Pengalaman Perjumpaan dengan Manusia dan Budaya Dayak Uud Danum

  1. Tahun yang sungguh sangat berkesan dalam perjalanan hidup saya. Pada tahun inilah, tepatnya bulan Agustus, saya menerima rahmat tahbisan imamat.

Di sini saya tidak ingin berkisah tentang bagaimana lika-liku perjalanan panggilan saya sampai kemudian berani memutuskan untuk ditahbiskan. Apa yang hendak saya kisahkan ialah lembaran baru dalam hidup saya yang kini sudah dipanggil dengan sebutan ‘pastor’.

Salah satu momen yang ditunggu-tunggu pada saat misa pentahbisan itu ialahlah ke mana saya akan diutus oleh Keuskupan. Saat yang ditunggu itu pun tiba ketika Mgr. Agustinus Agus mengumumkan kalau saya akan di utus melayani umat Allah di Paroki Ambalau.

Saya tentu menyambut dengan gembira hati ketika di penghujung perayaan Misa Mgr. Agus mengumumkan tugas perutusan tersebut. Namun, pada saat yang sama juga muncul ketakutan dalam diri saya.

Pasalnya, secara geografis paroki Ambalau memiliki medan pastoral yang sangat berat dan menuntut nyali yang tinggi.  Terlebih ketika musim hujan,  arus air akan sangat deras sehingga sangat membahayakan keselamatan, karena sepanjang sungai penuh dengan batu-batu besar dan juga riam-riam.

Paroki ini terbagi atas dua jalur utama, yaitu jalur sungai Melawi dengan anak sungainya yakni sungai Gilang; serta sungai Ambalau, yang mencakup dua anak sungai: sungai Jengonoi dan sungai Mentomoi.

Sebagai seorang yang berasal dari kampung yang letaknya sangat jauh dari sungai besar seperti Kapuas dan Melawi, sudah sewajarnya saya merasa takut. Saya memang pandai berenang, tapi rasanya kepandaian itu tidak akan ada artinya ketika berhadapan dengan kekuatan arus riam yang begitu dahsyat.

Rasa takut memang ada. Akan tetapi, kesetiaan pada janji imamat yang telah diucapkan berada di atas segalanya. Ke mana pun saya diutus, saya harus selalu siap untuk menjalaninya. Saya yakin dan percaya bahwa Dia yang telah memanggil akan senantiasa menyertai dan memberikan kekuatan kepada saya. Dan dengan mengambil motto tahbisan: “Berdirilah dengan teguh dalam Tuhan” (Flp. 4:1), saya ingin agar dalam setiap tantangan dan kesulitan dalam mengikuti-Nya saya akan tetap teguh berdiri. Bukan dengan mengandalkan kekuatan saya sendiri, melainkan kekuatan Dia yang telah memanggil saya.

Bukan hanya medan pastoralnya yang menimbulkan rasa takut, tapi juga manusia-manusianya. Tahu bahwa saya akan bertugas di Paroki Ambalau, beberapa orangtua di kampung mengingatkan agar saya berhati-hati. Sebab, konon katanya di daerah ini ada orang yang suka menguji “kekuatan” orang baru dengan cara menaruh racun atau sejenisnya di dalam minuman.

Rasa takut dan khawatir tentu ada. Namun, saya dengan gembira hati melangkahkan kaki menuju Paroki Ambalau. Saya sungguh merasa yakin akan diterima oleh umat di sana karena saya datang dengan dan membawa kasih. Bukan pertentangan, apalagi permusuhan.

Dan benar saja. Kedatangan saya disambut dengan sangat ramah oleh umat. Mereka telah mempersiapkan proses penyambutan khas suku Dayak Uud Danum. Sebuah tradisi penyambutan yang kaya akan makna. Dan yang tak akan pernah saya lupakan ialah tradisi bekumus. Sebab, inilah pertama kalinya dalam hidup saya menyaksikan orang saling mengotori dengan menggunakan tepung, bedak, lumpur, arang, dll.

Sebuah tradisi yang di mata orang luar barangkali tidak layak untuk dilestarikan. Sebab, bagaimana mungkin tamu yang baru datang disambut dengan lumpur, bedak, arang dan sebagainya.

Saya waktu itu juga sempat membatin. Apakah pantas memperlakukan tamu dengan cara demikian? Tidak adakah cara yang lebih santun dan layak? Akan tetapi dalam permenungan, saya sampai pada kesadaran kalau ungkapan kasih sayang di setiap tempat itu memang unik, namun tulus adanya. Saya sama sekali tidak merasa tersinggung atau sakit hati ditaburi dengan bedak, dilumuri dengan lumpur. Sebab saya yakin, melalui tradisi ini umat Allah mau mengungkapkan penerimaan yang tulus terhadap kehadiran saya. Bukan bermaksud untuk merendahkan ataupun mempermalukan diri saya.

Tradisi penyambutan tamu hanyalah satu dari sekian banyak kekayaan budaya yang dimiliki orang Dayak Uud Danum. Dalam perjalanan waktu hidup bersama dengan umat, saya menyaksikan seperti apa tradisi Dayak Uud Danum saat ada warga yang meninggal dunia. Bagaimana mereka dengan cara yang mengagumkan menunjukkan rasa hormat kepada sanak keluarga yang telah lama meninggal lewat upacara adat Dalok. Sebuah tradisi yang sarat dengan kandungan nilai filosofis-sosio-religius-kultural.

Saya harus dengan jujur mengatakan kalau saya sungguh beruntung pernah hadir dan hidup bersama orang Dayak Uud Danum. Meski tergolong singkat, hanya dua tahun, saya sungguh merasakan bagaimana umat dengan bakat dan kemampuan yang telah Tuhan anugerahkan, dengan caranya masing-masing terlibat dalam hidup menggereja.

Menjadi nyata apa yang diajarkan oleh Konsili Vatikan II bahwa, kaum beriman melalui pembaptisan yang mereka terima “dipanggil untuk sebagai anggota yang hidup menyumbangkan segenap tenaga, yang mereka terima berkat kebaikan Sang Pencipta dan rahmat Sang Penebus demi perkembangan Gereja serta pengudusannya terus-menerus” (Lumen Gentium, 33).

Dan terkait dengan perjumpaan iman Kristiani dan budaya Dayak Uud Danum, saya tentu berpedoman pada apa yang telah ditandaskan oleh Konsili Vatikan II: “Oleh karena itu segala kebaikan yang tertaburkan dalam hati serta budi orang-orang, atau dalam adat kebiasaan dan kebudayaan yang khas para bangsa, bukan saja tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah” (bdk. Lumen Gentium, 17; Ad Gentes, 9; Gaudium et Spes, 44; Nostra Aetate, 2).

Selain itu, saya berpedoman pada ajaran St. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik pertamanya Redemptor Hominis (1979). Berkaitan dengan relasi antara misi Gereja dan kebebasan manusia, Bapa Suci mengajarkan: “Sikap misioner selalu mulai dengan cita rasa menghargai secara mendalam “apa yang ada pada manusia” (Bdk. Yoh. 2:25),  apa yang oleh manusia sendiri telah dikaji dalam lubuk jiwanya mengenai persoalan apa yang paling penting dan mendalam. Misi, Bapa Suci melanjutkan, dengan demikian tidak pernah berupa penghancuran, melainkan mengangkat dan membangun secara segar” (No. 12).

Kisah pengalaman ini saya bagikan karena mengingat ada sekelompok orang, yang atas nama Amanat Agung mencari jiwa-jiwa yang belum mengenal Kristus, ingin memberangus kekayaan tradisi dan adat istiadat orang Dayak Uud Danum yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka secara turun temurun.

Selama dua tahun hidup di tengah-tengah orang Dayak Uud Danum, saya juga harus dengan jujur mengatakan kalau tidak jarang muncul pergumulan dan ketegangan dalam mewartakan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat. Akan tetapi, adanya ketegangan tidak kemudian membuat saya langsung mengecap masyarakat lokal sebagai pemuja dan penyembah berhala.

Dialog yang jujur dan sabar sungguh sangat diperlukan agar makin mengetahui harta-kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa (bdk. Ad Gentes,11).

Saya berharap, Gereja (Paroki Ambalau) bekerja sama dengan pemangku adat bisa mencegah hilang atau bahkan punahnya harta kekayaan budaya orang Dayak Uud Danum. Bagi Gereja Katolik di tanah Kalimantan, manusia Dayak dan kebudayaannya adalah locus bagi dirinya dalam menghayati misi dan perutusannya mewujudkan citra ilahi dan menghadirkan Kerajaan Allah.

Karena Sabda telah menjadi manusia, karena Kristus, yang adalah ilahi…realitas manusia dan segala sesuatu di dunia ini menjadi locus dari kehadiran-Nya, mampu untuk menjadi ekspresi kehadiran-Nya, jejak-jejak-Nya, bahasa-Nya (bdk. Christoph Schönborn, Man, the Image of God, 2011).

Share your love
Avatar photo
Gregorius Nyaming
Articles: 34

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply