MENGENAL KALEKA ATAU TEMBAWANG

Sebagai Penanda Kawasan Bersejarah

Dunnis Iper mengartikan kaleka sebagai tempat (Iper, 2016; 298). Vinson dan Joane Sutlive mengartikan  Temawai atau Tembawai sebagai a former house site atau kawasan bekas rumah (Vinson, 1994; 269). Sedangkan KBBI (daring versi VI) mengartikan Tembawai sebagai hutan bekas rumah panjang. Penulis wiki mengartikan tembawang sebagai kawasan bekas perladangan.

Kawasan yang diartikan keempat sumber itu sesungguhnya bermakna sama. Namun kalau kita perhatikan secara terpisah, maka akan mandapatkan makna yang membingungkan. Itulah sebabnya kita gali lebih jauh, untuk memudahkan dalam memberikan makna.

Kaleka (Ngaju), Temawai, Tembawang (kelompok Iban) sebetulnya sama, yaitu sebuah kawasan hutan bersejarah karena pernah didiami manusia. Syarat sebuah tempat disebut kaleka, temawai atau tembawang adalah pernah ditempati manusia, lalu kawasan itu tidak ditempati lagi dan menjadi hutan. Itulah sebabnya kawasan itu disebut bersejarah.

Sebuah kawasan hutan yang disebut  kaleka, temawai atau tembawang  memiliki ciri-ciri yang sama. Pertama, adanya tanaman buah-buahan (durian, langsat, pekawai/paken, manggis, mangga, asam pelam/hampalam, gandaria/ramunia/setar, rambutan dan berbagai tanaman buah lainnya). Tanaman buah yang menjadi tanaman hutan adalah ciri paling umum dari sebuah kawasan bersejarah tadi, baik yang ditanam secara sungguh-sungguh maupun dilempar begitu saja. Tidak jarang banyak tanaman buah itu tumbuh oleh orang-orang yang membuat hajat (buang air besar).

Kedua adanya bekas bangunan. Bangunan pada kawasan kaleka, temawai atau tembawang  bisa berupa rumah tunggal, betang biasa, betang di dalam kuta atau bahkan pondok pertanian. Terkadang, pada bekas bangunan itu ditemukan peralatan dari logam, kaca dan porselin. Ketiga, adanya artefak, benda bersejarah atau benda-benda yang bisa dianggap mewakili suatu kebudayaan, misalnya patung dari batu atau kayu.

Mari kita jabarkan lebih rinci. Selanjutnya saya hanya menggunakan istilah KalekaTembawang. Barangkali membingungkan, karena saya menggabungkan dua kata benda, sementara keduanya memiliki satu makna. Secara umum, keduanya memang memiliki makna serupa, apabila dilacak dan dikembangkan berdasarkan kebudayaan masing-masing, bisa saja kita menemukan kekhususan.  Penggabungan kedua kata ini hanya untuk memudahkan saja dalam mengingat makna yang terkandung dari masing-masing narasi.

Pertama,Kaleka-Tembawang bekas kuta. Bekas kuta popular dan sudah diteliti Balai Arkeologi Banjarmasin adalah kaleka Kuta Upun Batu, kaleka Kuta Dewa, kaleka Kuta Mapot, kaleka Kuta Hantapang dan kaleka Kuta Bataguh. Perihal kuta Hantapang sudah dibahas di Jurnal Kindai Etam Vol. 3 No. 1 November 2017 dan Mapot pada Kindai Etam Vol. 5 No.1 November 2019. Dari catatan perjalanan Schwaner saja, diperkirakan ada puluhan kuta yang masih berdiri di lanskap Barito, Kapuas Biaju, Kahayan, Katingan dan Melawi pada tahun 1847-1848. Data itu belum termasuk yang sudah roboh, dimana para penghuni kuta sudah berpindah ke kampung baru.

Kuta adalah sebuah pemukiman besar, dimana penghuninya terpusat pada suatu bangunan dan dilindungi pagar ulin setinggi 5 – 7 meter. Beberapa kuta di Kapuas Biaju, memiliki penghuni di atas 1.000 manusia. Kuta adalah tempat hidup orang Dayak, dimana para penghuninya masih dilingkari tradisi perang dan kayau.

Mengapa orang Dayak tidak lagi menempati kuta (berpindah)? Ada banyak alasan. Ketika berperang, bisa jadi penghuni kuta tersebut kalah. Ketika kalah perang, maka yang hidup diambil sebagai budak oleh pemenang perang, sedangkan yang meninggal kepalanya diambil sebagai simbol kemenangan. Setelah peperangan tidak ada lagi, orang tidak mau menempati kuta, dikarenakan di dalam kuta hidup terisolir dan memerlukan biaya yang mahal untuk merawat pagar kuta.

Kedua, Kaleka-Tembawang bekas kampung (pemukiman tanpa kuta). Bisa berupa perkampungan dengan rumah terpisah ataupun betang. Sebelum 1980-an, rata-rata kampung Dayak di Kalimantan Barat memiliki betang. Meskipun ada rumah-rumah yang terpisah dari betang. Sedangkan di Kalimantan Tengah, semenjak Borneo damai setelah perjanjian Tumbang Anoi, kuta-kuta tidak lagi dipakai dan orang-orang membangun rumah tunggal.

Di Kalimantan Tengah, sebagai contoh di kawasan Kahayan, rata-rata pemukiman berada di pinggir sungai. Alasan utama adalah kemudahan transportasi. Ketika jalan darat dibuat, orang-orang beramai-ramai membangun rumah di pinggir jalan. Ketika orang berpindah ke pinggir jalan darat maka rumah-rumah di pinggiran sungai tidak ditempati lagi, dalam periode tertentu akan menjad Kaleka-Tembawang.

Ada perbedaan antara kawasan Kaleka-Tembawang bekas kuta dengan Kaleka-Tembawang bekas kampung (pasca Perjanjian Tumbang Anoi), dimana rumah-rumah mulai terpisah (tidak lagi di betang). Kuta biasanya dimiliki satu orang kaya, misalnya kuta Tamanggung Toendan, Kuta Patih Singa Negara, Kuta Tamanggung Mas Anom. Artinya, pemilik Kaleka-Tembawang bekas kuta adalah keturunan orang kaya tersebut. Sedangkan kawasan Kaleka-Tembawang bekas kampung (tanpa kuta) pada umumnya dimiliki seluruh keturunan penghuni kampung. Artinya, konsep kepemilikan komunal ada pada KalekaTembawang bekas kampung.

Ketiga, Kaleka-Tembawang bekas pondok pertanian. Dahulu, ketika seseorang ingin berladang serta memudahkannya untuk mendapatkan hasil alam, dia keluar dari kampungnya lalu membangun pondok di sebuah kawasan. Biasanya di kawasan sungai kecil. Setelah bertahun-tahun dia menguasai kawasan itu, maka berpindah-pindah pondoknya. Bekas pondok yang tidak lagi tempati menjadi hutan dan disebut Kaleka-Tembawang. Dikarenakan Kaleka-Tembawang ini dimiliki satu orang atau satu keluarga, umumnya dinamai menggunakan kepala keluarga atau gelar orang pertama yang mendirikan pondok pertanian itu.

Tidak jarang, pondok pertanian menjadi kawasan besar, dikarenakan penghuninya tidak lagi kembali ke kampung asal. Sebagai contoh, kawasan Kota Palangka Raya. Dulu kawasan ini adalah pondok ladang Bayuh dan Kambang, sepasang peladang dari Bukit Rawi yang membangun pondok ladang di Pahandut.

Keempat, Kaleka-Tembawang bekas ladang. Tidak semua bekas ladang disebut Kaleka-Tembawang, dikarenakan orang Dayak memiliki kata khusus untuk menamai bekas ladang, misalnya; bahu (Dayak Ngaju) atau babas (kelompok Dayak serumpun Iban). Disebut Kaleka-Tembawang apabila ladang itu memiliki pondok untuk tinggal sementara, lalu pemiliknya menanam pohon buah-buahan, lalu pada waktu tertentu kawasan itu menjadi hutan. Tanaman buah-buahan yang dulunya ditanam sewaktu berladang itu besar dan menjadi hutan, maka kawasan ini bisa disebut Kaleka-Tembawang.

Apa yang disebut sebagai Kaleka-Tembawang adalah bukti kepemilikan dan penguasaan awal kelompok Dayak pada suatu kawasan. Umumnya, pemilik atau pewaris Kaleka-Tembawang menguasai suatu kawasan yang akan berbatasan dengan pemilik atau pewaris dari kawasan berbeda. Batas-batas yang lazim pada umumnya sungai, bukit atau pohon tertentu.

Dari keempat jenis kaleka-tembawang ini kita bisa mengelompokkan ke dua jenis kepemilikan saja. Jenis pertama, Kaleka-Tembawang kampung sebagai kawasan bersejarah yang dimiliki suatu kelompok besar, yaitu para pewaris/keturunan orang-orang yang menempati kampung tersebut. Jenis kedua, yaitu kawasan yang dimiliki suatu keluarga (kelompok kecil) atau individu (kepala keluarga), yaitu; kaleka-tembawang bekas kuta, kaleka-tembawang bekas pondok dan kaleka-tembawang bekas ladang .

Berangkat dari kawasan Kaleka-Tembawang  ini sejarah orang Dayak bisa diteliti. Terkhusus sejarah kepemilikan terhadap suatu kawasan.

Orang Dayak membangun kuta, kampung, pondok berladang selalu berada dalam kawasan satu klan dengan dirinya. Agak jarang mereka membangun pemukiman di kawasan klan berbeda. Pada zaman dulu, klan itu memiliki pemimpin tertinggi yang disebut tamanggung/temenggung. Di bawah tamanggung/temenggung biasanya ada kepala kampung/kepala kuta. Para penghuni kampung/kuta inilah yang selanjutnya membangun pondok pertanian atau membuat ladang.

Mereka bukan saja menguasai suatu kawasan untuk bertani, namun menguasai sungai, gunung, rawa-rawa sebagai tempat berburu, meramu atau mencari emas. Setiap klan sudah memiliki batas-batas kepemilikan.

Damianus Siyok

Share your love
Avatar photo
Damianus Siyok
Articles: 22

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply