Salah satu butir Perjanjian Damai Tumbang Anoi 1894 adalah menghentikan saling kayau antara sesama suku Dayak. Istilah saling kayau dalam kesepakatan damai itu ditulis ‘hakayau’. Istilah hakayau berasal dari bahasa Biaju, dimana ada kata ‘kayau’ (memotong kepala) diberi awalan ‘ha’ (yang menggambarkan keadaan saling, sama-sama melakukan, dsb). Kayau adalah kegiatan memotong kepala, oleh para penulis barat banyak diistilah sebagai ‘headhunter’.
Tidak semua sub Dayak mengenal tradisi kayau. Namun karena kayau, Borneo menjadi tempat yang mencekam. Sungai-sungai tidak mungkin dimasuki, apalagi gunung-gunung. Orang nekad bisa saja datang sehat walafiat, tetapi belum tentu bisa pulang. Mayor Muller sudah membuktikan itu. Hanya Schwaner pelancong Eropa pertama yang berhasil masuk ke kawasan para pengayau dan pulang dengan kepala tegak. Itupun karena Schwaner dikawal orang Biaju dan Ambo Djaya Negara, kepala suku yang disegani suku-suku pengayau.
Kayau terjadi karena kepala adalah tropy yang sangat berharga. Tatkala orang-orang Eropa menduduki Borneo, Perelaer mencatat bahwa kepala orang Eropa sebagai tengkorak paling berharga. Jika kepala orang Eropa menempati urutan nomor satu, maka kepala orang Cina menempati urutan nomor dua, setelah kepala orang Cina, urutan ketiga adalah kepala orang Banjar atau Melayu, sedangkan kepala orang Dayak sendiri menduduki nilai nomor empat, nilai paling rendah dalam penghargaan (Perelaer, 1870 : 168). Kepala prajurit Belanda yang gugur (dalam perang 1860) yang diambil, ketika diuangkan di Hulu Kahayan nilainya setara balanga seharga 4.000 gulden. Uang 4.000 gulden ini sangat besar, karena Belanda sendiri hanya menawarkan 500 gulden bagi orang-orang yang bisa menangkap Antasari ketika Antasari menggelorakan Perang Banjar di tahun 1860 (Rees, 1865 : 342).
Mengapa orang Dayak memerlukan tropy kepala kayau? Tentu ada banyak sebab. Mengayau adalah simbol keperkasaan dan ketangkasan. Untuk cerita yang lebih lengkap, khususnya ‘Mengayau Dari Tanah Dayak’, saya sajikan dalam buku ‘Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak’ (akan segera terbit). Berikut salah satu kisah yang ditulis oleh Perelaer, Letnan Guburnur Sipil di Kuala Kapuas (1860 – 1863). Dia menulis cerita seorang pemuda yang diberikan gelar Haramaung (Harimau). Haramung anak orang terpandang dan terkaya di Hulu Kahayan.
Tahun 1860, Haramaung berjumpa Letnan Perelaer di Kuala Kapuas. Haramaung berkisah banyak soal kayau-mengayau. Setelah berkisah panjang lebar, Haramaung bersumpah tidak akan meneruskan tradisi mengayau. Dalam mengangkat sumpah, dia memutuskan rotan serta mengolesi diri dengan darah ayam. Setelah berjumpa Letnan Komandan Kuala Kuala Kapuas, Haramaung kembali ke kampungnya, sebuah kuta sangat kuat yang dihiasi banyak tengkorak di sejumlah palisade. Ketika tau sumpah yang diucapkan Haramaung di hadapan Letnan Perelaer, Haramaung segera dicibir ayahnya sebagai lelaki pengecut. Meski tertuduh, Haramaung tetap pada pendiriannya.
Sampailah pada suatu masa yang sulit. Haramaung ingin beristri. Dia melamar gadis yang sudah lama jadi pujaannya. Lamarannya ditolak karena Haramaung tidak membawa mahar kepala. Haramaung bukan saja ditolak, namun dihina si gadis lewat pemberian saloi (tapih perempuan). Haramaung dipandang bencong karena tidak membawa kepala kayau.
Haramaung mampu menahan luka karena hinaan dianggap bencong dan ditolak pinangannya. Namun luka itu meledak tatkala gadis pujaannya dilamar pengayau terkenal dari sungai Miri. Sang gadis menerima lamaran itu. Haramaung merasa terinjak-injak harga dirinya atas peristiwa itu. Dia kemudian menghilang, pergi dari kuta ayahnya. Beberapa hari kemudian dia kembali, membawa empat kepala dan menghantarkan kepada gadis yang menolaknya itu. Salah satu kepala yang diserahkan kepada gadis tadi adalah kepala pengayau terkenal dari sungai Miri, tunangan sang gadis.
Perelaer tahu peristiwa itu. Berbulan-bulan setelah itu dia mudik ke Kahayan dengan kapal Boni. Perelaer mencoba menemui Haramaung untuk mengajaknya berbicara. Sayangnya Haramaung tidak mau berjumpa Perelaer, karena merasa telah menghianati sumpahnya yang diucapkan di hadapan Letnan Komandan Kuala Kapuas itu. Dari cerita Perelaer ini kita menarik kesimpulan bahwa salah satu alasan para pemuda mengayau saat itu agar bisa menikah. Karena kepala adalah mahar pernikahan yang diminta para gadis Dayak. Tidak peduli, Dayak miskin atapun Dayak kaya, jika ingin menikah harus membawa kepala.
Sekitar 34 tahun pasca kejadian yang dicatat rapi oleh Perelaer itu, pertemuan 152 kepala suku, 1 utusan kesultanan Sintang, utusan Belanda dan sekitar 1.000 pengawal kepala suku terjadi di Tumbang Anoi. Hampir seabad sebelum perjanjian Tumbang Anoi itu, Belanda dan Sultan Sulaiman di Banjarmasin sudah berupaya menghentikan kayau. Upaya Sultan dan Belanda kala itu bisa dikatakan gagal. Di kawasan muara Kapuas dan Barito kayau bisa dikendalikan. Di pertengahan sungai sampai ke perhuluan tidak terkendali. Hanya perjanjian Tumbang Anoi yang berhasil menghentikan.
Senin, 17 April 1802, bertempat di Bumi Kencana (Keraton Banjarmasin) Belanda bersama Sultan Sulaiman, Sultan Adam dan segenap pejabat keraton Banjar membahas perihal kayau-mengayau dan menyepakatinya ke dalam suatu perjanjian penanganan. Tradisi hakayau ini jelas merugikan Belanda dan Sultan Banjar secara ekonomi. Karena aktivitas itu, orang Dayak tidak focus menanam lada (Piper nigrum). Lada adalah komoditi yang paling dicari Belanda. Sedari perjanjian 1635, tujuan utama perusahaan Belanda ke Borneo, khususnya ke kerajaan Banjar untuk menguasai perdagangan lada (monopoli). Perkara kayau menimbulkan kerugian terlihat pada pasal ketiga dalam perjanjian.
Pada pasal keempat, perjanjian itu menekankan agar sultan harus bertindak keras dengan pengayau. Para pengayau itu harus ditangkap oleh sultan dan dihukum di hadapan Belanda. Pasal yang kelima, Belanda berjanji membantu Sultan, untuk menghukum para pengayau dengan memotong mereka di depan benteng Belanda atau membuang mereka ke Jawa atau membuang mereka ke suatu tempat dimana mereka tidak bisa keluar seumur hidup.
Damianus Siyok