Pungkas.
Pembaca tentu kerap menjumpai kata ini digunakan wartawan. Bertanya, malu. Tidak bertanya, tidak tahu.
Dalam hal menyebarkan kata, atau istilah, wartawan banyak jasanya. Menyebarkan. Sekaligus mewartakan kosakata baru. Atau menghidupkan kembali istilah lama yang tidak terpakai menjadi bahasa yang populer. Atau bahasa yang digunakan oleh umum.
Banyak contoh. Salah satunya seperti judul narasi di atas. Rata-rata kita mengamati kata “pungkas” untuk mengakhiri suatu ucapan atau pernyataan narasumber yang diwawancarai.
Misalnya, “…pungkas bupati.”
Rata-rata media mainstream daerah menggunakan kata yang aslinya “pamungkas” itu. Atau para penulis pemula yang suka ikut-ikutan. Rasanya kurang pas jika tidak ikut-ikutan memungkas.
Dari mana kata itu aslinya? Kunjungi saja Kamus Bahasa Indonesia daring.
Maka kita bertemu dengan keterangan yang berikut ini:
pungkas » pe.mung.kas
bentuk tidak baku: pamungkas
- n orang atau sesuatu yang mengakhiri atau yang menyelesaikan (kerja, persoalan, dan sebagainya)
- n perusak; penghancur; (senjata dan sebagainya) yang mematikan: pesawat helikopter antitank merupakan pesawat tempur ~
Cek di sini untuk akurasi: pungkas » pe.mung.kas
Tentulah makna “pungkas” itu terambil dari makna yang pertama. Yakni: orang atau sesuatu yang mengakhiri.
Dalam konteks kita, seseorang yang mengakhiri cerita –dalam sebuah warta/ laporan jurnalistik. Sebab bisa jadi, bukan itu kata terakhir yang diucapkan narasumber, melainkan kata yang telah diparafrasa oleh sang jurnalis.
Tapi yang anehnya. Ada pula koran/ media yang menggunakan kata “pungkas” sebelum wartanya ditutup, atau sebelum naraceritanya selesai bicara. Ini termasuk latah! Barangkali saja ia mengira bahwa “pungkas” itu berarti: tegas, kata, tandas.
Demikian “pungkas” penulis narasi ini!