“Ketakjuban itu adalah awal dari filsafat. Tidak ada awal lain dari filsafat kecuali dalam hal ini: rasa kagum”. Begitulah adagium terkenal dari filosof Plato.
Saya tentu saja tidak hendak mengajak kita untuk berfilsafat dengan menuliskan artikel ini. Saya hanya ingin mengundang kita orang Dayak untuk menyadari kembali betapa agung, luhur, dalam dan kaya, adat dan budaya kita orang Dayak.
Keagungan dan keluhuran itulah yang membuat kita bangga menjadi orang Dayak. Yang membuat rasa cinta dan hormat terhadap kebudayaan Dayak selalu mekar bersemi di lubuk hati kita masing-masing.
Kalau rasa bangga, cinta dan hormat itu tidak ada, kita orang Dayak tidak akan bereaksi dengan keras ketika ada sekelompok orang mengatakan pulau Kalimantan sebagai tempat jin buang anak. Hanya monyet yang mau tinggal di sana.
Pakaian Adat Dayak
Seiring dengan perkembangan zaman, terlebih dengan hadirnya banyak platform media sosial (Youtube, Instagram, Tiktok, dll), rasa cinta dan bangga itu seakan secara perlahan-lahan mulai tergerus.
Apa yang menjadi perbendaharaan budaya kita, yang melaluinya identitas kita sebagai orang Dayak dikenal oleh orang luar, seolah mengalami pergeseran nilai dan makna dengan hadirnya platform-platform tersebut.
Fenomena pergeseran itu, bagi saya pribadi, merupakan sesuatu yang menggelisahkan. Sebuah kegelisahan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan akan saya alami karena saya yakin teguh kalau warisan budaya yang menjadi identitas suku Dayak ini akan selalu digunakan dalam batas-batas yang sudah diatur dan ditetapkan oleh adat.
Warisan dan kekayaan budaya yang saya maksudkan ialah pakaian adat Dayak. Saya rasa kita orang Dayak sama-sama sepakat bahwa pakaian adat itu digunakan untuk acara-acara atau perayaan tertentu yang berhubungan dengan adat.
Akan tetapi, sekali lagi, kemuncul platform media sosial di atas menjadi penyebab terjadinya pergeseran atau penyalahgunaan pakaian adat Dayak dari tujuan dan makna kodratinya. Menjadi penyebab goyahnya batas-batas yang sudah ditetapkan.
Coba saja searching di platform media sosial yang sudah disebutkan, saya cukup merasa yakin kita akan menemukan beberapa anak muda Dayak sambil mengenakan pakaian adat menirukan ragam gaya dan gerakan yang sedang viral atau ngetren di TikTok.
Pakaian Adat Dayak itu sakral
Kenapa fenomena itu menggelisahkan saya? Bukankah itu adalah bentuk dari kebebasan berkreasi dan berekspresi? Bukankah dengan hadirnya aplikasi TikTok generasi muda Dayak menemukan sarana untuk mengekspresikan dirinya?
Semua itu tentu ada benarnya. Namun poin utama yang mau saya garisbawahi ialah: sambil mengenakan pakaian adat Dayak. Sebuah pertanyaan langsung mengemuka: pantas dan layakkah pakaian adat Dayak digunakan untuk berjoget Tiktok?
Untuk menilai atau memutuskan pantas atau tidaknya, mau tidak mau kita mesti mengkaji terlebih dahulu persoalan paling mendasar berikut ini: Apakah yang menjadi tujuan dan makna esensial diciptakannya pakaian adat Dayak oleh nenek moyang kita?
Dari nama yang disematkan kepadanya, yakni “pakaian adat”, rasanya kita sudah langsung mafhum kalau dari semula ia dibuat untuk digunakan dalam momen-momen yang berkaitan dengan adat.
Adat apa saja? Kita bisa menyebut beberapa di antaranya: gawai adat Dayak, membawa anak mandi ke sungai, memasuki rumah baru, upacara adat menjemput pengantin, ritual adat tolak bala.
Pakaian adat Dayak juga kerap digunakan saat ada tamu kehormatan datang berkunjung. Dia digunakan bukan sebagai hiasan semata, melainkan mau menunjukkan bahwa kita masyarakat Dayak memiliki adat basa tersendiri dalam menyambut dan menghormati tamu yang datang.
Kehadiran pakaian adat juga sering dijumpai dalam acara-acara besar gerejawi. Perayaan misa tahbisan, pemberkatan pernikahan, hari raya Natal dan Paskah, adalah beberapa momen di mana Gereja Katolik memberi ruang bagi hadirnya unsur-unsur budaya Dayak dalam liturginya.
Penggunaan pakaian adat dalam momen-momen itu mau memperlihatkan betapa luhur keberadaan pakaian adat kita orang Dayak. Luhur karena ia merupakan sebuah karya seni dari manusia sebagai makhluk berakal budi.
Teringatlah oleh kita disi sini akan pemahaman kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat yakni sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar.
Dia juga luhur dan suci karena keberadaanya menjadi sarana bagi manusia tidak hanya untuk memohon berkat, perlindungan dan penyertaan dari Yang Ilahi, tapi juga untuk menghaturkan sembah bakti dan syukur mereka kepada-Nya (terejawantah dalam gawai Dayak dan liturgi Gereja Katolik).
Juga menjadi sarana bagi manusia untuk mengungkapkan dirinya sebagai makhluk sosial dan beradab (terungkap dalam upacara adat menerima tamu).
Dalam beberapa suku Dayak, barangkali juga dalam suku Dayak secara umum, pakaian adat baru boleh digunakan setelah dilakukan ritual adat sengkelan (pemberkatan ala suku Dayak atas barang atau lokasi dengan cara memercikkan/mengoleskan darah hewan).
Dengan disengkelan (diberkati) artinya barang tersebut sudah dikuduskan, disucikan. Sehingga layak untuk digunakan.
Bila demikian, sudah sepantasnya kita bertanya apakah segala jenis penggunaan yang menyimpang dari norma dan aturan yang sudah digariskan oleh adat itu dapat ditolerir atau dibenarkan?
Menjadi kegelisahan bersama
Saya sempat berselancar di internet untuk mencari barangkali saja sudah ada orang yang menuliskan apa yang menjadi kegelisahan saya tersebut. Dan hasilnya nihil. Seakan mau mengatakan kalau fenomena ini bukanlah sebuah perkara yang meresahkan dan menggelisahkan.
Oleh karena itulah, jujur saya katakan kalau sesungguhnya saya agak sedikit ragu untuk mengangkat topik ini. Saya ragu apakah topik ini merupakan sebuah perkara yang begitu serius sehingga harus dihadirkan ke sidang pembaca.
Saya juga ragu apakah topik ini harus menjadi wilayah kajian dan refleksi saya sebagai seorang pemuka agama (pastor Katolik). Saya hanya berpikir bahwa apa yang menjadi kegelisahan saya ini merupakan ranah tuan-tuan dan puan-puan yang ada di lembaga-lembaga adat Dayak untuk memikirkannya.
Namun saya sungguh berharap agar kegelisahan saya ini bisa menjadi concern kita bersama sebagai orang Dayak. Kita tentu tidak bermaksud mengadili dan menyalahkan generasi muda Dayak.
Mereka bertindak demikian barangkali berangkat dari ketidaktahuan. Akan tetapi, di balik itu semua sesungguhnya gaya dan mentalitas hidup yang ditawarkan oleh peradaban modern sedang mengintai generasi muda Dayak.
Sebuah peradaban yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi yang kemudian banyak merubah pola dan tingkah laku kehidupan manusia.
Ingin menjadi viral dan terkenal; membeli sesuatu bukan karena sungguh-sungguh dinikmati, melainkan hanya karena mengikuti trendy, merupakan gaya dan mentalitas hidup yang hampir setiap detik dan menit menggoda kita.
Dan bila sudah jatuh ke dalam godaan itu, orang kerap kali tidak lagi mempedulikan dan memikirkan kebenaran yang hakiki, melainkan kebenaran yang bersifat sementara. Dalam konteks pembicaraan kita tentang pakaian adat Dayak, kebenaran hakiki yang tidak lagi dipedulikan ialah kesakralan dari pakaian adat itu sendiri.
Kata-kata Paus Fransiskus berikut patut kita renungkan: “Bahaya besar dalam dunia sekarang, yang diliputi konsumerisme, adalah kesedihan dan kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri namun tamak, pengejaran akan kesenangan yang sembrono dan hati nurani yang tumpul.
Ketika kehidupan batin kita terbelenggu dalam kepentingan dan kepeduliannya sendiri, tak ada lagi ruang bagi sesama, tak ada tempat bagi si miskin papa. Suara Allah tidak lagi didengar, sukacita kasih-Nya tidak lagi dirasakan, dan keinginan untuk berbuat baik pun menghilang. Ini merupakan bahaya yang sangat nyata bagi kaum beriman juga” (Evangelii Gaudium 2).
Digerakkan oleh rasa cinta dan bangga sebagai orang Dayak
Masri Sareb Putra, seorang pegiat literasi Dayak, pernah mengatakan: “Yang bergerak di bidang agama, menjadikan orang Dayak bermoral dan bertabiat baik”. Sebagai seorang pemuka agama, tidak ada niatan dalam diri saya untuk memosisikan diri sebagai polisi moral bagi generasi muda Dayak.
Anak-anak muda Dayak itu, di mata saya, sama sekali tidak memiliki moral yang jelek hanya karena ber-TikTok ria menggunakan pakaian adat Dayak. Apa yang saya tuangkan di sini hanyalah sebentuk kegelisahan dan kekhawatiran dari seorang insan yang merasa diri bangga menjadi orang Dayak.
Saya pun tidak hendak mengklaim kalau saya sudah mengenal budaya Dayak dengan lengkap dan sempurna. Di sini saya hanya hendak menghayati hidup, seperti digagas oleh Michel Foucault, sebagai estetika eksistenti.
Yang artinya hidup manusia dilihat sebagai sebuah karya seni, yaitu suatu usaha membangun diri secara terus-menerus dan tidak pernah mengenal titik istirahat.
Hal yang sama kiranya juga berlaku bagi kita orang Dayak. Bahwa eksistensi kita sebagai manusia Dayak itu merupakan sebuah proses menjadi dan tidak pernah mengenal titik istirahat.
Karena itu terkhusus bagi generasi muda Dayak, mohon tulisan ini jangan dilihat sebagai upaya untuk mematikan daya kreasi kalian. Kalian hidup di era digital.
Sudah seharusnyalah kalian menggunakan segala media yang ada untuk berkreasi mengembangkan diri serta memperkenalkan kekayaan budaya Dayak ke seluruh penjuru dunia.
Namun, lakukanlah semuanya itu atas dasar rasa cinta dan bangga sebagai orang Dayak. Bukan karena semata-mata untuk mengejar “like”, “comment” dan “share”. Sebagai orang Dayak, kitalah yang pertama-tama mengenal diri dan budaya kita dengan baik.
Untuk hendak mengatakan bahwa kita orang Dayak-lah yang pertama-tama mesti mencintai, menghormati, merawat dan melestarikan kebudayaan kita. Bukan orang dari suku lain.
Jika bukan kita, siapa lagi?
Salam Satu Dayak.
Salam Budaya.
Foto: Penulis saat menerima rahmat tahbisan imamat. Sebagai bentuk rasa cinta dan bangga sebagai orang Dayak, penulis sematkan motif Dayak pada kasula dan stola.