Ojong dan Jakob: Penulis dan Guru Kami

Saya menjadi warga Kompas-Gramedia tahun 1989. Jadi, tidak ketemu langsung dan kontak secara fisik dengan Petrus Kanisius (PK) Ojong. Namun, dari kisah serta penuturan para senior, saya mengenal baik watak dan sifat beliau. Yang menekankan keJUJURAn dan watak baik, ketimbang keahlian dan kepintaran.

Masih segar dalam ingatan saya. Ada tulisan, di pigura, yang terpampang dengan sangat gamblang secara kasat mata pada dinding setiap ruangan. Tentang uang. Bagaimana uang perusahaan itu, bagi Ojong, adalah: sakral. Maka sepeser pun, harus dipertanggungjawabkan!

Dengan tunggalnya, Jakob Oetama, saya bertemu langsung. Kontak secara fisik. Dalam berbagai kesempatan. Rapat-rapat, Juga syukuran tahunan, di mana pidatonya sangat ditunggu-tunggu.

Tapi intens mendengarkan wejangan dan arahan Pak Jakob, ketika sebagai salah satu jajaran manajerial di unit usahanya PT Grasindo, kami wajib presentasi kinerja –sekalaigus evaluasi– di awal tahun.

Jakob paling disegani –bukan ditakuti. Kata-katanya sabda pandita ratu. Tak seorang pun berani membantah. Jakob locuta, causa finita! Tak mengherankan, di lingkungan konglomerasi Kompas-Gramedia, hanya Jakob yang disapa “Pak”.  Yang lain, sehebat apa pun dan setinggi apa saja jabatannya, hanya disapa: Mas.

Tutur kata Pak Jakob, halus. Diksinya tertata apik. Jika bicara, logikanya runtut luar biasa luar biasa. Ia seorang retorikus. Sekaligus orator ulung, yang saya pribadi kagumi. Dari contoh hidupnya, saya mafhum bahwa lembut tidak identik dengan lembek, keras tidak sama dengan kasar, dan tegas tidak berarti ngegas.

Sindirannya halus. Tapi jelas arahnya. Sasaran yang ditembaknya bisa merah padam. Saya kerap mengalaminya.

Katakanlah saya generasi ke-2 Kompas-Gramedia. Yang langsung menerima pengajaran dan nilai-nilai dari pendiri.

September 1989. Saya masuk gedung lantasi dasar Kompas-Gramedia. Bentuk fisiknya samasekali tidak menarik. Seperti bunker.

Ketika itu, saya Redaktur majalah Mingguan Hidup. Yang berkantor di dua tempat. Administrasi Keuangan di samping Katedral. Sedangkan Redaksi di Jalan Kebon Jeruk, rumah ke-2, dari kiri lampu merah Batusari. Tempat metromini biasanya mangkal dan jalur mikrolet M-11 lewat.

Saya ditelepon. Agar ke Palmerah. Kata salah seorang petinggi Penerbit Gramedia untuk “Main-main saja”.

Begitu tiba, obrolan pun mengemuka.

Saya dipersilakan duduk. Di depan, ada PC. Membukanya, ketika itu, dengan disket Dos.

Dipersilakan menghidupkan PC. Lalu diminta membuat tulisan.

“Besok datang lagi, ya?” kata salah seorang petinggi Kompas-Gramedia itu. Saya telah membaca tulisanmu. “

“Lha, mengapa?” bertanya saya. Heran.

“Tadi kan sudah bekerja!” selanya.

Saya heran.

Singkat cerita. Itulah hari pertama saya menjadi Insan Kompas-Gramedia. Saya ingat persis tanggal, bulan, dan tahunnya: 30-11-1989.

Selama sebulan, saya bekerja di dua kantor. Namun, tak sekali pun membuat surat lamaran. Surat lamaran pekerjaan, saya buat dua minggu kemudian. Itu pun yang minta HRD. “Untuk arsip,” katanya.

Jakob paling disegani –bukan ditakuti. Kata-katanya sabda pandita ratu. Tak seorang pun berani membantah. Jakob locuta, causa finita! Tak mengherankan, di lingkungan konglomerasi Kompas-Gramedia, hanya Jakob yang disapa “Pak”.  Yang lain, sehebat apa pun dan setinggi apa saja jabatannya, hanya disapa: Mas.

POIN saya bukan pada bagaimana awal mula menjadi insan Kompas-Gramedia (KG). Melainkan pada nilai-nilai. Yang disemai pendirinya.

Ketika karyawan trainer, kami ditempa habis. Saya masih menyimpan semacam poin-poin nilai itu. Langsung diberikan Alfons Taryadi. Salah seorang pendiri penerbit Gramedia dan wartawan Kompas senior. Ketika itu, Alfons Direktur Penerbit Gramedia.

Saya juga langsung menerima “pengajaran” dari Jakob Oetama. Terutama ketika ada acara, pidatonya luar biasa. Tatkala kami launching buku, Pak Jakob senantiasa bicara. Narasinya tentang keIndonesiaan, bagi saya, sungguh orisinal.

“Kompas-Gramedia adalah Indonesia mini,” ini salah satu proposisi dari Pak Jakob, yang saya senantiasa ingat.

“Kita ini, Kompas Gramedia, kapitalisme ke luar, sosialisme ke dalam.”

Dan berbagailah sukubangsa di Kompas Gramedia. Ketika saya sedang jaya-jayanya (200-2007) dan pernah menjabat Managing Editor di salah satu unit usaha, karyawan KG mencapai 18.000. Jumlah unit usaha (PT) 300. Dengan aset 45 triliun.

Bukan itu poin saya. Konglomerasi KG. Saya tak tertarik sama sekali!

Yang saya tertarik adalah mental-spritual saya ditempa di Kompas Gramedia. Terutama kami, generasi pertama dan kedua, yang langsung dididik oleh pendiri. Kurang lebih: watak dan kadar kebangsaan kami: sama.

Pepih Nugraha, salah seorang pendiri Kompasiana dan rekan di Borneopedia. Adalah saudara saya satu perguruan. Saya pensiun dini sejak 2013. Saya menggodanya agar juga pensiun dini.

Mengapa? Sebab nilai-nilai, rasa-rasanya, sudah mulai luntur, ketika itu. Visi generasi kedua yang memegang bahtera perusahaan, orientasinya semata bisnis.

Kami dulu kekeluargaan. Uang makan sama. Dari tukang sapu hingga direktur utama. Ada kebersamaan. Ada belarasa. Ada uang payung, di bulan er er yang penghujan.

Jakob-Ojong membangun bukan konglomerasi Kompas-Gramedia. Tapi keIndonesiaan.

Saya terkenang kedua orang luarbiasa. Saya juga terkenang Frans Seda, yang kerap datang ke Palmerah ketika itu.

Mereka, agaknya, terinspirasi. Sekaligus termakan asupan I. Kasimo “Jadilah 100% Katolik dan 100%  Indonesia.”

Apa artinya?

Alam dan suasana Kompas-Gramedia adalah Indonesia.

Buktinya, ada saya, orang Dayak. Sebagai warna pelangi penyangga kompeni yang tercatat merajai dunia penerbitan dan membangun literasi Asia Tenggara.

***
Jika pada ketika ini. Saya “baru” menulis dan menerbitkan buku ber-ISBN dan live in di Google berbilang angka 138.  Punya Badan Penerbitan – Lembaga Literasi Dayak (LLD). Web berbilang angka 3, yang dihiasi dengan Google Adsense. Menulis dan menerbitkan lebih 4.000 artikel di koran nasional dan internasional. Jadi ketua SC kongres literasi. Dan narasumber topik literasi dan kebudayaan.

Maka hal itu bukan sekonyong-konyong. Tanpa ada horizon latar belakang sejarah.

Saya hanya ingin jelaskan dengan tamsil ini saja. Bibit yang baik, jatuh di tempat yang tepat. Itulah ibarat saya dan Kompas-Gramedia.

***

Dari Ojong saya belajar mengenai keuangan perusahaan, yang sakral. Mudah masuk, sulit keluar. Dan semakin menambah jumlah besarannya, meski sen demi sen; tapi nambah terus.

Dari Jakob saya belajar banyak. Namun, satu saja saya ingin berbagi di sini. Kata Jakob yang tak pernah saya lupa, yan diucapkannya 30 tahun lalu, dan saya baru mengerti ketika melakukannya. “Social capial jika digarap dengan benar, akan menjadi financial capital. Uang pertama-tama adalah bukti kepercayaan masyarakat kepada kita atas karya dan pekerjaan baik yang kita lakukan.”

Kadangkala pengetahuan, apa pun itu, baru kita mengerti setelah mengalami!

Itu sebabnya, ketika menjadi dosen. Saya tidak pernah memarahi, atau memberi nilai D, kepada mahasiwa yang tidak mengerti bahan pengajaran saya. Seperti saya. Mungkin nanti, puluhan tahun kemudian. Setelah melakukan, mereka baru mafhum, “O…. ini toh yang dulu diajarkan dosen saya?”

Pak Jakob bukan guru biasa. Ia mahaguru setidaknya bagi saya.

 

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply