PASUKAN DAYAK DI MATA KOMANDAN PERANG BELANDA

Michael Teophile Hubert Perelaer sejatinya penulis novel di zaman kolonial. Dia menulis novel berjudul Baboe Delima dan Borneo van Zuid naar Noord. Borneo van Zuid naar Noord oleh Helius Samsudin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul DESERSI : Menembus Rimba Raya Kalimantan, lalu diterbitkan oleh Gramedia tahun 2006. Borneo van Zuid naar Noord adalah catatan Perelaer tentang etnografi orang Dayak, dari paparan bahasa novel, lebih tepatnya novel sejarah dan budaya Dayak.

Perelaer adalah tentara berpangkat letnan satu. Tahun 1860 sampai 1864 dia menjadi komandan yang mengepalai distrik Tanah Dayak, berkedudukan di Tumbang Kapuas. Perelaer salah satu prajurit Belanda yang aktif berperang melawan pasukan Antasari, Hidayatullah dan Aminullah (tiga pencetus Perang Banjar) dalam periode Perang Banjar tahap pertama (1859-1863). Karena selalu berada di medan perang, dia tahu bagaimana kondisi musuh-musuhnya.

Suatu hari, benteng yang dikepalainya di Kuala Kapuas diserang pasukan Dayak yang menggunakan anak sumpit beracun, dan sebagian anak buahnya terkena sumpit. Perelaer harus memutar otak untuk menyelamatkan anak buahnya dari racun siren itu, sebab jika tidak maka dalam hitungan jam anak buahnya akan merenggang nyawa. Iya, berkat pengetahuannya yang luas tentang kearifan lokal orang Dayak, anak buahnya selamat dari ancaman racun.

Dia juga tahu, rekannya yang berpangkat Kolonel dan menjadi komandan di distrik Marabahan dan Dusun harus merenggang nyawa di tangan pasukan Temenggung Surapati, tatkala mudik ke Dusun Hulu menggunakan kapal Onrust. Kalahnya pasukan Onrust di Lalutung Tour yang membawa persenjataan paling modern milik Belanda kala itu membuat Belanda berkabung. Itu kekalahan paling parah dalam sejarah peperangan di Borneo.

Karena pengetahuannya yang luas tentang Dayak dan etnografinya, Residen Borneo Selatan dan Timur – Verpick memintanya menulis buku tentang etnografi orang Dayak. Maka Perelaer menulis buku ilmiah yang kelak menjadi rujukan penting tatkala melihat suku Dayak di abad ke-19. Perelaer menulis Dayak dari sudut pandang: Ketuhanan, Kesejarahan, Persenjataan, Perang Orang Dayak, Perbudakan, Pesta Kematian (tiwah), Pertanian sampai Perdagangan dan Industri yang dilakoni orang Dayak. Buku yang kelak diberi judul ‘Etnographische Beschrijving der Dajaks’ itu terbit di tahun 1870, bisa dikatakan buku etnografi yang lengkap, meskipun ada data-data yang bombastis, namun apa yang disajikan benar (misalnya perang Asang di muara Kahayan antara pasukan Barito melawan pasukan Kahayan – Kapuas, yang juga ditulis oleh Schwaner, kejadian di tahun 1835). Buku ‘Etnographische Beschrijving der Dajaks’ menjadi buku paling apik yang memberi sudut pandang dari seorang tentara Belanda tentang orang Dayak, ditujukan kepada pembaca Belanda dan Eropa.

Mengapa Perelaer berani menerima tawaran menulis dari Residen Verpick, dia menjawab begini, “Empat tahun penuh, dari November 1859 hingga November 1863, saya menjelajahi kawasan masyarakat Dayak, karena saya ditugaskan selain menjalankan komando militer, saya juga melakukan pengawasan sipil. Oleh karena itu saya memiliki banyak kesempatan untuk mempelajari orang-orang Dayak melalui penelitian langsung.”

Di paragraph pertama dalam kata pengantar buku itu Perelaer menulis begini, ‘Gedurende volle vijf jaren, van 1859-1864, heeft de bevolking der Zuid en Oostkust van Borneo een bitteren krijg gevoerd tegen het Nederlandsch Gouvernement’ (Dalam waktu lima tahun penuh, dari tahun 1859 sampai 1864, masyarakat pesisir selatan dan timur Kalimantan mengobarkan perang sengit melawan Pemerintah Belanda).

Dalam paragraph berikutnya dia melanjutkan, ‘Wij treffen Dajaks aan bij schier alle gevechten; en de Maleische bevolking was reeds lang bedwongen, had reeds lang den rug gekromd, toen de fiere Dajaksche stammen in de binnenlanden van Borneo nog kreten van uittarting deden hooren’ (Kami berhadapan dengan orang Dayak pada semua pertempuran; dan orang-orang Melayu telah lama dikalahkan, telah lama menyerah, ketika suku-suku Dayak yang sombong di pedalaman Kalimantan masih mengeluarkan teriakan perang).

Dia masih meneruskan, ‘Antasari was reeds gestorven, Hidajat en Aminoe’llah waren reeds naar Java verbannen, Demang Lehman op gehangen, toen de Dajaksche Tommonggongs Soerapati en Toendan de oproervlag nog omhoog hielden en van geene onderwerping wilden weten’ (Antasari sudah meninggal, Hidajat dan Aminoe’llah sudah dibuang ke Jawa, Demang Lehman sudah digantung, namun Tommonggong orang Dayak, yaitu Soerapati dan Toendan masih mengibarkan bendera perang dan menolak menyerah).

Dalam penjelasan lain Perelaer menuliskan bahwa musuh yang berperang melawan mereka para prajurit Belanda sejatinya orang-orang Melayu (Melayu yang dimaksud adalah orang-orang Banjar dibawah komando Antasari, Hidayatullah dan Aminullah). Namun orang-orang Melayu inilah yang membuat orang Dayak ambil bagian dalam peperangan.

Orang Dayak menurut Perelaer adalah lawan mereka yang paling tangguh dan keras kepala. Orang Dayak bukan saja menguasai medan di hutan dan di sungai, mereka bisa membangun benteng terapung yang disebut kutamara. Mereka bertempur dari balik benteng terapung itu. Orang Dayak pula yang menghadang dan menenggelamkan kapal Onrust. Dia menyaksikan orang Dayak yang bisa menahan serangan tentara Belanda dengan persenjataan modern sampai puluhan hari di Benteng Lahei dan Tongka. “Orang Dayak selalu melawan kami dengan sangat kuat dan berani,” simpulnya.

Kembali ke perkara racun anak sumpit, pengetahuannya yang luas tentang Dayak barangkali sebagai modal untuk menyelamatkan pasukannya. Agustus 1859, benteng Kuala Kapuas yang menjadi pusat pertahanan pasukannya diserang pasukan Dayak. Para kombatan Dayak ini menggunakan senjata andalan, yaitu sumpit beracun. Sebagian tentara Perelaer terkena damek (anak sumpit) yang sudah diolesi racun siren (siren adalah nama pohon yang menghasilkan racun untuk anak sumpit). Racun itu menyebabkan anggota badan para tentara yang terkena menjadi lumpuh, kepala mereka pusing. Setelah pasukan Dayak itu mundur, para prajurit Belanda segera ditolong dengan pemberian cairan ammonia.

Perelaer memaparkan, saat berperang, orang Dayak tidak pernah berada dalam pasukan besar. Karena mereka menghindari unjuk kekuatan. Kombatan Dayak membagi pasukan mereka ke dalam kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok jarang mencapai 20 orang. Dalam satu kelompok biasanya ada yang paling berani, jumlahnya hanya satu atau dua orang saja. Biasanya pemberani yang berjumlah satu atau dua orang itulah yang paling merepotkan. Namun, karena jumlah yang kecil inilah mereka menjadi amat berbahaya, gerakan mereka lincah dan cepat. Mereka bisa bersembunyi dengan sangat baik, tidak terdeteksi dan tiba-tiba menyerang yang menyebabkan kerugian besar. Pasukan kecil itu bisa mengintai berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan, barulah mereka menyergap ketika situasi dianggap tepat.

Perelaer melanjutkan bahwa dalam peperangan, orang Dayak menunggu kelengahan. Andalan mereka adalah senjata mandau mereka sangat mengerikan. Mandau lebih fleksible dipakai ketimbang pedang, karena ukurannya yang pendek dan ringan. Mandau digunakan dalam pertempuran jarak dekat, jikalau jarak jauh orang Dayak menggunakan senjata api atau sumpit.

Perelaer meneruskan, jangan menyebut orang Dayak kombatan pengecut, mereka pasukan yang sangat berani. Mereka menyerang benteng kami di Pulau Petak. Mereka pula yang menghadang kapal Perang Onrust, Kapal Perang Suriname, Kapal Perang Monterado dan Kapal Perang Celebes, semua kapal perang itu dilengkapi persenjataan modern dan artileri berat. Pasukan mana yang bisa berperang dengan keberanian seperti itu selain Dayak? Dari sejumlah kapal perang yang pernah dihadang orang Dayak, Onrust yang mengalami kekalahan total (penulis).

Di halaman 79 pada bagian Peperangan Orang Dayak, Perelaer menuliskan, ‘Orang Dayak, andaikan mereka memiliki terdidik seperti orang Eropa, barangkali mereka adalah prajurit terunggul di dunia.’

Damianus Siyok

Share your love
Avatar photo
Damianus Siyok
Articles: 22

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply