Pada narasi yang lalu. Kita telah mafhum. Bahwa rumah, galeri, dan resto ini didedikasikan oleh anak-anak kepada sang ayah tercinta. Agar namanya yang harum, kian menebar pesona ke mana-mana. Selain: abadi.
Kini kita masuk ranah sedikit sastra. Di rumah Tjilik Rieut (TjR), saya menggubah setanggi puisi. Tak dinyana. Mina Ida, sang putri, menyukainya.
angka membilang usia
ketika bunga
yang ditanam dengan jemarinya
kuntum berubah jadi harum
abad pun meninggalkan jejak
bekasnya pada luka
setelah para penjajah ia halau dari Tanah Dayak
ia tuliskan “Kalimantan Membangun”
dan kepada bapakku ia berpesan:
– aku topan kecil Tjilik Riwut
kamu topan kita semua topan
kita kan usir semua gulita
kita derukan kemenangan serukan
kedamaian
di ranah Dayak
dari belakang kita menikung
sepanjang jalan Kalimantan
di belantara api literasi membara
“meski tanah gambut dan lembut
pagi setia menyapa
lalu luruh seberkas embun
atas helai daun,” katamu
aku dengar
sebait puisi tentangmu
orang-orang tahu
sejarah mencatat apa yang tak tampak:
lukisan pada batu nisanmu!
dari alam Katingan, tanah tumpah darahmu
mengalir darah merah putih
kau pesankan wasiat ini untuk kami:
Ela tempun petak tapi manana sare
Ela tempun kajang tapi bisa puat
Ela tempun uyah tapi batawah belai…
Tuntang ela ketun cuma tempun tandak ah, tapi uluh je tempun enyak ah.
mei 2016
Seuntai kata. Yang coba dirangkai dalam bahasa simbol. Orang bilang itu: puisi.
Kemudian, segores kata saya catatkan pada beranda Fb. Sekian masa jeda, usai saya dan Prof. Dr. Suriansyah Murhaini menikmati menu khas Dayak yang tersaji, sungguh menggugah selera di Resto itu: Ada umbut rotan. Daun singkong tumbuk. Terong dayak. Dan, tentu saja, menu kesukaan kami, orang Borneo: ikan baong dan lais. Yang ini boleh pilih: bakar, atau goreng. Lengkap dengan lalapan dan sambalnya.
Maknyus… Bukan main nikmatnya!
Ida Riwut pun. Usai mencerap puisi. Yang saya ciptakan spontan, tanpa mengikuti teori itu, berkomentar. Singkat saja:
Indah n dalam maknanya.
Ijin share bang.
Dunia ini, ternyata, selembar daun kelor. Sempit. Pada masanya, tatkala sama-sama bergiat di partai. Awalnya, ayah saya “petugas partai” Persatuan Daya (PD). Yang dalam sejarah, wajib dicatat sebagai kebangkitan politik Dayak –terutama di Kalimantan Barat. Mencatatkan diri, dalam lembar sejarah. Menjadi satu-satunya partai yang didirikan dwitunggal –yang kemudian menjadi dwitanggal– Oevaang Oeray-Palaun Soeka– berbasiskan etnis, pada waktu itu.
Baru duduk di Sekolah Rakyat (SR) kelas V di tahun 1954. Ayah saya, L.C. Sareb [1], kampanye ke kampung-kampung. Terutama di kabupaten Sanggau, Kalbar. Serta mertalah. Warga yang tadinya pro, dan basis partai X, ganti menjadi: Partai Persatuan Daya.
Baca https://bibliopedia.id/biografi-ayahku-ayahmu-mana/?v=b718adec73e0
Di Pontianak, kisah ayah saya. Ia bertemu. Dan bertatap muka langsung dengan Tjilik Riwut. Ketika itu, jelang kampanye Pemilu 1955.
Di tahun genting itu. Sang lelaki dengan multitalenta, dipercaya, dan memangku banyak jabatan terhormat. Pada 1950, Riwut menjadi Wedana di Sampit, Kalimantan Tengah. Dia kemudian menjadi Bupati Kotawaringin Timur 1951- 1956 sebagai Bupati Kepala Daerah Swantara Tk. II Kotawaringin Timur. Riwut kerap mengemban beberapa tugas jabatan berbeda dalam rentang waktu yang sama. Misalnya, 1957, residen kantor persiapan/pembentukan daerah swantara TK 1 Kalimantan Tengah di Banjarmasin.
Tjilik Riwut tokoh lintas-batas. Ia sekaligus kawan-seperjuangan ayahku. Ketika suatu ketika tiba di Pontianak, menghadiri salah satu dari rangkaian kegiatan Partai Daya (PD) tahun 1950-an, Riwut menyibak makna di balik nama-dirinya kepada ayahku:
Saya ini topan, badai kecil (tjilik riwut). Bung Karno badai mahabesarnya, yang mengguncang bukan saja Indonesia, melainkan dunia.
“A nation may rise and fall, but an idea lives on!” Dan puisi. Dengan untaian kata indah. Ditingkah bunyi eufoni tanpa henti itu adalah namanya yang abadi: Tjilik Riwut.
Apa yang ditulis di sini. Saya dapatkan kisah-aslinya dari my superdad.
Tjilik Riwut memberi petuah, dalam “bahasa malaikat”, yang berikut ini:
Ela tempun petak tapi manana sare
Ela tempun kajang tapi bisa puat.
Ela tempun uyah tapi batawah belai…
Tuntang ela ketun cuma tempun tandak ah, tapi uluh je tempun enyak ah.
Artinya:
Jangan punya tanah tapi berladang ke pinggir/ termarjinal. Jangan memiliki terpal, tetapi barang-barang sendiri basah. Jangan punya garam, tetapi masakan sendiri hambar. Jangan kalian cuma punya ceritanya, tapi orang yang menikmati manfaatnya.
Itulah kebesaran Tjilik Riwut. Sama-sama Gubernur Kalimantan. Ia dan Oevaang Oeray bahu-membahu. Bekerja demi nusa bangsa. Termasuk di dalamnya, include bagi kejayaan dan kemuliaan sukubangsa Dayak.
Latar keduanya, pendidikan pernah dididik misionaris. Baik dalam arti formal, maupun informal. Para padri, pastor yang dikenal suci dan baik hatinya. Bekerja untuk kemajuan suku bangsa yang dipandang terbelakang, saat itu. Dengan sepenuh hati.
Tentang hal itu, peneliti dan pengamat barat mencatat.
“Importantly, missionary education was the medium through which western idealism –democracy, egalitarianism and self-empowerment– were inculcated to PD’s founders. This expanding school network laid the structural basis for a provincial Dayak elite to coalesce (Davidson, 2003: 6).
Diawali “kesadaran baru”, yakni kesadaran akan identitas oleh angin Perjanjian Tumbang Anoi, etnis Dayak semakin terbentuk identitasnya dengan kehadiran Gereja. Lama kelamaan kesadaran itu berkembang menjadi self-perception (persepsi diri) sebagai satu etnis yang –pada waktu itu— terbelakang dan tertindas.
Persepsi diri ini kemudian “memaksa” seseorang untuk mengidentifikasi diri dengan kelompok etnis tertentu. Dalam konteks Perjanjian Tumbang Anoi, setiap individu yang mendiami Borneo pada saat itu mengidentifikasi diri dengan kelompok etnis tertentu, sehingga “koinsidensia” dengan politik Hindia Belanda yang “rust en orde” maka mulai tumbuhlah kesadaran akan identitas di kalangan etnis Dayak.
Identitas etnis berbeda dari identitas pribadi seseorang sebagai individu, meskipun timbal balik keduanya dapat mempengaruhi satu sama lain. Menurut Phinney (1996), jika proses identifikasi itu berjalan, maka seorang individu cenderung mengklaim sebagai pewaris kelompok etnis tertentu. Terdapat empat komponen utama identitas etnis:
Pertama, kesadaran etnis (pemahaman seseorang dan kelompok lain).
Kedua, identifikasi diri etnis (label yang digunakan untuk kelompok sendiri).
Ketiga, sikap etnis (perasaan tentang diri sendiri dan kelompok lain).
Keempat, perilaku etnis (pola perilaku tertentu kelompok etnis).
Perjanjian Tumbang Anoi dan buah karya Misi telah membentuk keempat komponen utama identitas etnis Dayak yang sebelumnya sporadis, tercerai berai oleh berbagai sebab dan kepentingan.
Dalam konteks itu, benarlah apa yang dikemukakan Phinney, “Ethnic identity is sometimes used to refer simply to ethnic group membership or label…. Ethnic identity has been conceptualized as an enduring, fundamental aspect of the self that includes a sense of membership in an ethnic group and the attitude and feelings associated with that membership” (Phinney, 1996: 922).
Haruslah diakui. Bahwa identitas seseorang sangat kompleks. Identitas terdiri atas berbagai faset dari latar belakang sosial dan budaya yang meliputi aspek preferensi bahasa, orientasi seksual, usia, gender, agama, kelas sosial, generasi, dan sebagainya.
Tapi semua narasi ini tak bisa dipindahkan ke dalam bahasa puisi. Sebab ada dalam “dokumen hidup” Tjilik Riwut.
Saya jadi teringat akan perkataan Presiden termasyhur Amerika Serikat. Kennedy berkata, “A nation may rise and fall, but an idea lives on!”
Suatu bangsa dapat saja bangkit dan jatuh. Tapi ide: abadi, tak pernah mati.
Dan puisi. Dengan untaian kata indah. Ditingkah bunyi eufoni tanpa henti itu adalah namanya yang abadi.
Ide Tjilik Riwut abadi. Literasi mengikatnya. Melalui untaian kata-kata. Serta tata kalimat yang bulat-kuat.
(Bersambung)
Catatan akhir:
[1] Dalam buku Sareb: Ayah, Guru, dan Sahabat (2022: 73-74) terbaca demikian: Pada pra-pemilu 1955. Ketika aku masih berada di bangku kelas V volkschool. Dan dipanggil oleh guru kami, Ignasius Akim, untuk menghadapnya.Tidak hanya aku seorang. Melainkan kami bertiga. Yakni pada murid kelas V yang cukup mampu yang kerap diandalkannya, yakni Lidang dan Piden.
Pak Akim mempersiapkan kami bertiga untuk tour of duty ke Ketemenggungan di wilayah Jangkang. Kami berkampanye tentang kiprah Persatoean Dajak nantinya di Pemilu 1955. Aku bertugas ke Ensanong di Terati. Sedangkan Lidang dan Piden ke Ketemenggungan Tojo’ di Pisang dan Ketemenggungan Kopa di Empiyang.Oleh ketua Persatuan Dajak cabang Jangkang, pak Ignasius Akim, kami bertiga ditempatkan di seksi kepemudaan Persatoean Dajak cabang Jangkang.