Seperti sejarah, cara berpikir mengenal awal-mulanya sedemikian rupa hingga kita dapat menilai dunia, dan mungkin saja kita lupa prosesnya macam apa. Untuk mengatakan aktivitas seorang seniman macam Ugo Untoro itu romantis, misal, begitu “as I like it” saja. Semoga Anda jauh lebih sistematis dan tidak suka-suka gue.
Saya dapat belajar dari kasus menilai aktivitas seni Ugo. Mungkin dimulai dari imajinasi saya atas pecahnya Revolusi Prancis 1789 yang bikin anak ayam Romantik berciak-ciakkan di Inggris. Saya sendiri tidak terlalu percaya semua dimulai dari pintu tetangga sebelahnya, tapi melihat jejaknya pada helm resimen infanteri mereka, bak bulu-bulu anak ayam, bukan, saya kembali yakin. Sejarah tidak diduga-duga, seperti pikiran.
Dan memang dari bulu ayam, siapa bilang bulu singa, apalagi unicorn—bisa-bisa belenggunya lepas karena tak sudi dicukur atas nama infanteri. Salah-salah saya bisa kena tulah: Honi soit qui mal y pense; celakalah saya jika menjelek-jelekkan mereka yang amat menjunjung Tuhan dan haknya sendiri—Dieu et mon droit. Menurut orang kena tulah “bahasa Prancis dalam lambang negara mereka merupakan jejak dari Revolusi tersebut”. Jangan dengarkan dia, saya hanya bisa pastikan mereka bertetangga dari dulu dan rumput tetangga selalu tampak lebih hijau.
Dan Romantik itu singkat saja, seperti nonton bioskop. Satu jam lebih menahan kantuk, kencing di seperempat putaran pertama, keluar, makan popcorn sisa-sisa, di gigi terdengar geluduk, hujan di luar, lupa deh sama filmnya karena lebih penting mengingat payung. Beda dengan lihat-lihat lukisan, semenit dua menit, nempel di ingatan sepanjang hayat dijunjung badan. Itu yang terjadi pada saya dan karya-karya seni. Beberapa karya di ingatan saya itu bahkan memproduksi cerita, dunia, sesuatu, tiada henti, tak ada happy ending-nya meski semua perupa pasti happy dong kalau karyanya diboyong orang-suka sekian rupiah. Penyair juga happy jika bukunya dipesan-borong buat cinderamata.
Kembali ke Inggris. Tahun 1832 Sir Walter Scott meninggal dan RUU Reformasi disahkan. Masuklah era Victoria dan anak ayam Romantik pun menjelma si Intelektual. Dari berciak-ciak menjadi berkotek-kotek, semua ditelurkan di rumputan. Sastra memasuki isu-isu sosial, agama, intelektualitas itu sendiri, juga ekonomi. Karena itu istilah “Victorianisme” mesti dibaca agak bau-bau sindiran sehebat apapun prosa Emily Brontë di masanya. Juga Charles Dickens, juga Thomas Hardy, Kipling dan Yeats. Shelley adalah penyair romantik yang dikutuk habis Kritikus Baru F.R. Leavis dan kini dibangga-banggakan lagi sebagai penyemangat kemanusiaan.
by the incantation of this verse,
Scatter, as from an unextinguished hearth
Ashes and sparks, my words among mankind!
Betapa cetarnya badai Romantik, dan yang begini-begini banyak sekali dibikin oleh para penyair kita yang berdarah kesatria.
Tapi ada juga pendapat Romantik itu muncul pertama kali di Jerman. Dan sebagai bukan orang berdarah Inggris dan bukan orang Jerman, saya tetap pilih Persib secara apa adanya, meskipun plat mobil saya B dan bahasa terindah tetap Prancis. Hidup Paris van Java.
Yang jelas, seingat saya, kita di Indonesia sering sebut-sebut ‘romantik’ atau ‘romantis’ itu untuk adegan-adegan pertemuan cewek-cowok setelah perjalanan keduanya yang berliku-liku atau tentang alam yang “green” asli bukan “go-green”. Adegan ini biasa muncul dalam drama-drama komedi Inggris terutama karya-karya Shakespeare seperti As You Like it (1599).
Ada buku karya E.C. Pettet—ingat namanya mudah sekali karena kita punya aktor hebat Dedi Petet—tahun 1949 yang menyebut tradisi roman(tik) untuk karya-karya Shakespeare, judul bukunya pun Shakespeare and the Romance Tradition. Maka Romantik dalam soal ini memang bukan tentang zaman, tetapi alur cerita yang jadi stereotipe film-film biskop dari novel-novel begituan juga, bahkan pula Bumi Manusia Pramoedya itu. Bukan hanya berliku-liku antara Minke dan Annelies, melainkan juga bikin cengeng Gen Z dan Gen Zainuddin MZ macam senior-senior saya. Matilah heroisme dihapus air mata ihik ihik yang segera mengemoti status-status medsos dua generasi tersebut. Saya adalah generasi di tengah-tengah mereka.
Romantiknya Shakespeare biasa berakhir dengan latar “gost and green”, ada hutan dan ada hantu; hutan Arden untuk As You Like it dan hutan berhantu ada di A Midsumer Night’s Dream. Peri-peri yang suka ribut itu peri kelas hantu.
Romantisme itu memang komedi: ketidakadilan dunia bisa diatasi, kekasih sejati bertemu kembali, dan para musuh berjabat tangan—hal-hal yang tak pernah digarap Pram karena mungkin terlalu irasional.
Kebetulan atau entah, komedi-komedi romantik yang menampilkan perempuan-perempuan lebih unggul itu tampak pula pada Nyai Ontosoroh Pram. Jadi, saat saya baca Bumi Manusia dan menemukan hebatnya Nyai, saya tertawa-tawa lagi teringat komedi Shakesperian. Bedanya Nyai yang satu ini dengan tokoh-tokoh Shakespeare macam Goneril, Regan, dan Lady Machbet adalah tak pernah mimpi buruk. Mungkin karena tak ada yang lebih buruk dari penderitaannya punya suami temperamen macam itu.
Kalau Romantik mengacu pada romantisme Shakespearean berarti zaman tersebut berlaku sejak abad ke-16 untuk Inggris dan bukan 18. Karenanya, Romantik sebagai zaman tidak sama dengan lika-liku pertemuan cinta sejati dalam komedi romantis.
Dan dalam urusan puisi lain lagilah soalnya. Sialnya saya, untuk puisi selalu mengira setiap puisi itu romantik. Itu entah pengaruh filosof yang mana. Pasti si kurang ajar Sokrates! Lebih komedi lagi saya selalu memandang iklan-iklan perumahan yang gunakan kata “home” daripada “house” sebagai perumahan romantis. Kini kami tinggal di perumahan yang para tetangganya suka saling kumpul di sekitar rak handuk.
Waktu remaja malah lebih komedi dari semua itu: sering mengira tepuk Pramuka itu romantis karena untuk digunakan di sekitar api unggun dengan kabut di sekeliling. Suara kuda juga bagi saya romantis, lebih romantis dari ciak-ciak anak ayam atau auman singa. Ugo Untoro makanya saya sebut pelukis romantis karena ia melukis kuda dan seperti kesatria ia juga mencintai dan menunggangi kuda.
Tapi belakangan saya malah merasa bego, mengapa harus membicarakan suatu romantisme dari Ugo jika pikiran saya malah diatur oleh ketepak-ketepok kritik neoklasik yang percaya pada “ketulusan”, “intensitas”, “kesatuan organik”, dan “keseriusan tinggi” pada diri seorang seniman, bahwa kuda memang menubuhi Ugo dan juga karya-karya seninya dan juga—saya percaya—terjadi sebaliknya bahwa Ugo memandang kuda lahiriah sebagai cinta mendalam seninya. Apa pun lah itu, betapa rumit merumuskan mengapa saya atau kita dapat menilai sesuatu yang untuk kasus Ugo saya—kok—ternyata melintasi jalan-jalan lain tanpa sadar. Jangan-jangan saya telah dikacaukan alam-waktu A Midsumer Night’s Dream.
Jangan-jangan kritik-kritik seni (saya) pun produk dari upaya-upaya “apa-pun-lah-itu” untuk tujuan membela yang ingin dibela dan atau membenci yang tidak disuka. Jangan-jangan saya memang suka belaka terhadap dunia sastra dan lukisan sedemikian rupa hingga semua boleh jadi dikriteriarisasi belaka pada zaman dan stereotipe tertentu semau saya. Feyerabend banget dan Shakespeare banget, anything goes bin as you like it.
Romantika hidup—dan disebut demikian karena—memang berliku-liku, komedi, dan bioskop. Hidup Persib! []