RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI 1894 Penghianatan atau Tonggak Betang Baru?

Soal Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, orang Dayak menyelesaikan persoalannya sendiri lewat pertemuan yang difasilitasi Pemerintahan Kolonial Belanda. Itu kalimat yang ingin penulis sampaikan.

Saya tidak membahas Borneo secara keseluruhan, hanya sebatas afdeeling Dajaklandeen dan sekitarnya. Karena kawasan ini menjadi episentrum yang mendorong pertemuan Tumbang Anoi 1894.

Tanggal 22 Mei kemarin kita memasuki peringatan 130 tahun Rapat Damai Tumbang Anoi. Puncaknya pada 24 Juli. Kembali masa 130 tahun silam, yaitu tahun 1894. Di halaman Betang Damang Riboe, pada 22 Mei, berkumpul sejumlah kepala suku yang suka berperang, yang bersepakat menyelesaikan perselisihan kronis. Pertemuan dibuka dengan 21 tembakan senjata, serta pidato dalam bahasa Melayu oleh kontrolir Tanah Dayak (A.C. de Heer), diterjemahkan ke dalam bahasa Dayak Ngaju oleh Raden Yohanes Karsa Negara (kepala distrik sungai Dayak Kecil).

Selanjutnya, 24 Juli 1894 ditempat yang sama, dilakukan prosesi yang sama, namun untuk penutupan dengan peserta yang lebih banyak.

Pada penghujung acara dilakukan suatu sumpah oleh para kepala suku yang hadir, dimana dalam laporan Residen Tromp tertulis;

Akhirnya ditetapkan selain cara penutupan dan cara perdamaian tersebut atas, para kepala dan orang-orang terkemuka yang bersangkutan akan diambil sumpahnya yang menyatakan mereka atas namanya sendiri dan atas sukunya puas dengan keputusan pertemuan dan selanjutnya dengan segala kemauan yang ada mereka membantu Pemerintah dalam tugasnya memelihara perdamaian dan kesejahteraan. Pada tanggal 24 Juli pengambilan sumpah dilaksanakan, dan sesudah itu sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku, dilanjutkan dengan pelaksanaan perdamaian antara para kepala dan orang-orang terkemuka sebagai wakil-wakil sesuai adat dari pihak-pihak yang bersangkutan. Pada kesempatan itu, empat ekor kerbau yang diberikan sebagai hadiah oleh Pemerintah dibunuh sebagai korban perdamaian.

Seluruh kegiatan berada di Betang Damang Riboe. Damang Riboe itu sebutan Barth dan Tromp dalam laporan mereka. Orang Dayak mengenalnya sebagai Damang Batu, kepala kampung Tumbang Anoi.

Betulkah Rapat Damang Tumbang Anoi 1894 adalah sejarah penting?

Di kalangan cendikiawan Dayak, sekurang-kurangnya ada dua pendapat tentang Rapat Damai itu. Pertama, dipandang sebagai kebangkitan orang Dayak, sebagai titik peradaban, dari masa lalu ke masa kini. Kedua, dipandang sebagai sejarah kelam bagi Borneo, sebab menandakan orang Dayak berhasil dijajah Belanda.

Para penganut kedua pandangan ini tentu punya landasan berpikir, artinya semua memiliki nilai kebenaran sekaligus kesalahan.

Dalam buku PERANG & PERBUDAKAN DI TANAH DAYAK, saya menjabarkan bahwa Dayak sudah menjadi bagian dari otoritas Belanda sejak Pangeran Nata Dilaga atau Penembahan Batoe (raja Banjar) meneken perjanjian dengan Kompeni Belanda pada tahun 1787. Karena dalam perjanjian itu, Sultan memberikan kawasan Banjar kepada kompeni, dan memerintah kawasan pinjaman. Perjanjian itu diperkuat oleh Sultan Sulaiman pada tahun 1808, selanjutnya diperinci dan dipertegas lagi oleh Sultan Adam pada tahun 1826. Perjanjian Sultan Sulaiman dan Sultan Adam sudah mempertegas soal pengangkatan Sultan, Mangkubumi dan Pejabat Keraton harus dengan persetujuan pemerintah Hindia Belanda di Batavia.

Kembali ke perjanjian soal tanah gubernermen (tanah di bawah Bendera Belanda), ringkasnya seperti ini; negeri Bakumpai dan sepanjang sungai Barito, Kahayan, Katingan, Kapuas, Kotawaringin, Tabanio, Negeri Paser, Kutai, Berau, Sukadana, Negeri-Negeri di Batang Lawai (Sintang, Sanggau, Sekadau) yang dulunya koloni Banjar (bayar pajak) selanjutnya tunduk di bawah kekuasaan Belanda. Perjanjian antara Sultan Adam dan M.H. Holewijn tertera dalam pasal 4, disepakati di Istana Martapura pada 4 Mei 1826.

Bagaimana mungkin negeri Banjar menguasai kawasan Kalimantan sedemikian besar sebagaimana disebutkan? Untuk memahami tuntas hal ini bisa membaca Hikayat Banjar; A study in Malay historiography, dibukukan oleh Johanes Jacobus Ras (Profesor sastra dan bahasa Jawa di Universitas Leiden) serta Kitab Negarakertagama (sejarah Majapahit) pupuh ke-13. Dua sumber ini menyebutkan kawasan yang dimaksud oleh perjanjian Sultan dan Belanda itu sebagai negeri taklukan Majapahit. Di Hikayat Banjar dikisahkan, negeri-negeri itu membayar pajak ke Banjar setiap musim timur. Dulu, perjalanan manusia melintasi laut bergantung sama musim dan angin, sehingga disebut Negeri Angin. Untuk memahami ini silakan membaca buku Antony Reid Asia Tenggara 1450-1680; Negeri Di Bawah Angin.

Penyerahan negeri Dayak oleh Sultan Banjar kepada Belanda bukan tanpa sebab. Saya menarasikan panjang lebar di BAB VI – ORANG DAYAK DALAM PERANG BANJAR  pada buku PERANG & PERBUDAKAN DI TANAH DAYAK. Sependapat dengan Marko, bahwa itu bukan kesalahan orang Dayak, tetapi kegagalan para aristokrat Banjar bernegosiasi dengan Belanda (Marko, 2023; 115). Patut kita cermati bahwa Belanda datang ke Negeri Banjar karena diundang dan diminta oleh Sultan (Dijck, 1863;13, Rees I, 1865; 5). Tahun 1631, utusan Sultan Banjar membangun aliansi dengan kompeni Belanda di Batavia karena Banjar takut diserang Jawa Mataram. Banjar memutuskan pertuanan dengan Mataram, yang dianggap simbol Majapahit kala itu. Dijck menyebutkan bahwa Banjar bahkan meminta kompeni Belanda melarang orang-orang Jawa Mataram masuk ke Banjar.

Permintaan kedua dari Banjar terjadi pada tahun 1787. Kala itu Pangeran Nata meminta pasukan dari Batavia, untuk berperang melawan pasukan Pangeran Amir. Dikarenakan pimpinan pasukan Belanda di Banjar kala itu menolak memberikan bantuan militer tatkala Pangeran Nata digempur Pangeran Amir, akhirnya Pangeran Nata meminta ke Batavia (Ven, 1861; 99). Jadi, kerjasama militer Belanda dengan Banjar, sejatinya atas permintaan Banjar sendiri.

Peristiwa itu ditulis Rees dengan kalimat; Ketakutan akan keselamatan dan ketakutan akan jatuhnya kerajaan ke tangan Pangeran Amir membuat Pangeran Nata lebih memilih menyerahkan kekuasaannya kepada Kompeni Belanda daripada kepada Pangeran Amir (Rees I, 1865; 8)

Oleh karena itu, dalam buku PERANG & PERBUDAKAN DI TANAH DAYAK saya menarasikan bahwa Dayak sudah ditundukkan Belanda jauh sebelum Rapat Damai Tumbang Anoi, jika memang itu disebut penundukkan. Tetapi, para kepala suku Dayak sendiri justru merasa senang berada di bawah bendera Belanda. Sebab di bawah Bendera Sultan, penduduk harus memberikan 10 persen dari hasil panen kepada Sultan, membayar pajak kepala dari 4 – 11 gulden kepada Sultan, membayar sewa tanah, pajak militer, pajak perahu, dsb, namun Sultan tidak peduli dengan persoalan orang Dayak, yaitu saling bunuh (kayau-asang) dan perbudakan.

Agak berbeda ketika di bawah bendera Belanda, dimana Belanda hanya menarik cukai lada dan pajak retribusi atas barang yang masuk. Para pejabat Belanda, sebut saja civiel gezaghebber Maks dan Bangert (jabatan ini selanjutnya dikenal sebagai kontrolir) turne berbulan-bulan ke kampung orang Dayak, mulai membuat diskusi soal penghentian kayau dan asang, membagikan bibit kopi dan kapas (dalam sejarah, karet juga dibagikan Belanda), serta menyarankan orang Dayak masuk ke industri dengan menanam kedua jenis tanaman itu. Itulah sebabnya tatkala Bangert memimpin Distrik Marabahan dan Dusun, orang Mangkatip dan Sihong tidak lagi mengayau, dan perbudakan semakin berkurang. Demikian juga dengan kawasan Kuala Kapuas dan sekitarnya yang dekat dengan Maks, kebiasaan saling bunuh (karena kayau – asang) di kawasan itu semakin berkurang.

Perkara kayau, asang, perbudakan di masa lalu sebetulnya persoalan Borneo. Para Sultan dan Penembahan bisa dikatakan gagal total mengendalikan perkara ini. Sultan yang tercatat ingin menyelesaikan persoalan antar klan Dayak ini hanyalah Sultan Kutai dan Penembah Sintang. Di tempat lain, agaknya para penguasa ini tidak berdaya.

Tromp sendiri dalam laporannya ke Batavia menjabarkan bahwa menciptakan kedamaian di Borneo adalah tugas Pemerintah Hindia Belanda. Untuk itu, pertemuan Tumbang Anoi 1894 dirancang lama. Waktu yang dipilih adalah Mei sampai Juni 1894, menunggu orang Dayak selesai panen. Karena selain logistik dari Banjarmasin yang diangkut dengan kapal Boni, orang-orang Dayak di sekitar Tumbang Anoi dan Melawi bergotong-royong menyediakan logistik (makan-minum). Jadi, gotong-royong besar terjadi di pertemuan itu.

Tahun 2024, puncaknya 24 Juli 2024 adalah peringatan 130 tahun Perjanjian Damai Tumbang Anoi. Informasi yang diperoleh penulis, pihak yang ingin membuat napak tilas justru orang-orang Dayak di Serawak. Sehingga dibentuk kepanitiaan pada Agustus 2024, untuk rencana Napak Tilas 2025.

Ini tentu aneh, karena agaknya orang Dayak di Kalimantan agaknya sudah tidak peduli dengan peristiwa bersejarah itu.

Kita ke hasil yang dicapai Borneo setelah 130 perjanjian itu. Agar bahasan tidak melebar. Agar penjabaran itu tuntas, saya menggunakan istilah yang dipopulerkan oleh Elisa Sumandie dalam bukunya, ‘Betang Baru’. Betang Lama ialah ungkapan untuk menyatakan keberadaan orang Dayak sebelum Perjanjian Tumbang Anoi 1894. Istilah Betang Baru adalah ungkapan untuk menyatakan suatu kondisi, yaitu kehidupan orang Dayak sesudah Perjanjian Tumbang Anoi dilakukan.

Dalam buku PERANG & PERBUDAKAN DI TANAH DAYAK, saya menarasikan Orang Dayak Sebelum Perjanjian Tumbang Anoi pada BAB VII, Orang Dayak Sesudah Tumbang Anoi pada BAB VIII. Di sini, saya hanya menuliskan ringkasannya semata.

Sebelum Perjanjian Tumbang Anoi, kondisi orang Dayak tertutup dari dunia luar. Orang Dayak mengenal tradisi tiga ha (saling), yaitu hakayau, hasang, habunu (saling kayau, saling serang, saling bunuh) serta pembagian status sosial dengan adanya kelompok orang ningrat, merdeka dan budak (hamba).

Kondisi kawasan Tanah Dayak (Barito, Kapuas Murung, Kahayan, Katingan, Mantaya, Seruyan) kita boleh membuka tulisan Prichard, Pires, Perelaer, Rees, Schwaner, Pijnapple, Ras, Dick, Ven, Rutte, Michielsen, Ullman, Bock, Bangert, Maks, Tromp dan lain sebagainya. Mereka yang memiliki narasi soal Tanah Dayak. Bangert menemukan budak sebagai alat jual beli di Barito, Schwaner menuliskan hukum penyaliban bagi budak di kawasan Dusun, Michielsen menemukan harga budak yang jauh lebih rendah dari seekor kerbau di Katingan, dan Tromp bahkan menuliskan harga budak cuma 15 real atau 30 gulden (sementara harga babi ukuran sedang cuma 20 gulden).

Lalu, Perang Asang dan Perang Kayau membuat permusuhan antar klan Dayak seperti permusuhan abadi yang tidak diketahui cara menyelesaikannya. Jikalau kayau murni untuk mendapatkan kepala, maka asang memiliki banyak kepentingan. Asang untuk mendapatkan kepala, mendapatkan budak rewar (orang tangkapan) dan untuk mendapatkan harta benda pihak yang dikalahkan. Asang dan kayau sama-sama menciptakan dendam berkepanjangan.

Perang Asang bahkan sudah seperti perang antar kerajaan. Orang Dayak sudah menggunakan senjata api dan artileri untuk bertempur. Tulisan Schwaner, Pijnapple, Maks dan Perelaer membahas itu. Pertempuran Temenggung Surapati dan Mawong bahkan berlangsung berbulan-bulan.

Sebelum Perjanjian Tumbang Anoi, orang Dayak yang mengenal sekolah hanya sekitar Pulau Petak, Mangkatip, Marantuhu. Bangert melaporkan kepala kampung Mangkatip bisa membaca dan menulis aksara latin dan Arab karena sekolah di Pulau Petak, Soeta Ono sekolah dengan Daninger di Marantuhu. Itu laporan perjalanan Bangert 1857. Sebagaimana diungkapkan Marko (2003), tahun 1848, sudah ada 500-an orang Pulau Petak yang bisa membaca dan menulis, sebagaimana surat Ambo kepada orang-orang Jerman. Di tempat lain, Dayak tidak bersentuhan dengan pendidikan di masa itu.

Sebelum peristiwa Tumbang Anoi 1894, kebanyakan orang Dayak hidup di dalam kuta. Kuta adalah pagar tinggi dari kayu ulin, tempat orang berlindung dari kayau dan asang. Umumnya yang hidup di dalam kuta ada para pengayau dan pelaku asang. Kuta biasanya memagari rumah betang.

Ini contoh betang dalam Kuta Tampang yang dicatat Maks dalam kunjungan 1853.

Betang Tampang dipimpin oleh Awat itu berdiri di atas tiang ulin setinggi 20 kaki (6 meter), panjangnya sekitar 860 kaki (258 meter) dan berisi 250 penghuni. Betang yang besar dan megah itu dikelilingi oleh palisade (pagar) ulin yang kokoh.

Kuta pada umumnya dimiliki oleh kaum ningrat. Soal kuta, saya membahas panjang lebar pada BAB V buku PERANG & PERBUDAKAN. Di dalam kuta pasti ada kelompok bangsawan, orang merdeka dan orang budak. Untuk kalangan budak, umumnya ada orang jipen (orang berhutang), orang rewar (orang kalah perang) dan orang abdi (budak yang dibeli). Orang asing atau tamuei (tamu) tidak bisa tinggal di kuta, mereka disediakan tempat bernama balai tomoi atau tamuei. Schwaner sendiri tatkala berkunjung banyak tinggal di Balai Tamuei.

Oleh karena itu tepatlah kita menyebutkan betang lama sebagai betang yang tertutup, sebagaimana diungkapkan Sumandie. Ketika tertutup, penghuni Betang Lama tidak akan mendapatkan hal-hal baru. Mereka hanya berkomunikasi dengan sesama mereka, tunduk kepada pemimpin betang, dan ketika menikah pun hanya dengan kerabat yang dikenal oleh penghuni betang itu.  Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan, inovasi, hubungan baik dengan dunia luar terasa mustahil bagi penghuni Betang Lama.

Karena kondisi itu, sungguhlah tepat istilah Sumandie bahwa jargon Falsafah Huma Betang itu omong kosong dalam betang lama (betang sebelum Perjanjian Tumbang Anoi). Di dalam betang lama, semua tunduk kepada kepala suku. Kaum budak tidak memiliki harga. Tidak ada kesetaraan di sana. Pikiran luar yang berbasis ilmu pengetahuan tidak bisa masuk ke lingkungan kuta. Saling curiga dan saling dendam tumbuh subur di betang lama.

Di Betang Baru, dikenal Falsafah Huma Betang yang menjadi jargon banyak orang saat ini. Dimana Dayak dikenal egaliter, humanis, pluralis (terdiri dari berbagai keyakinan) serta bisa menerima paham-paham dari luar yang berbasis ilmu pengetahuan.

Ciri-ciri orang yang hidup di betang baru adalah bergaul dengan ilmu pengetahuan (pendidikan). Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan inilah yang menjadi trigger dalam menstransformasikan kebudayaan. Hidup dalam perbedaan, saling mengasihi, saling mengampuni, teratur oleh adanya hukum adat hanya terjadi di betang baru. Di betang baru, orang tidak lagi kuatir menjadi korban kayau dan asang, tidak lagi tertindas sebagai budak, atau jumawa karena memiliki budak. Orang Dayak menjadi manusia merdeka hanya di betang baru.

Memang, Rapat Damai Tumbang Anoi 1894 bukanlah satu-satunya pendorong bagi orang Dayak untuk menghapus tradisi perbudakan, menghapus tradisi saling bunuh (kayau dan asang). Namun setidaknya di tempat itu, untuk pertama kalinya sebagai ajang silaturahmi para kepala suku yang selama ini berperang.

Tromp mengakui, tidak mudah mengumpulkan para kepala suku yang selama ini bermusuhan. Kekuatiran pihak Tromp adalah adanya keonaran di lokasi pertemuan, karena diantara para kepala suku ini membawa rasa dendam. Namun itu tidak terjadi. Pidato kontrolir Tanah Dayak sewaktu pembukaan betul-betul menggugah mereka.

Pertemuan itu juga menjadi tempat para kepala suku menyepakati cara pembayaran sahiring (pati nyawa) dan tipuk danum. Narasi pertemuan Tumbang Anoi memang hanya bisa ditemui dalam laporan Residen Tromp. Andaipun ada tulisan soal itu di kemudian hari, bisa jadi bukan ditulis oleh pelaku sejarah. Dikarenakan para kepala suku yang hadir, agaknya yang bisa menulis dengan baik hanyalah Raden Johanes Karsa Negara. Namun sejauh ini belum diketahui tulisan Raden Yohanes. Itulah sebabnya buku Perang dan Perbudakan menyertakan tulisan laporan Tromp yang berasal dari tulisan Barth (kontrolir Melawi). Dimana laporan itu disetujui oleh Kontrolir Tanah Dayak (sebagai Tuan Rumah). Laporan Tromp ini semata-mata memudahkan pembaca untuk memahami proses Tumbang Anoi secara utuh.

Tapi intinya, Pertemuan Tumbang Anoi 1894 berhasil menghilangkan sebagian besar budaya perbudakan, kayau dan perang antar sungai (klan Dayak). Sebagai contoh, sebelum perjanjian itu dibuat, orang-orang Kahayan-Kapuas-Katingan-Mentaya bermusuhan dengan orang Barito-Mahakam, orang Katingan-Mentaya-Seruyan bermusuhan dengan orang Melawi. Di Borneo lain, sebut saja Serawak dan Sabah kasusnya sama, namun penulis tidak menjabarkan di sini. Setelah perjanjian itu, keadaan ini berangsur-angsur baik.

Sekali lagi, peristiwa Tumbang Anoi 1894 jangan dipandang sebagai penyebab tunggal.

Sebelum Perjanjian Tumbang Anoi, agaknya pusat-pusat pendidikan hanya ada di kawasan Pulau Petak, Marantuhu (Sihong). Namun pasca perjanjian Tumbang Anoi, sekolah-sekolah setingkat Standard School berdiri di Mandomai, Kasongan, Tewah dan ditempat-tempat lainnya. Dan, sekolah-sekolah misi yang menjangkau orang Dayak di Borneo Barat dan Timur, agaknya lebih berkembang setelah Perjanjian Tumbang Anoi. Sekolah Belanda, sebut saja Hollandsch-Inlandsche School di Borneo agaknya Cuma ada di kota dimana residen berada. Artinya kurang banyak berkontribusi bagi orang Dayak. Di zaman raja-raja dan penembahan, sejauh ini tidak ada data bahwa para raja-raja itu membuat sekolah untuk orang Dayak.

Sekolah-sekolah yang berdiri pasca Pertemuan Tumbang Anoi itu bukan saja menstransformasikan kebudayaan orang Dayak dari Betang Lama ke Betang Baru, namun juga berhasil membentuk para aktivis Dayak yang berani bercita-cita. Maka lahirlah gerakan Serikat Dayak tahun 1919. Gerakan Serikat Dayak bukan saja menjadi cikal-bakal gerakan politik, namun menjadi gerakan ekonomi dan literasi.

Damianus Siyok

Share your love
Avatar photo
Damianus Siyok
Articles: 22

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply