Tidaklah mengherankan. Jika kita telah bertemu dengan para pembuat stigma[1] Dayak yang serba-minor.
Sedemikian rupa, sehingga hingga hari ini stigma itu masih mendera tubuh Dayak. Baik sebagai tubuh biologis, maupun sebagai tubuh komunitas, yang terbangun dalam konsepsi dan stereotipe memori kolektif masa ke masa.
Di mana para pelancong dan penulis asing “coba coba melempar manggis”, tapi mangga yang didapat. Itulah yang dalam khasanah ilmu sosial disebut sebagai “unintended consequences”.
Teersebutlah seorang Kayan terpelajar, sekaligus berpengetahuan, bernama Ding Ngo yang mengkritik habis. Sekaligus menelanjangi bulat-bulat sebagian karya Dr. Anton Nieuwenhuis, khusus terkait topik Dayak Kayan Mendalam.
Dalam catatan-kritis Ding, karya Nieuwenhuis secara keseluruhan; hebat. Namun, ketika menyoroti orang dan wilayah Kayan Mendalam, banyak mispersepsi dan kekurangakuratan. Ini khas “kekurangan” peneliti asing. Yakni kurang menjiwai, memahami, mengerti, apa yang tak terucap (metafisik).
Selain itu, karya Nieuwenhuis terkait topik Kayan Mendalam banyak kesalahan tulis nomen muka bumi dan idiom setempat.
Ding sebagai anak Kayan, yang mewarisi nilai adat dan tradisi nenek moyang, kiranya memiliki tacit knowledge[2] warisan leluhur. Namun yang, karena terdidik, sanggup menyatakan tacit knowledge itu keluar, menjadi explicit knowledge. Yakni menuangkan pengetahuan-diam leluhur ke dalam karya tulis berupa buku.
Di sinilah jasa besar Ding. Ia pantas dicatat. Namanya abadi sebagai salah seorang pelopor literasi Dayak.
Ding Ngo, Aloysius dilahirkan pada 15 April 1916 di Tanjung Kuda, Mendalam, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Putra Dayak Kayan ini rekan Oevang Oeray, Gubernur Pertama Dayak Kalimantan Barat (1960 – 1966). Ia meninggalkan kampung halaman menempuh pendidikan seminari menengah di Nyarumkop.
Ketika itu, jalur transportasi tidak mudah. Harus menempuh ribuan kilometer melalui jalur perairan, menyusuri Kapuas, sungai yang panjangnya 1.143 km. Kini saja, perjalanan itu lewat jalur darat dengan kondisi jalan mulus beraspal, ditempuh tidak kurang dari 18 jam. Dengan laju kendaraan rata-rata 80 km/ jam.
Tujuan Ding bersekolah di sekolah misi, Nyarumkop, yang diasuh para padri dari Ordo Kapusin. Adapun lokusnya, di kaki Gunung Poteng nan sejuk, 15km dari kota Singkawang. Selama menempuh pendidikan, Ding tinggal di asrama.
Orang Kayan. Juga Dayak secara keseluruhan. Patut berterima kasih kepada Ding Ngo. Selain meninggalkan legasi berupa Kamus Indonesia – Kayan – Indonesia. Ia juga menulis sejarah sukubangsa Kayan.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah calon imam di Nyarumkop, Ding dikirim studi lanjut di seminari tinggi Ritapiret, Flores.
Ia masuk serikat Montfortan (SMM) dan ditahbiskan menjadi imam secara darurat dan dipercepat sebelum waktunya karena keadaan perang. Uskup Nagasaki, Mgr. Jamagutsi menerimakan tonsur dan tahbisan rendah (lektor, eksorsis, dan akolit) kepada Ding dan rekan.
Dan dua hari berikutnya masuk jenjang diakonat dan pada 30 Agustus 1945 ditahbiskan diakon serta pada 16 September 1945 ditahbiskan imam. Ding adalah buah sulung pastor Dayak di Kalimantan Barat.
Usai menuntaskan pendidikan imam, pada 1947 Ding kembali ke Borneo. Setahun kemudian, ia berangkat ke negeri Belanda mengikuti pendidikan novisiat di Meersen. Ding mengucapkan kaul sebagai seorang Montfortan pada 8 September 1949.
Hal terselubung yang tidak banyak diketahui orang ialah Ding juga seorang peneliti, budayawan, sekaligus penulis. Ia satu di antara cendekiawan Dayak yang mengabadikan sastra dan budaya suku bangsanya dalam bentuk buku dan publikasi.
Beberapa di antara karya yang penting Ding:
1. Syair Lawe’, Pahlawan demi Kekasih (bersama S. Lii Long) terdiri atas 5 volume dan diterbitkan Gadjah Mada University Press pada 1984/1985.
2. Kamus Indonesia – Kayan.
3. Kamus Kayan – Indonesia.
4. Sejarah Kayan.
5. Alaan Telaang Jualan.
Pada 1960-an, penulis syair-syair Kayan itu menjadi anggota DPRD-GR.
Orang Kayan. Juga Dayak secara keseluruhan. Patut berterima kasih kepada Ding Ngo. Selain meninggalkan legasi berupa Kamus Indonesia – Kayan – Indonesia. Ia juga menulis sejarah sukubangsa Kayan. Satu-satunya nama subetnis Dayak yang identik dengan nama Sungai. Selain Ketungau. Juga Embaloh.
Orang Kayan juga tersebar di berbagai penjuru Tanah Air. Hebat!
Catatan akhir:
[1] Stigma adalah istilah yang muncul pada akhir abad ke-16. Makna aslinya menunjukkan tanda yang dibuat dengan cara ditusuk atau dicap. Suatu istilah Latin yang diderivasi dari kata Yunani “stigma” harfiahnya berarti: tanda yang dibuat dengan alat runcing, atau titik, penanda.
Dalam khasanah ilmu sosial dan antropologi, stigma dimengerti sebagai: Tanda aib yang terkait dengan keadaan, kualitas, atau orang tertentu.
Stigma sosial adalah ketidaksetujuan atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok berdasarkan karakteristik sosial yang dapat dipahami yang membedakan mereka dari anggota masyarakat lainnya.
[2] Dalam khasanah ilmu pengetahuan, tacit knowledge menyumbangkan 95% dari pengetahuan, keterampilan, dan kebijaksanaan manusia. Bagaimana konfigurasinya dengan explicit knowlegde, akan menjadi narasi sendiri.