Kuching, sebagai ibu negeri Sarawak, Malaysia, memiliki sejarah yang kaya, terutama terkait pemisahan Sarawak dari Indonesia. Untuk warga yang tinggal di perbatasan, batas hanya merupakan konsep imajiner yang diciptakan oleh manusia. Ini, seperti garis waktu masa kanak-kanak, berfungsi untuk memisahkan egoisme kita dari teman, menandakan kekuasaan kita.
Baca Balai Sebut dan Jangkang dalam Catatan Misionaris asal Belanda
Kenyataannya, Sarawak dan Kaliantan-Indonesia memiliki saudara-saudara yang tinggal di berbagai negara. Saya memiliki keluarga di Sibu, teman-teman di Miri, Sabah, dan Sandakan, serta saudara-saudara etnis Bidayuh di Serian dan beberapa di Tebedu. Hubungan yang saling silang ini menciptakan persekongkolan yang erat.
Terbenam di Museum Sarawak
Saya sering terbenam di Museum Sarawak, di mana Dr. Ipoi Datan pernah menjadi Ketua Pengerusi. Saya menghabiskan waktu berhari-hari untuk meneliti artefak dan membaca buku-buku kuna di sana. Pada sore hari, sering kali saya duduk di tepi Sungai Sarawak, menikmati secangkir kopi dan makan malam.
Buku-buku mengenai suku Dayak di Sarawak sangat beragam, mencakup legenda, mitos, hingga hasil penelitian. Museum Sarawak telah menjadi sumber referensi yang berharga bagi saya, meski saya juga sering membeli buku di toko-toko di sekitar Water Front.
Baca Astana in a bank of Sarawak River
Manajemen profesional Museum Sarawak menyediakan berbagai referensi terkait Sarawak, etnologi/etnografi, kepercayaan tradisional, dan sejarah. Bahkan, mereka memiliki jurnal ilmiah dengan topik riset yang luar biasa dan unik. Saya menemukan banyak monografi dengan penjelasan detail tentang kenyalang (hornbill), lambang khas orang Dayak.
Meskipun simbol ruai dan enggang umumnya diketahui di kalangan suku Dayak, subsuku Dayak Lun Bawang (Lun Dayeh) tidak mengenal simbol tersebut. Mereka, yang jumlahnya mencapai 20.000 di Sarawak, memiliki akar budaya yang sama dengan Indonesia. Tokoh legendaris mereka, Yupai Semaring, memiliki situs bersejarah seperti Batu Narit di perbatasan antara Sabah-Sarawak, dan di dataran tinggi Ba Kelaban, terdapat situs di Pa Ukat dan Pa Lungan.
Muzium Sarawak berjasa besar dalam kolaborasinya dengan Inggris untuk melakukan uji karbon di situs gua batu Niah, Miri. Penemuan ini mengungkap bahwa manusia pertama yang menjadi penghuni Varuna-dvipa (Borneo) telah hadir di pulau ini sejak 40.000 tahun yang lalu.
Baca Dayak di Sarawak| Metode Penelitian Etnografi
Gua Niah saat ini merupakan bagian dari Taman Nasional, dengan penduduknya berasal dari suku Orang Iban. Tanpa peran Museum Sarawak, kita mungkin tidak akan menyadari bahwa kita adalah pemangku tanah Borneo, sebuah warisan nenek moyang puluhan ribu tahun yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Museum Sarawak didirikan pada tahun 1888
Selama kepemimpinan Ipoi Datan, Ph.D., seorang Lunbawang (Lun Dayeh di Indonesia) di Museum Sarawak, saya sering berdiskusi dengannya di museum, terutama seputar sejarah dan tradisi nenek moyang suku bangsa Dayak.
Menurut penelitian Ipoi Datan, tidak semua suku bangsa Dayak memiliki simbol atau ikon burung engang, ruai, atau kenyalang (hornbill). Meskipun banyak rumpun Dayak yang menjadikan burung tersebut sebagai simbol ketinggian, kecerdasan, ketangkasan, dan kedigdayaan.
Menurut Ipoi, suku Lun Dayeh atau Lunbawang memiliki simbol berupa buaya, suatu temuan yang diungkapkan melalui penelitiannya yang diterbitkan dalam jurnal Museum Sarawak.
Muzium Sarawak didirikan pada tahun 1888 dan dibuka pada tahun 1891 di Kuching, Sarawak, oleh Charles Brooke, Rajah Putih Sarawak II, atas permintaan Alfred Russel Wallace.
Muzium Sarawak telah berkembang menjadi institusi modern dan lengkap. Meskipun awalnya dipimpin oleh seorang “kurator”, atau pemelihara dan penjaga. Namun, sejak 2009 hingga sekarang, kepala museum disebut “Direktur.” *)