Andai saja seorang penting negeri ini tidak salah ucap, sekaligus salah tindak, terkait Sawit awal tahun ini tadi. Maka bukan saja “terancam”, melainkan petani sawit sudah (lama) kaya.
Semua juga mafhum. Naiknya harga sawit berjalan bagai semut. Tapi anjlog harganya, bagai meteror dari lamgit jatuh menghujam ke tanah.
Sakit. Dan berbekas! Lama baru pulihnya. Suatu tamsil yang pas menggambarkan kejatuhan harga sawit awal tahun ini di negeri kita. Di “negeri kita”, sebab tidak di Malaysia dan India. Kita saja!
Tapi bagaimanapun, dinamika dan perang sawit –seklaigus menghadapi post truth dari pesaing Amerika dan Eropa akan minyak nabati, menunjukkan sawit itu: seksi.
Sawit bukan saja komoditas industri paling seksi dan bernilai ekonomis saat ini, melainkan juga bisa menjadi: alat politik. Sedemikian rupa, sehingga bisa menekan. Sekaligus berpotensi memicu perang dagang antar-negara, bahkan antar-benua.
Sawit is the most powerful commodity both weapon we have!
Andaikata seseorang tidak salah ucap, sekaligus salah tindak, terkait Sawit awal tahun ini tadi. Maka bukan saja “terancam”, melainkan petani sawit sudah (lama) kaya.
Sawit untuk kemakmuran negeri. Bagaimana semua pihak menikmati komoditas yang di dunia ilmiah disebut “elaeis guineensis” ini? Ini yang menjadi gagasan pokok kita. Terutama rakyat semakin menikmati kehadiran komoditas, yang terbukti daya tahannya terhadap Pademi Covid-19 itu. Sekaligus tetap menjadi primadona devisa negara justru di saat-saat dunia mengalami kelesuan ekonomi dan dilanda turbulensi akibat berbagai dampak politik, bencana, serta pengaruh global.
Dengan potensi lahan yang sangat luas, Indonesia diprediksi menjadi pemain kunci utama sawit dunia. Lantaran peran dan faktor Indonesia, akan makin banyak terjadi apa yang disebut dengan “post truth”, yakni upaya menghalangi Indonesia sebagai lokus eksistensi sawit, pemain utama, dan pengekspor terbesar dunia.
Namun, justru karena peran yang dominan itu, ancaman menghadang di depan mata. Banyak kepentingan bermain pada industri sawit. Dan Indonesia diganggu terus dengan posisinya itu.
Faktanya adalah bahwa memasuki kuartal pertama tahun 2022, harga tandan buah segar (TBS) sawit mendadak terjun bebas. Dari semula a rp 3.400 – rp 4.000/kg, menjadi hanya rp 600.
Boro-boro untung. Buntung, ya! Apalagi, di tengah gejolak dinamika sawit, Pemerintah mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Keputusan mulai berlaku pada 23 Mei 2022. Menurut keterangan, Keputusan tersebut didasarkan pada fakta jumlah pasokan yang stabil serta harga minyak goreng yang mulai turun.
Nyatanya, tekan di sini (stop dan buka kran ekspor CPO) tidak serta merta memberi keuntungan seketika. Dampaknya di lapangan masih terasa.
Apa yang harus dilakukan? Bagamana sebaiknya bersikap?
Buku ini sekilas memberi jawab, namun pasti tidak tuntas, apalagi memuaskan. Tapi pas sebagai bahan kajian dan diskusi.
Jejajahi Google book ini:
https://books.google.co.id/books/about?id=bqqTEAAAQBAJ&redir_esc=y