Buku bacaan anak Indonesia, dilihat dari tema, tidak bergeser dari masa ke masa. Petualangan dan fantasi masih mendominasi. Namun, produk lokal makin tergerus. Sekolah-sekolah internasional menggunakan produk terbitan luar negeri. Bagaimana tren buku anak Indonesia?
Buku bacaan anak, sebenarnya, bukanlah genre. Tetapi segmen. Dengan “anak” dimaksudkan anak kecil usia 1-6 tahun dan anak besar usia 6-12 tahun. Sepanjang musim, buku untuk segmen ini tidak pernah surut.
Tak mengherankan, banyak penerbit di tanah air terjun ke segmen ini. Data Ikapi menunjukkan, market share buku anak adalah 22.64% dari sekitar 30 ribu judul buku per tahun yang terbit di Indonesia.
Pada awal mula, buku bacaan anak-anak yang banyak beredar adalah serial detektif cilik terjemahan. Misalnya, karya Enid Blyton (Sapta Siaga, Lima Sekawan, dan Pasukan Mau Tahu) .
Buku cerita semacam itu laku keras, antara lain karena tampil tepat waktunya, muncul saat anak-anak Indonesia memang memerlukan buku-buku fantasi yang mengandung petualangan, sekaligus hiburan.
Baru kemudian hari, cerita seperti itu “diikuti” oleh pangarang Indonesia, seperti Dwianto Setyawan dengan serial buku detektifnya Terlibat di Bromo, Terlibat di Trowulan, dan Sersan Grung-grung.
Itulah, antara lain faktor penyebab mengapa Dwianto Setyawan amat lengket di hati anak-anak Indonesia. Di samping “mendompleng” keberhasilan buku-buku terjemahan yang memang telah mengondisikan suasana, jika diamati buku-buku Dwianto rata-rata menghibur anak-anak. Selain menghibur, juga mendorong anak untuk berprestasi. Inilah yang oleh psikolog sosial Dr. David McClleland disebut sebagai salah satu ciri buku yang baik, yakni buku yang mengandung dan memacu sikap dan tindak untuk berprestasi (the need for achievement –N-Ach),
Bahkan tidak hanya itu! Dwianto punya kelebihan lain. Selain mengaduk-aduk fantasi anak-anak, hampir di semua bukunya ia sertai dengan dengan kelengkapan data dan informasi mengenai suatu tempat (objek) yang ia angkat menjadi setting peristiwa. Terlibat Bromo misalnya, ia lengkapi dengan informasi komplet tentang kehidupan suku Tengger, upacara kasodo, dan asal usul terjadi Kawah Bromo.
Selain memperoleh hiburan, anak-anak juga mendapat pengetahuan baru melalui buku yang dibacanya. Dalam sebuah buku, anak menemukan banyak hal berguna. Tentu saja, yang begini ini tidak bisa didapat dari buku-buku impor.
Karena itu, tak pelak lagi, Dwianto mungkin salah satu dari sedikitnya jumlah pengarang Indonesia yang punya minat khusus pada cerita anak.. Ia menulis buku melulu dari mengutak-atik fantasi dan dunia anak.
(Puthirmembacabuku)
Dan untuk menghasilkan buku itu, ia melakukan sesuatu yang tidak umum di buat oleh pengarang yang lain. Ia membaca sejumlah buku, datang melakukan riset ke lokasi.
Untuk serial cerita detektif Terlibat di Trowulan misalnya, diciptakannya tokoh laki-laki dan perempuan berumur 12 tahun. Mengapa 12 tahun? Karena sasaran pembacanya adalah anak-anak SD, anak kurang lebih sebaya dengan tokoh. Di sana berlaku rumusan, “people likes to read about people”. Orang menyukai kisah tentang sesuatu menyangkut diri dan dunianya. Dan faktor kedekatan inilah yang menjadi jembatan penghubung antara buku dan pembaca (pembeli). Rumusan yang juga sama dengan bagaimana memilih sajian untuk surat kabar dan majalah.
Pergeseran
Setelah sukses dengan buku-buku fiksi anak yang mengambil setting di negeri sendiri, memasuki tahun 1990-an, selera anak-anak “bergeser” ke Negeri Sakura. Buku terjemahan dari Jepang, hampir seluruhnya komik, menjadi sebuah tren yang fenomenal.
Tidak penting, apakah pergeseran itu distrategikan (dikondisikan baik dengan iklan maupun dengan promosi) ataupun bukan. Yang jelas, hikmah yang bisa dipetik dari sana ialah bahwa konsumen bisa digiring masuk ke dalam sebuah skenario tertentu. Bahwa pasar dapat diciptakan untuk mengonsumsi sebuah produk tertentu. Untuk itu, ada ilmunya. Ada kiatnya. Dan trik seperti itu, dinamakan “ilmu marketing”.
Berawal dari serial Candy-Candy, kini jutaan anak Indonesia berpaling ke Jepang. Tidak hanya anak-anak, mahasiswa pun masih membawa dan membaca komik terjemahan dari Jepang.. Tayakan kepada anak-anak, apakah mereka mengenal siapakah Candy? Mereka pasti tahu jawabnya, sebab Candy adalah tokoh idola mereka.
Candy-candy adalah karangan Yumiko Igarasi dan Kyoko Mizuki (dari bahasa Jepang). Inti ceritanya mengisahkan tentang petualangan Candy. Pada suatu hari, Candy diadopsi oleh keluarga Legan yang kaya, tetapi Candy tidak diangkat seperti Anny. Teman akrabnya ini tidak mau mengenal Candy setelah diadopsi keluarga Brightson. Candy diangkat sebagai pembantu untuk Neil dan Eliza.
Di tengah kesedihan, Candy berjumpa dengan Anthony yang mirip dengan pangeran, si pesolek Archie, dan Stea yang jenius. Ketiga pemuda itu selalu menemani Candy dalam suka maupun dalam duka. Dan Candy pun pergi ke Chicago….
Karya penulis-pengarang dalam negeri, contoh buku buah karya Murti Bunanta Si Bungsu Katak (The Youngest Frog) dicetak hard cover, kertas isi art paper, dan full color. Karya yang tidak kalah bermutu dibanding buku terjemahan.
Setelah sukses dengan Candy-candy (PT. Elex Media Komputindo) menyusul Akira, buku serial bacaan anak-anak yang bercerita mengenai dunia impian masa depan. Tahun 2030, saat dunia baru pulih dari Perang Dunia III, kejadian-kejadian berkembang di Tokyo. Pelacakan terhadap seseorang berwajah keriput, bertenaga telekinetik mahadasyat dengan tanda 26 pada telapak tangannya. Dia yang menguasai petunjuk terhadap sesuatu yang sangat berharga dan menakutkan, dikenal dengan nama “Akira”, dengan dua orang pengikutnya, yaitu Kay dan pemuda Ryu.
Secara akal sehat, pandangan ke dua dekade ke depan itu Secara akal sehat merupakan sesuatu yang mustahil. Itulah yang dalam ilmu sastra disebut sebagai “fantasi modern”. Bahkan, ada yang menggolongkannya sebagai fiksi ilmiah (science fiction). Namun, bukan berarti bacaan yang tidak mendatangkan manfaat. Sebelum Neil Armstrong, si manusia pertama mengginjakkan kaki di bulan, sudah ada sebelumnya cerita fiksi mengenai manusia pergi ke bulan.
Belakangan, anak-anak pun tampak akrab dengan buku cerita bergambar. Mereka menyukai Cinderela, Putri Oyayu, Putri Tidur, Songokuu, Danau Angsa, atau Alibaba. Anak-anak juga menyukai buku cerita dalam negeri. Kemasannya tidak saja seindah buku-buku terjemahan. Tapi juga penyajiannya (teknik penulisannya) tidak kalah memikat dibanding buku anak terbitan luar.
Lihat saja buku yang mengambil setting dalam negeri karya Ani Sekarningsih atau Murti Bunanta yang berkisah tentang suku Asmat dan anak Maluku.
Bahkan, karya Murti Bunanta, Si Bungsu Katak (The Youngest Frog) dicetak hard cover, kertas isi art paper, dan full color. Karya yang tidak kalah bermutu dibanding buku terjemahan. Tidak salah kalau Dewan Buku untuk Anak-anak Internasional Polandia menganugerahkan dan mennjunjung The Youngest Frog sebagai karya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan mempererat tali kemanusiaan. Dan kepada penulisnya, Murti Bunanta, dikalungkan anugerah “Janusz Korezak”.
Buku-buku karya Murti boleh dikatakan “model” untuk dapat dikembangkan secara lebih kreatif menjadi buku berkelas internasional ke depan.
Produk Dalam Negeri
Lalu bagaimana produk dalam negeri? Harus tampil lebih baik lagi!
Masih tetap prospek, dengan catatan, insan perbukuan mafhum selera pasar dan cedik bagaimana masuk ceruk pasar. Buku anak yang dari dulu, kini, dan masih akan laku ialah jenis buku bacaan, informasi, pengayaan bidang studi, hiburan, dan buku penuntun.
Jadi, sebenarnya buku dalam negeri dapat bersaing dengan buku terjemahan. Asalkan, insan perbukuan (penerbit-pengarang) tahu trik-triknya.
Ada banyak peluang buku bacaan anak. Masih banyak ruang kosong untuk diisi. Penerbit dan pengarang perlu memperhatikan bahwa di masa yang akan datang diperlukan buku bacaan yang menunjang Kurikulum sesuai dengan semangat Permendikbud No. 8 Tahun 2016. Semangat itu, antara lain:
– menumbuhkan sikap positif,
– memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan anak untuk hidup bermasyarakat,
– mempersiapkan peserta didik agar memenuhi persyartan untuk mengikuti pendidikan berikutnya, yakni sekolah lanjutan.
Trend
Tren adalah kecenderungan yang akan datang. Saat ini, di negeri kita, sekolah-sekolah internasional cenderung menggunakan buku terbitan luar negeri. Hal itu karena buku-buku asing dianggap lebih bermutu dari segala hal. Bukan saja isinnya, juga penulisan, cara penyajian, dan mutu bahan baku dan cetaknya.
Meski demikian, temanya kurang lebih sama. Yakni menumbuhkembangkan nilai-nilai, edukatif, selain bermuatan hiburan.
Jika ingin bersaing, insan perbukuan di negeri kita pun wajib minimal menyajikan buku sekelas yang digunakan di sekolah-sekolah internasional dimaksud.
Ke depan, akan banyak dibutuhkan buku yang dapat merangsang imanjinasi dan kreativitas anak, buku yang menumbuhkan sikap percaya diri serta menyibak cakrawala anak seluas-luasnya.
Sedangkan dari segi teknis, buku anak diharapkan dapat dijangkau oleh anak sesuai kemampuannya, isinya baik dan positif sesuai dengan kurikulum, ditulis sesuai kaidah bahasa Indonesia, pewarnaan yang baik, dan merangsang minat anak untuk membaca.
Dan di atas semuanya itu, hendaknya buku anak tidak hanya menghibur, tapi juga berguna. Jika dapat menggabungkan keduanya, niscaya buku anak di negeri kita akan sanggup keluar dari kutukan lama “oplah tiga ribu”. Lalu menembus tiras jutaan.
Bilamana waktunya?