PEDAGANG MELAYU DALAM BAIT HIKAYAT BANJAR

Melayu Borneo, hampir berbeda rasa soal sejarah dan bahasa dari Melayu di Tanah Melayu. Melayu Borneo hampir bertumpah tindih kosakata, sejarah dengan Dayak. Itulah yang dipaparkan oleh Ras ketika menguraikan ‘Hikayat Banjar’ hasil bedahannya. Hikayat Banjar adalah kumpulan naskah-naskah berisi sejarah kerajaan Dipa, kerajan Daha serta kerajaan Banjar dan Kotawaringin. Aslinya, hikayat ini ditulis dalam aksara Arab-Melayu.  Dibuat sekitar tahun 1663, sebanyak 4.786 baris, sekitar 120 halaman.

Johanes Jacobus Ras (Hans), professor bahasa dan sastra Jawa pada Universitas Leiden sebagai orang yang pertama kali meneliti, membedah serta mempublikasikan Hikayat Banjar ini. Buku Ras terbit tahun 1968 dan menjadi rujukan penting untuk menguraikan sejarah Melayu dan sejarah kerajaan Banjar. Ras menyebutkan Hikayat Banjar sebagai sastra kesusteraan Melayu, sebagai bagian dari sejarah Melayu (Ras, 1968; 9).  Selain berbahasa Belanda, karya Ras terbit dalam bahasa Melayu Malaysia dan menjadi bacaan penting puak Melayu. Setelah Ras menerbitkan karyanya 1968, tahun 1993 barulah Rosyadi dan kawan-kawan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuat kajian terhadap Hikayat Banjar dan mempublikasikan dalam bentuk buku setebal 172 halaman.

Sebagai naskah yang dianggap sastra tua tentang kerajaan di Borneo serta Melayu Borneo, Hikayat Banjar juga memaparkan, apa itu Melayu.

Mari kita lihat beberapa bagian penting dalam naskah yang dimaksud. Bagian 2, ayat 2, baris ke 24 sampai ke 30, mengisahkan kejayaan Bandar Dipa misalnya, Hikayat Banjar menuliskan “Berapa lama kemudian Negara Dipa itu bertambah-tambah makmur, suka ramai. Banyak orang berniaga, seperti orang Cina dan orang Melayu, orang Aceh, orang Johor, orang Malaka, orang Minangkabau, orang Patani, orang Mangkasar, orang Bugis, orang Sumbawa, orang Bali, orang Jawa, orang Bentan, orang Palembang, orang Jambi, orang Tuban, orang Madura, orang Makkau, orang Kaling.”

Pada bagian 3, ayat 1, baris 8 sampai 12, Raja Dipa berkata di hadapan para menteri dan rakyat tentang adat-istiadat Dipa, “Hai segala orang negeri Dipa, jangan lagi engkau sekalian itu memakai pakaian seperti orang Melayu, atau pakaian orang Cina, atau orang Siam, atau orang Aceh, atau orang Bugis, atau orang Mangkasar, sakalian itu jangan diturut.” Bagian ini menegaskan bahwa adat Dipa adalah Majapahit.

Pada bagian 7, ayat 2, baris 12 sampai 16 adalah pesan Pangeran Suryanata kepada Lambung Mangkurat dan kedua anaknya (Suryaganggawangsa dan Suryawangsa, hasil perkawinan dengan Putri Junjung Buih), “Pesanku, jangan ada orang seperti negeri orang lain, seperti cara Kaling, cara Biaju, cara Mangkasar, cara Bugis, sekalian cara orang Melayu jangan dituruti.” Pada bagian ini Suryanata menyatakan Biaju adalah sebuah negeri, yang cara berpakaian dan adatnya jangan ditiru. Demikian juga Melayu, adalah orang dari negeri asing yang cara berpakaian dan adatnya jangan ditiru.

Bagian 7, ayat 1, baris 38 sampai 43 menyatakan negara-negara yang tunduk kepada Pengeran Suryanata (Pangeran Majapahit) di Dipa adalah : Sukadana, Sambas, Batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai, Kerasikan, Berau. Negara-negara ini sebagai taklukan Majapahit serta Suryanata adalah perwakilan Majapahit yang berkedudukan di Dipa.

Bagian 9, ayat 5, baris 1 sampai 4 adalah mengisahkan Maharaja Sari Kaburungan mengubah Negara Dipa menjadi Negara Daha, memindahkan bandar dari Muara Rampiau ke Muara Bahan. Orang-orang dagang di Muara Bahan adalah orang Cina, orang Gujarat (Arab), orang Makasar, orang Melayu, orang Biaju.

Saat Dipa menjadi Daha, negara-negara taklukan Majapahit seperti Sukadana, Sambas, Batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai, Kerasikan, Berau tetap membayar upeti ke Daha. Ini terlihat pada bagian 9, ayat 5, baris 19 sampai 21.

Bagian 9, ayat 6, baris 11 sampai 16, Maharaja Sari Kaburungan berpesan kepada Sukarama (calon penerusnya) agar menjaga adat Majapahit, “Hai anakku Sukarama, janganlah kamu meninggalkan adat sejak dahulu kala, janganlah orang dalam negeri ini memakai adat seperti negeri lain, seperti cara Cina, cara Kaling, cara Melayu, cara Mangkasar, cara Biaju.”

Dalam pesan itu jelas bahwa Melayu dan Biaju adalah negeri yang berbeda dengan Daha. Melayu dari pulau lain, Biaju adalah negeri taklukan sedangkan Daha adalah pewaris adat Majapahit.  

Pesan terbesar Maharaja Sari Kaburungan kepada Sukarama selain soal memelihara adat Majapahir, agar negerinya (Daha) jangan bertanam sahang (Lada) lebih dari 10 tunggul setiap keluarga, sebab lada itu panas. Apabila sangat banyak akan menimbulkan banyak bencana. Pesan ini ada pada baris 17.

Pesan Maharaja Sari Kaburungan sepertinya dilanggar oleh penerus Sultan Suryansyah (Pangeran Samudera, raja pertama Banjar). Mereka bertanam lada banyak-banyak, memperdagangkan lada sampai ke Batavia dan akhirnya diketahui Belanda. Belanda datang ke Banjar dan membuat kontrak soal lada. Banjarmasin diduduki Belanda hampir 225 tahun gara-gara lada, dan selanjutnya kerajaan Banjar dihapus Belanda pada 1860. Tentu tidak bisa disebut tulah pelanggaran atas perintah Maharaja pertama Daha ini, tetapi lada benar-benar membuat masalah.

Pada bagian 12, ayat 1 baris ke 25 sampai ke 26, Patih Masih (Patih Banjar) bertemu dengan Samudera yang bersembunyi dari kejaran Pangeran Temenggung (ketika Sukarama meninggal, Pangeran Samudera meningglkan keraton karena takut dibunuh Pangeran Tamenggung). Dalam perjumpaan itu, Patih Masih bercakap dengan bahasa Banjar, tidak dengan bahasa Melayu, “Adapun kemudian dikatakan dalam bahasa Banjar, tiada itu bahasa Melayu.”

Pada bagian 12, ayat 1, dari baris 33 sampai baris 52 bercerita tentang orang-orang yang dipimpin Patih Muhur (Biaju), Patih Balit (Biaju), Patih Balitung (Biaju), Patih Kuin (Biaju) dan Patih Masih (Melayu) berkumpul menobatkan Pangeran Samudera sebagai raja. Penobatan itu mengikuti wasiat Maharaja Sukarama. Mereka meminum tuak dan arak. Bait 51, kelima Patih ini dengan sengaja membuat Pangeran Samudera mabuk tuak.

Pada bagian seterusnya, Hikayat Banjar banyak berkisah soal perang antara Samudera dan Pangeran Temenggung. Tentang bagaimana Sultan Samudera menjadi Islam di hadapan penghulu dari kerajaan Demak pada tahun 1526. Tentang negeri-negeri taklukan Majapahit tetap mengantar upeti. Ketika Semudera berperang melawan Temenggung, orang-orang dari negeri taklukan Majapahit itu ada di pihak Samudera. Orang-orang dari negeri taklukan Majapahit ini menghantarkan upeti pada musim angin timur dan pulang ketika musim angin barat.

Disamping pendirian keraton baru di Kotawaringin, datangnya orang-orang Belanda, berpindahnya keraton dari Banjar ke Martapura, bait-bait berikutnya lebih banyak bercerita soal silsilah. Pesan-pesan soal pantangan, soal adat-istiadat Majapahit, soal pelarangan menanam lada, dst tidak ada lagi.

Dari paparan Hikayat Banjar, kita bisa berkesimpulan bahwa disebut Melayu adalah orang-orang dagang. Melayu itu sama seperti orang Cina, Bugis, Makasar, dan bangsa-bangsa lain yang berlabuh dan tinggal di bandar dagang. Tidak heran, dalam perjanjian Sultan Banjar dan Belanda, orang dagang ini (termasuk orang Melayu) adalah pihak yang tunduk kepada hukum Belanda (silakan baca di Mengulik Pembuat Kata Dayak dan Melayu (silakan masuk ke link https://bibliopedia.id/mengulik-pembuat-kata-dayak-dan-melayu/?v=b718adec73e0). Sedangkan orang

Dalam perjanjian Sultan dan Belanda, orang Banjar asli (kelahiran Borneo) tunduk kepada hukum Sultan. Orang-orang Dayak tunduk kepada hukum yang berlaku di kawasan suku Dayak. 

Bagian itu menarik untuk ditelaah oleh para sejarawan dan peneliti sejarah Borneo. Setidaknya ada tiga masa yang harus dilihat betul-betul. Masa pertama adalah di zaman Dipa, dimana adat Melayu dianggap tabu untuk ditiru oleh rakyat Dipa. Pada masa Dipa, orang Melayu adalah orang dagang. Larangan tabu untuk meniru adat orang Melayu berlanjut sampai ke masa Daha.

Kerajaan Banjar berdiri setelah peperangan sengit antara Pangeran Samudera dan Pengeran Temenggung, baik di Muara Bahan maupun di Sangiang Gantung, yang diakhiri dengan kekalahan Pangeran Temenggung. Kekalahan Temenggung menghapus kerajaan Daha.

Pada masa kerajaan Banjar baru berdiri, orang-orang Melayu adalah orang dagang di Bandar, sama seperti masa-masa sebelumnya. Namun, ada sekelompok orang Melayu (dari Sumatera) yang mendirikan perkampungan di Banjar, yang dipimpin oleh Patih Masih. Orang kampung Patih Masih (Melayu) bersama orang kampung Patih Balit (Biaju), orang kampung Patih Muhur (Biaju), orang kampung Patih Kuin (Biaju), orang kampung Patih Balitung (Biaju) menobatkan Pangeran Samudera yang berdarah Majapahit (Suryanata) dan Dayak (Junjung Buih) sebagai raja di kawasan muara. Nama kerajaan ini bernama Banjarmasih, mengikuti nama kampung orang Melayu di kawasan paling muara.  

Mengapa Biaju disebutkan sebagai orang lain di suatu negeri dalam Hikayat Banjar? Kita akan membahasnya dalam tema yang lain.

Damianus Siyok

Share your love
Avatar photo
Damianus Siyok
Articles: 20

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply