak ada yang berkuasa untuk melingkupi.

MENGAPA JARAK HARUS ADA?

Sepanjang kita masih menginginkan kata “jarak”, sepanjang itu pula kita harus menolak logika ketakhinggaan atau logika ketaktepermanaian. Kalau Tuhan itu entitas dengan logika yang disebut terakhir, kita dan Tuhan tidak berjarak. Namun, karena rupanya agama-agama tidak mau berpikir macam itu, disebabkan oleh sifatnya yang diotorisasi oleh kebenaran sosial, individu-individu yang mengatakan “aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah aku” akan dicoret dari agama (agama dalam arti agama sosial tadi).

Agama sosial hadir untuk menciptakan jarak antara makhluk dan penciptanya. Meski kita sering mendengar ungkapan “Tuhan lebih dekat dari urat leher kita”, kita masih juga menginginkan Tuhan itu di sana dan kita di sini. Mengapa kita selalu menginginkan jarak yang lebih jauh alih-alih jarak yang lebih dekat dari “lebih dekat dari urat leher”? Mungkin karena kita terlalu suka ke-manusia-an kita, dan tidak terlalu suka dengan ke-Tuhan-an kita. Mungkin karena betapa berat menyandang tugas pokok itu: kita adalah wakil Tuhan di Bumi ini. Mungkin pula karena kita terlalu mencintai diri sendiri meskipun agama-agama mengajarkan kita untuk mencintai Tuhan semata. Menjadi wakil, menjadi budak, adalah menjadi hamba Sang Cinta:

Pencerita dalam cerpen “Potret Shunkin”, Tanizaki rupanya tidak percaya dengan semangat Zen. Hal ini tampak pada paragraf penutupnya. Saya juga tidak percaya jika saya menempatkan diri sebagai manusia “normal”. Akan tetapi saya kemudian menyadari bahwa fenomena menjadi hamba Sang Cinta itu mungkin ada dan kita pun dapat berbuat setotal Sasuke dalam mencintai Shunkin jika kita mau, dan itu dapat dijadikan analogi bagi sangat mungkinnya kita mencintai Tuhan bila mencintai manusia pun kita dapat berlaku setotal itu.

Keberjarakan ini bisa kita mafhum karena manusia rupanya sadar diri, tak pantas menyandang diri ber-Tuhan. Kita hanya senang dengan pilihan ber-iman, dan ber-iman adalah beriman kepada Tuhan. Dalam kata kepada ini kita pun menciptakan makna jarak, menempatkan diri di sini dan menempatkan Tuhan di sana. Kita selalu ingin jauh dari pencipta kita.

Tuhan sudah menempatkan dirinya sendiri, lebih dekat dari urat leher kita, mengapa kita memberikan ruang lain bagi Tuhan, di sana, di sebuah jarak? Mungkin cara kita mendefinisikan “Kemahabesaran Tuhan” adalah dengan mengukur kemahakecilan kita. Pada kenyataannya cara demikian membuat kita memuja diri sendiri. Makna-makna konsep Mahabesar-mahakecil ini akhirnya materialistik. Kemahabesaran tentu tidak bersifat jasadi sehingga Ia memang bebas menentukan diri-Nya ada di mana, tak usah kita mengatur di mana seharusnya Ia menempati ruang. “Kecilnya” Tuhan sehingga seakan di sekitar urat leher, tidak mengecilkan kemahabesarannya.

CERMIN KESADARAN

Hal yang paling penting dari cermin adalah bahwa ia merupakan pemisah kita dengan perasaan kita. Saya belajar hal ini dari cerita Gadis Remaja Dazai pula. Cermin dapat memantulkan wajah seorang gadis remaja dalam keadaan cerah, tapi gadis itu merasa bahwa kecerahan wajahnya merupakan gambaran yang mengasingkan dirinya dari perasaan dia yang sebenarnya. Dia masih dalam keadaan bersedih kehilangan ayahnya, sedih menghayati cara pandang manusia-manusia lain kepadanya, sedih karena tidak punya kawan selain dua ekor anjing dan teman-teman yang tidak mengerti pikirannya, sedih sebagai seorang manusia terpencil, tidak mengerti dengan aturan-aturan moral, dan bermacam kesedihan lain[3].

Cermin ideal tentu tidak ada, yakni cermin yang dapat memantulkan perasaan. Kita dapat berangkat ke salon dan melihat perubahan wajah serta rambut kita di cermin salon, tapi salon tidak dapat mengubah perasaan kita.

Hal ini penting saya sampaikan berkaitan dengan kesedihanmu saat mendengar kata-kata ibumu saat ia bercermin. Ia bilang “Sudah tua ternyata, dikira masih tujuh belas!”

Berbeda dengan gambaran Si Gadis Remaja yang tadi bercermin, cerah tapi sedih, ibumu sadar bahwa ia tak lagi tujuh belas. Apa yang ia lihat dalam cermin? Itulah waktu, dan bukan wajahnya. Ia melihat waktu tujuh belas yang dipersandingkan dengan saat ia bercermin kini di usia lima puluhan.

Maka jelas sekali ia tidak sedang menuju ke masa tua, tetapi ke masa remaja. Menua adalah meremaja, dan akhirnya kematian berarti kelahiran. Ia kini di separuh perjalanan bandul A ke B. Ia akan sampai ke B yang pada dasarnya kembali lagi ke A. Sesederhana itu menurut saya sehingga tidak ada alasan manusia bersedih jika sudah demikian hukum alam bekerja atas kita.

Sedangkan Si Gadis Remaja dalam cerita Dazai itu justru sedang memasuki esok yang diyakininya akan sama saja dengan hari ini karena hari ini pun sama dengan hari-hari sebelumnya.

Logika-logika hidup dan mati dalam cermin ini seingat saya tidak pernah dibicarakan oleh ilmu optika geometri kecuali secara kreatif kita dapat mengalihkannya dari fenomena fisika pada metafisika. Mengapa jarak kita dan bayangan kita sama di depan cermin datar? Aku menduga bahwa apa yang kita lakukan di dunia akan berbanding lurus dengan apa yang akan kita terima di waktu kematian, dan masa depan berbanding lurus dengan masa di belakangnya, dan yang terpantul selalu sama dengan yang dipantulkan sehingga mengembalikan kita ke teori yang di sana = yang di sini, A = B.

PUSAT WAKTU

Saya percaya semua yang ada ada pusatnya. Agama saya mengajarkan semua bulan berpusat pada Ramadhan, semua hari berpusat pada Jumat, dan setiap segala hal berpusat pada Tuhan. Tapi mungkin kita dapat memikirkan pusat waktu dengan w kecil, terlanjur sudah saya menjelaskan ada Waktu dengan w kapital dalam penjelasan sebelumnya.

Dalam cerpen “Tarom” Budi Darma[4] kita dapat melihat dua pusat waktu dengan w kecil itu. Tarom Wibowo adalah keturunan Jawa dan Jerman. Ayahnya Jawa dan ibunya Jerman. Ia bekerja dalam bisnis jual beli hak cipta berbagai pengarang dari berbagai negara dan sering bolak-balik dari Surabaya, transit di Abu Dhabi, sebelum meneruskan ke Frankfurt Jerman. Demikian juga sebaliknya kalau ia mau pulang ke Surabaya, ia akan transit lagi di Abu Dhabi. Yang menjadi pusat waktu pertama dalam bolak-balik Surabaya-Frankfurt tentu Abdu Dhabi, tapi bukan dengan alasan Abu Dhabi ada di tengah-tengah, melainkan karena cerita ini bertumpu pada kehadiran Gertrude yang mengagumi dan mencintai Tarom dengan kurang percaya diri, dan Gertrude memang pramugari darat yang berkenalan dengan Tarom di di Abu Dhabi.

Pusat waktu kedua adalah pada pandangan-pandangan ibunya Tarom terhadap orang Jepang dan orang Jerman. Tarom pernah jatuh cinta kepada orang Jepang dan lalu mulai jatuh cinta kepada Gertrude yang orang Jerman. Dua bangsa ini menurut ibunya adalah bangsa yang sama-sama tolol dalam situasi Perang Dunia I, yang juga sama tololnya dengan Indonesia dan Malaysia di masa Bung Karno menyatakan perang kepada Malaysia. Perang-perang itu rupanya hanya sandiwara untuk kekuatan persekutuan masing-masing.

Cerpen ini ditutup dengan kemungkinan Tarom gagal lagi mendapatkan kekasih, karena ternyata Gertrude adalah keturunan dari Martin Bormann yang pengecut dalam sejarah holocaust. Jepang dan Jerman kemudian dipusat-waktukan oleh ibunya Tarom dan Tarom sendiri kepada ketololan dan kepengecutan sehingga tersirat bahwa ia “dilarang” ibunya untuk mencintai pramugari darat yang berprestasi itu. Perempuan Jepang dalam versi ibunya adalah perempuan yang awalnya setia kepada suami orang Indonesia tapi kemudian melarikan diri ke Jepang; dan orang Jerman, dalam hal ini dicontohkan dengan Bormann, juga setia kepada Hitler tapi kemudian melarikan diri dari Hitler.

Fungsi pusat waktu dalam struktur kewaktuan adalah mempertemukan segala waktu yang pada mulanya seakan-akan menempati ruang berbeda-beda dalam persamaan-persamaan. Abu Dhabi adalah titik tengah bagi Surabaya-Frankfurt atau Frankfurt-Surabaya, dan kesetiaan yang kemudian tidak disetiai adalah pusat waktu bagi karakter orang Jepang dan orang Jerman. Ibu rupanya selalu jadi pusat waktu bagi banyak kehidupan manusia. Sering kita berjalan jauh ke sana ke mari macam Tarom, melintasi beberapa negara, tapi kita akan kembali pada ibu sebagai titik tengah segala waktu tersebut.

Apabila waktu tidak punya pusat, kita tidak mungkin pulang setelah hidup bertahun-tahun. Dalam teori bandul yang sudah saya jelaskan, kita dapat bayangkan bandul itu akhirnya berhenti, dan itu tidak di titik A (awal sebagai titik berangkat) atau B (akhir sebagai tujuan), tetapi di tengah-tengah, antara A dan B, seperti Abu Dhabi yang antara Surabaya dan Frankfurt, atau seorang ibu di antara segala manusia lainnya yang dikenal setiap anak manusia, sedemikian rupa hingga beberapa tokoh terhormat di masa dahulu kala adalah para dewi selain para dewa, seperti Dewi Ambu dalam legenda Sunda. Kebutuhan kita pada Tuhan atau para dewa dan dewi atau pada ibu kita masing-masing tak lebih dari kebutuhan kita untuk berpulang dalam suasana masih hidup sekali pun. Kelak kita mati, kita berpulang ke Pusat Sang Waktu.

Dengan demikian pusat paling pusat itu Tuhan, atau Tuhan adalah titik tengah segala hal. Hal-hal lain yang dilingkupi-Nya menciptakan pusat-pusat lain menurut versi masing-masing individu atau versi masing-masing kelompok-kelompok sosial. Ada kalanya manusia murtad karena menyembah pusat-pusat yang diciptakannya sendiri. Murtad dalam hal ini tidak berarti menuhankan pusat yang diciptakan, melainkan menuhankan diri sendiri melalui kemampuan menciptakan pusat.[]

 

 

[1] Disebut “Si Gadis Remaja” karena tokoh ini tidak bernama; Osamu Dazai Gadis Remaja, terjemahan Bagus Dwi Hananto, Yogyakarta: Rua Aksara, 2021. Dia disuruh jadi model lukis guru seninya (Pak Ito) di pojokan taman sekolahnya. Kisah ini bagian dari peristiwa menggelikan di cerita tersebut.

[2] Lihat cerpen “Potret Shunkin” dalam kumpulan cerpen Aguri karya Junichiro Tanizaki, terj. Bagus Dwi Hananto, Yogyakarta: Rua Aksara, 2020.

[3] Gadis dan cermin ini dapat Anda baca pada salah satu adegan Si Gadis Remaja saat bercermin sepulang sekolah, dan yang saya gambarkan di atas berangkat dari peristiwa yang sama di dalamnya. Lihat Gadis Remaja, ibid.

[4] “Tarom” dapat dibaca di Kasur Tanah Cerpen Pilihan Kompas 2017, Jakarta: Kompas Media Nusantara, hal. 129 -136.

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 30

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply