Penulis : Dr. Andersius Namsi, Ph.D.
Pengantar Redaksi: Namsi seorang dari segelinir Dayak yang masuk “ring 1” tatakelola Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang berkedudukan di Kalimantan Timur. Saat ini, beliau telah bekerja aktif. Dalam kapasitasnya sebagai wakil ketua (urusan internal) Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Namsi menuangkan gagasannya dalam serangkaian artikel opini yang diperuntukannya dimuat Bibliopedia. Selamat mencermati!
Di saat Indonesia sedang menghadapi krisis karena begitu agresifnya penularan Covid-19 hingga sulit dibendung, tiba-tiba ada tokoh nasional yang menyerukan diadakannya Sidang Istimewa MPR untuk mengadili Presiden Jokowi sebagai Presiden RI (wartaekonomi.co.id, 22 Juli 2021). Kendatipun pernyataan itu tidak melanggar Konstitusi, namun sangat aneh dan lucu karena dikemukakan saat situasi masyarakat begitu sulit secara kesehatan dan ekonomi akibat pandemi.
Nafsu sahwat politik berkuasa para politisi memang seringkali sangat-sangat kuat hingga abai melihat kesulitan masyarakat. Alih-alih mereka bergotong-royong untuk bekerja sama dengan pemerintah yang terus berjibaku mengatasi kesulitan akibat pandemi ini, justru yang mereka lakukan adalah menyemburkan seruan politik untuk memprovokasi masyarakat guna mendapatkan keuntungan politik pribadi di tengah kesulitan masyarakat.
Bahkan di medsos beredar kabar akan ada demo besar-besaran di berbagai kota besar Indonesia dengan tema, “Jokowi End Game”. Artinya: “Permainan Terakhir Jokowi”. Kendati seruan yang beredar untuk demo pada Tgl. 24 Juli 2021 ternyata tidak ada, saya percaya isu itu serius dan akan terus bergulir. Mengapa? Buktinya, Polda Metro Jaya mengerahkan 3.385 personel gabungan untuk mengamankan ibu kota negara karena rencana demo tersebut (CNN Indonesia | Sabtu, 24/07/2021 21:08 WIB).
Artinya, kebersamaan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang secara tradisional disebut gotong-royong itu sangat lemah. Egoistik para politisi Indonesia demi kepentingan pribadi mereka sendiri ternyata sangat tinggi. Jiwa patriotik para politisi sebagai negarawan yang mementingkan kepentingan bangsa sangat langka. Hal itu kasat mata terlihat saat Indonesia dalam situasi krisis. Sehingga Indonesia menjadi rapuh sebagai suatu negara.
Misalnya, kebijakan-kebijakan pemerintah pusat untuk membendung bahaya pandemic Covid-19 yang terang-benderang banyak memakan jiwa ternyata dilawan di berbagai tempat di Indonesia. Yang terbaru misalnya terjadi penolakan PPKM darurat di Bandung, hingga 150 peserta aksi ditangkap (cnnindonesia, rabu, 21/7/2021). Dalam kondisi Indonesia yang sedang sulit ini, masyarakat Dayak, secara khusus Organisasi Adat tertinggi Dayak yaitu MADN memilih dan menetapkan Presiden mereka yang ke-3 pada akhir Juni lalu.
Karena itu kita patut bertanya, apa peran strategis Presiden MADN ke-3 dalam rangka kehidupan kita berbangsa dan bernegara di Indonesia? Dalam tulisan yang singkat ini, saya melihat ada dua peran strategis yang sangat mendasar bagi Presiden MADN yang ke-3 saat ini, khususnya bagi suku bangsa Dayak.
Pertama, Peran Strategis sebagai Penopang Indonesia.
Orang mungkin bertanya, mengapa sebagai penopang? Agak arogan ini! Mari ikuti argumentasinya. Saya sangat yakin akan peran strategis itu sebagai penopang, bukan sekedar pilar, tapi memang penopang! Kalau pun disebut pilar maka Dayak adalah pilar tengah utama ke-Indonesia-an. Sebab Dayak akan menjadi tiang tengah yang utama bagi keberadaan Indonesia.
Setahu saya secara geopolitik, suku bangsa Dayak adalah satu-satunya penduduk asli dari pulau terbesar, bahkan dari lima pulau besar di Indonesia yang tidak pernah berkhianat maupun memberontak pada negara Republik Indonesia yang dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan pahlawan nasional yang berasal dari suku bangsa Dayak, Tjilik Riwut yang selalu berjuang melampaui batas-batas kesukuan, di tengah-tengah tokoh dari pulau besar lain membuat perlawanan pada Jakarta di masa awal-awal kemerdekaan, beliau justru mengumpulkan tokoh-tokoh perwakilan suku-suku bangsa Dayak dari seluruh pedalaman Kalimantan untuk melaksanakan Sumpah Setia kepada pemerintah Republik Indonesia dengan upacara Adat leluhur suku bangsa Dayak. Inilah sejarah nyata Dayak menjadi penopang Indonesia.
Hingga kini, Dayak itu sangat setia dan berkomitmen pada Sumpah setia pada negara kesatuan Republik Indonesia yang diyakini ditetapkan oleh Jubata Tuhan Allah. Dayak bisa berbeda-beda aliran partai politiknya karena di partai politik mereka ingin berkontribusi bagi negara secara demokratis. Tapi bila berbicara Dayak, maka mereka itu satu. Dayak itu meyakini satu darah Dayak!
Oleh karena Dayak itu meyakini satu darah maka peran strategis Presiden Dayak-MADN di Indonesia menjadi sangat penting guna menjadi tiang penopang utama ke-Indonesia-an. Hal itu semakin khusus dengan rencana Pemerintah RI memindahkan ibu kota negara dan pemerintahan ke Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Timur sebagai Pulau penduduk asli Dayak.
Dengan rencana itu maka Dayak akan menjadi perekat bagi keberadaan ke-Indonesia-an yang menopang Indonesia dari berbagai suku dan daerah di seluruh Indonesia. Di sinilah letak dan peran strategis Presiden Dayak-MADN yang baru terpilih itu di Republik Indonesia. Presiden Dayak-MADN menjadi tokoh kunci bagi pemerintah dalam rangka mengaktifkan dan mengefektifkan Dayak menjadi penopang utama Indonesia kini dan masa depan.
Untuk itu, Presiden MADN ke-3 akan berperan sebagai tokoh kunci untuk berkomunikasi secara inten dengan pemerintah pusat bagaimana Dayak bisa menjadi tiang tengah utama bagi Indonesia. Misalnya, bila pada masa pemerintahan Soeharto, suku Jawa maupun suku-suku dari NTT disebar ke berbagai daerah di seluruh Indonesia melalui berbagai platform untuk menjaga warna ke-Indonesia-an.
Kini saatnya suku bangsa Dayak disebar ke berbagai daerah di Indonesia melalui berbagai platform, misalnya sebagai TNI-POLRI, pegawai kesehatan dan guru guna menjadi perekat ke-Indonesia-an. Di sinilah peran strategis Presiden MADN ke-3 sebagai penopang Indonesia. Dengan demikian, Dayak pun akan berdaya-guna, efektif, dan akan pro-aktif memainkan peran sebagai tiang tengah utama bagi bangunan rumah besar Republik Indonesia.
Kedua, Peran Strategis sebagai Presiden Dayak.
Berkali-kali bahkan sering kita mendengar ceramah dan seminar bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih sangat berpotensi mengalami ancaman-ancaman yang dapat melumpuhkannya. Ancaman-ancaman tersebut bisa datang dari luar negeri (eksternal) maupun dari dalam negeri sendiri (internal). Ancaman-ancaman atas keberadaan Pancasila dan NKRI itu tentu berpotensi menghancurkan bangunan besar Rumah kita Indonesia.
Seingat saya, tokoh Dayak dan mantan Sekretaris Jenderal MADN, Drs. Yakobus Kumis, MH., dalam berbagai pertemuan maupun seminar biasa mengatakan bahwa Dayak akan tetap setia bersama NKRI dengan syarat NKRI berdasarkan Pancasila. Apabila Dasar Negara Republik Indonesia berubah, bukan lagi Pancasila maka Dayak pasti membuat keputusan lain. “Tidak ada kompromi bagi suku bangsa Dayak. Yang ingin memecah persatuan dan kesatuan bangsa, NKRI, Dayak harus berada di garis terdepan,” katanya (Pontianak.tribunnews.com, Sabtu, 24 Juni 2017).
Hipotesis saya, jika para politisi Indonesia terus tidak dewasa dalam berpolitik dan political game masih terus mengedepankan politik identitas keagamaan dengan mengabaikan etika moral dan peraturan yang berbingkaikan Pancasila maka bukan tidak mungkin NKRI akan tinggal kenangan dalam peta sejarah dunia.
Mengacu pada hipotesis di atas maka sangat wajar dan normal bila suku bangsa Dayak memikirkan langkah-langkah yang bersifat antisipasi secara internal bagi kepentingan dan keberadaan hidup suku bangsa Dayak itu sendiri. Ingatlah bahwa kendati suku bangsa Dayak itu ada dan berasal dari pulau Kalimantan di Indonesia, tetapi sebarannya secara geopolitik ada di Negara Malaysia dan Negara Brunei juga. Bila Pancasila dan NKRI sebagai rumahnya roboh, saya yakin suku bangsa Dayak harus memilih alternatif apakah tetap mempertahankan diri sebagai Negara Indonesia? Bergabung bersama saudara-saudara suku Dayak di Malaysia atau Brunei? Atau alternatif lainnya.
Dalam teori manajemen krisis, kita dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang terburuk agar kita siap bersikap dan membuat keputusan yang terbaik selaras dengan variable kondisi yang menyertai. Dalam kondisi inilah peran strategis Presiden ke-3 MADN sangat menentukan. Presiden ke-3 MADN yang akan memitigasi suku bangsa Dayak. Melihat pada karakteristik suku bangsa Dayak yang setia dan hormat pada pemimpin maka Presiden ke-3 MADN akan menjadi tokoh sentral Dayak yang de facto, bukan sekedar Presiden Dayak secara kultural tetapi menjadi Presiden Dayak.
Penutup
Pengabaian pemerintah pusat pada suku bangsa Dayak sebagai tiang tengah utama Indonesia akan menyebabkan bangunan rumah besar NKRI mudah goyah bahkan bisa roboh. Maka peran Presiden ke-3 MADN dalam kondisi Indonesia kini dan masa mendatang menjadi sangat penting dan strategis.
Oleh karena itu, sebaiknya Presiden ke-3 MADN dan Pemerintah Pusat Indonesia mulai membangun komunikasi yang intensif dengan semangat kolaboratif demi Pancasila dan NKRI guna mempersiapkan sumber daya manusia Dayak sebagai penopang dan tiang tengah utama NKRI yang bernafaskan Bhineka Tunggal Ika dan berjiwa Pancasila.
***
Jakarta, Minggu: 25 Juli 2021.
Dr. Andersius Namsi, Ph.D.
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili organisasi maupun lembaga mana pun.