Apa pun penilaian, atau kata orang. Yang pasti, buku ini memenangkan Hibah Buku Teks Peguruan Tinggi (DP-2M) Dikti Kemendiknas, tahun 2009.
KATA PENGANTAR
Filsafat Ilmu: Mencari Hakikat Pengetahuan yang Paling Hakiki
Oleh R. Masri Sareb Putra
Koordinator MKDU Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta
Berfilsafat kerap dianggap kegiatan yang hanya dilakukan para arif bijaksana. Olah pikir hampir selalu dihubungkan dengan para cerdik cendikia, kaum terpelajar, dan mereka yang punya waktu luang. Orang awam, atau rakyat kebanyakan, seolah-olah sama sekali tidak berfilsafat. Mereka dianggap kurang berpikir.
Hal itu bisa dimaklumi, terutama jika diungkit asal usul dan sejarah filsafat. Pada zaman Yunani kuno, kegiatan berfilsafat memang hanya dilakukan kaum elite tertentu. Para ahli pikir (filsuf) saat itu menggunakan seluruh daya dan kemampuannya untuk mencoba menerangkan berbagai fenomena. Mereka heran akan gejala alam. Mereka bertanya-tanya mengenai asal usul segala sesuatu. Mereka juga menggugat apa yang oleh umum dianggap sebagai hakikat. Mereka merenungkan segala peristiwa. Lalu mencari tali-temali serta menyimpulkan.
Apa yang mereka lakukan sekilas tampak aneh. Orang awam, karena harus memenuhi kebutuhan faalnya sehari-hari mencari nafkah lahiriah, hampir tidak punya waktu melakukan seperti yang mereka lakukan. Karena itu, muncul istilah Primo vivere, deinde philosophari (yang paling utama ialah urusan perut, berfilsafat kemudian, setelah kenyang).
Jika dicermati, istilah itu sarat dengan makna, dan menjelaskan mengenai adanya tingkat-tingkat pengetahuan. Sebagaimana diketahui, tingkatan pengetahuan yang terendah adalah pengetahuan yang diterima begitu saja tanpa pemikiran yang menimbulkan soal. Pengetahuan ini tidak menghasilkan kepastian, hanya perkiraan. Namun, pengetahuan ini sudah cukup untuk rakyat kebanyakan.
Selanjutnya, tingkatan menengah yang dicapai dengan jalan bukti (dialektis), namun masih belum menghasilkan. Sementara tingkatan pengetahuan tertinggi, yakni orang yang melatih diri dalam filsafat (tingkatan pengetahuan ini terutama dipopulerkan filsuf Ibn Rush (1126-1198).
Terlepas dari tingkatan-tingkatan itu, yang sama dalam filsafat ialah kegiatan olah pikir manusia yang terarah pada upaya mencari sebab-musabab segala sesuatu yang paling hakiki. Tuhan Hal ini sesuai dengan definisi filsafat sebagai Scientia rerum per causas ultimas. Namun, pengetahuan manusia ini hanyalah sebuah noktah kecil di hadapan Tuhan Yang Mahaluas (atau dewa pada era kelahiran filsafat di tanah Yunani kuno).
Itu sebabnya, manusia yang berfilsafat tidak sebijaksana dewa. Hanya dewa (Tuhan) saja Yang Maha Bijaksana. Manusia yang berfilsfat, berolah pikir, hanyalah mendekati saja. Ia cinta akan kebijaksanaan (philo – cinta, sophia – kebijaksanaan).
Dalam konteks itu, filsuf terkenal St. Agustinus mengatakan, “Scientia nostra, scientia tuae comparata, ignorantia) dalam Confess 11: 4,6. Pengehauan kita manusia, dibandingkan pengetahuan Tuhan, seujung kuku hitam; tidak ada apa-apanya.
Meski demikian, pengetahuan manusia tetap banyakfaedahnya-setidaknya bagi manusia itu sendiri. Pengetahuan menjadikan manusia makhluk sempurna di antara segenap makhluk.
Dengan pengetahuan, manusia dapat membedakan mana yang salah dan yang benar, yang baik dan yang buruk, danyangterbatas dan tak terbatas. Dengan pengetahuan itu pula,manusia mempertanyakan pengetahuan yang telah ia ketahui. Maka muncullah filsafat ilmu yang disebut epistemologi.
Apakah epistemologiapistemologi ialah salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan. Menurut F. Heylighen (1993), Epistemologiathe branch of philosophy that studies knowledge. It attempts to answer the basic question: what distinguishes true (adequate) knowledgefrom false (inadequate) knowledge?
Hari ini bangsa Indonesia baru dalam proses menuju masyarakat industri maju. Oleh karena itu, masih cukup banyak yang berkutat dengan masalah perut, sehingga kegiatan berfilsafat dan mempertanyakan pengetahuan benar dan salah masih menjadi hal yang mahal. Meski demikian, kita patut bangga bahwa hampir semua universitas di negeri kita memasukkan filsafat ilmu menjadi mata kuliah tersendiri.
Hal ini penting bukan saja karena sejak dini menyiapkan generasi muda berpikir kritis, tetapi lebih-lebih karena dengan mengajarkan filsafat ilmu, kalangan perguruan tinggi telah membentuk budaya ilmiah di seluruh kampus.
Dalam konteks itu, kita patut bersyukur terbitnya buku ini yang memang sangat relevan dengan kebutuhan. Apalagi dengan diuraikannya filsafat ilmu di Indonesia, menjadikan buku ini tidak saja down to earth, juga sarat dengan contoh kasus Indonesia.
Sebuah buku yang wajib ada pada daftar referensi di setiap perguruan tinggi. Sekaligus mengisi rak buku di perpustakaan. Bukan sebatas pajangan, melainkan juga tolle et lege (diambil dan dibaca)!
Jakarta, Maret 2007