Judul : Pohon-pohon Sesawi
Penulis : YB Mangunwijaya
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 1999
Tebal : 124 halaman
BERBEDA dengan karya-karya lain, memang sulit memahami novel terakhir Romo Mangun lepas dari konteksnya.
Pembaca awam langsung dibuat bingung begitu membaca judul Pohon-pohon Sesawi. Sawi berpohon? Tidak mungkin! Bukankah sayuran itu hanyalah tetumbuhan kecil yang biasa ditanam petani di petak-petak kebun?
Namun, jika kemudian kita membaca sampai pada halaman terakhir, konteksnya menjadi jelas. Romo Mangun menggunakan metafora dan memetiknya secara tepat dari khazanah Alkitab.
Tidak bisa lain kecuali menyimpulkan bahwa judul novel ini lahir dari inspirasi usai membaca kutipan Injil (Matius, 13:31-35) bertajuk Perumpamaan tentang Biji Sesawi.
Saya mewawancarai Romo Mangun, Surabaya, 1995.
Ketika menjelaskan tentang Kerajaan Allah, Yesus antara lain mengatakan, “Hal Kerajaan Surga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar daripada sayuran lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
Jelas, pohon sesawi hanyalah metafora. Di balik itu terkandung wasiat, bernada harapan. Romo Mangun menginginkan agar setiap orang Kristen hidup meniru sawi. Benihnya kecil, tetapi jika sudah tumbuh, menjadi besar di antara sesama sayuran. Bagai sawi, orang Kristen diharapkan low profile, namun serentak dengan itu menghasilkan buah kebaikan untuk sesama.
Menurut Romo, dengan meneruskan metafora sesawi tadi, dakwah (pewartaan – Red) orang Kristen yang sejati bukanlah evangelisasi, atau usaha penyebaran dan pengabaran Injil; tetapi dakwah yang utama adalah kesaksian hidup.
Setiap orang Kristen menjadi saksi kehadiran Kristus di tengah-tengah dunia melalui tindak tanduk dan perbuatan mereka. Kesaksian hidup sering ditekankan oleh Romo dalam berbagai tulisannya mengenai “Gereja Diaspora”, yaitu bahwa pada hakikatnya setiap orang Kristen dalam pengembaraan di dunia fana ini adalah martir.
Subjudul buku ini jelas menyebutkan bahwa buku ini adalah novel terakhir Romo Mangun. Karena ditulis pada masa-masa terakhir sebelum kembal ke rumah Bapa, timbul persoalan, atau setidaknya pertanyaan. Sebagai sebuah karya sastra, sudah utuhkah karya ini?
Setiap orang Kristen hidup meniru sawi. Benihnya kecil, tetapi jika sudah tumbuh, menjadi besar di antara sesama sayuran. Bagai sawi, orang Kristen diharapkan low profile, namun serentak dengan itu menghasilkan buah kebaikan untuk sesama.
Pertanyaan itu coba dijawab dalam pengantar yang ditulis Joko Pinurbo dan Th. Kushardini – keduanya orang dekat Romo Mangun. “Karya yang kini hadir di hadapan pembaca semula adalah naskah yang tercerai berai.
Kami mendapatkannya di antara sekian banyak berkas tulisan yang ditinggalkan oleh almarhum Romo Mangun.
Memang, sebelum meninggal, Romo Mangun pernah bercerita bahwa ia sedang mengerjakan suatu novel. Kami tidak tahu apakah novel ini yang dia maksud.”
Menjadi gamblang bahwa proses penerbitan novel ini diawali dengan interpretasi. Pertama, benarkah naskah ini yang dimaksudkan Romo Mangun sebagai novel yang dikerjakannya sebelum meninggal? Kedua, karena tanpa finishing touch dari pengarang langsung, sulit dipastikan keutuhan karya ini. Ketiga, apakah sembilan bab novel, ataukah lepas-lepas dan berdiri sendiri seperti cerpen?
Bukan tugas penerbit dan penyunting buku ini menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik seperti itu. Para kritikus sastralah yang mesti menjawabnya. Bahkan, pembaca yang kritis pun dapat menarik kesimpulan sendiri.
Sebab dilihat dari tema sentralnya, memang ada benang merah yang menghubungkan bab demi bab. Lagi pula tokoh protagonis sama: Yunus, alias Rahadi.
Rahadi adalah tokoh yang mengingatkan kita pada salah satu novel terbaik Romo Mangun, Romo Rahadi yang mengambil setting awal di Magelang, kemudian Irian Jaya. Ketika melempar novel ini di tahun 1982, Romo Mangun menggunakan nama samaran. Dilihat dari kritik sastra. Romo Rahadi dan Pohon-Pohon Sesawi ada kesamaan dan kemiripan. Keduanya mengambil setting back drop, serta tema yang kurang lebih sama. Selain itu, lanjaran yang menghubungkan bab demi bab juga sama.
Mungkin berlebihan mengatakan kedua novel tadi adalah biografi atau kisah hidup sang penulis sendiri. Namun, mengingat begitu banyak nama tempat, tokoh, serta dunia nyata seorang biarawan yag diangkat; mau tidak mau orang akan menghubungkan novel ini dengan dunia nyata pengarang.
Dalam novel ini (juga novel Romo Rahadi) misalnya, tegas disebut tempat-tempat seperti Magelang, Mertayudan, seminari, paroki, pastor, serta setback masa kolonial, semuanya ini mengingatkan kita pada lingkaran kehidupan dan dunia nyata Romo Mangun sendiri.
Kemiripan lain novel ini dengan kehidupan pengarang dapat dilihat pada bab “Gejala Pergolakan Suci” yang antara lain mencatat bahwa sleama 39 tahun sebagai pastor tentulah sudah 39 kai dia mempersembahkan koran Misa Natal. Ketika mda mengharukan dan meneguhkan. Kemudian menjadi pekerjaan rutin. Walaupun sudilah jangan disebut mekanis (halaman 95).
Itu sekedar menunjukkan contoh gaya akuan yang dalam sastra memang sah-sah saja. Sekaligus, mengamini apa yang dikatakan penyunting bahwa Romo Mangun, lewat karya ini merefleksikan perjalanan hidupnya sebagai seorangimam dengan berbagai romantikanya, termasuk konflik-konflik batinnya.
Selanjutnya, para kritikus sastra dalam membahas dan mengapresiasi karya ini dapat mendekati dari sisi psikologi sastra, sosiologi sastra, atau cukup hanya melalui kritik teks saja tanpa menghubungkannya dengan pengarang.
Akhirnya patut diajukan pertanyaan berikut. Apa istimewanya novel ini? Terus terang, ditilik dari ilmu sastra, novel ini kalah jauh dibanding Burung-burung Manyar, Romo Rahadi, dan Burung-burung Rantau. Kita nyaris tidak menemukan suspense, kekhasan Romo Mangun menulis novel dalam Pohon-pohon Sawi.
Tapi satu kelebihan yang tidak ditemukan dalam novel lain bahwa Pohon-pohon Sawi adalah novel terakhir. Terakhir berarti puncak. Puncak adalah mahkota. Nilai novel ini bukan terletak pada pesannya. Agaknya, Romo Mangun sadar bahwa pujangga adalah guru moral yang membawa pesan. Romo mafhum tugas sastrawan tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik dikatakan Vossius. Poetae sunt morum doctores” (pujangga adalah juga guru moral). Ajaran sang guru moral jelas, yaitu jadilah biji sesawi, hasilkan buah yang baik.