Non-Dayak atau orang yang tidak paham, kerap mispersepsi terkait sistem peladangan Dayak yang arif bijaksana, penuh dengan hikmat kebijaksanaan dan muatan kearifan lokal.Buku ini menjelaskan secara akademis sistem peladangan Dayak. Saripati buku ini telah terbit dalam jurnal yang terindeks Scopus.
Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1952) bahwa budaya suatu bangsa dapat dilihat atau dicirikan dalam 7
dimensi; salah satu di antaranya adalah sistem mata pencaharian.
Dengan mencermati seluruh proses dalam sistem peladangan orang Dayak di atas, dapat dikemukakan bahwa ladang adalah wujud yang sangat nyata dari sistem mata pencaharian orang Dayak. Sedemikian rupa, sehingga tanpa berladang, orang Dayak akan tidak dapat untuk hidup dan untuk meneruskan keberlanjutan hidupnya.
Di dalam konteks dimensi kebudayaan itulah sistem peladangan orang Dayak harus dilihat dan ditempatkan dalam sebuah ranah mata rantai nilai budaya dan adat tradisional yang di dalamnya sarat dengan hikmat dan kebijaksanaan, bukan hanya hasil akhirnya saja yang dilihat, yakni berladang untuk mendapatkan padi.
Di manakah letak dimensi-dimensi sosial peladangan manusia Dayak?
Dimensi sosial yang dimaksudkan adalah bahwa di dalam pekerjaan peladangan, tidak dikerjakan secara perseorangan, namun dikerjakan secara gotong royong dan bersama-sama. Terjadi relasi sosial di
dalam peladangan. Dimensi sosial peladangan terdapat pada setiap siklus, di mana orang Dayak melakukan pekerjaan secara bergotong royong (handep) atau ruyud, bupen, serta berbagai istilah yang hidup di kalangan komunitas Dayak.
Di dalam mengerjakan tahap-tahap peladangan tersebut, juga terkandung berbagai wujud ungkapan ritual, adat, budaya, kesenian, dan berbagai segi yang merepresentasikan bahwa peladangan merupakan bagian dari kehidupan manusia Dayak.
Adapun siklus atau pentahapan peladangan manusia Dayak yang mereprentasikan kebudayaan sebagai berikut: 1) Memeriksa lahan,
2) Menetapkan areal atau luas lahan,
3) Membersihkan/ menyucikan alat-alat atau perkakas untuk berladang,
4) Menebas,
5) Menebang,
6) Membakar ladang,
7) Menanam/ menugal,
8)Merumput,
9) Mengetam (panen), dan
10) Melakukan upacara Syukur (Begawai).
NonDayak kerap mispersepsi. Bahkan menuduh praktik peladangan Dayak merusak lingkungan. Mereka tidak paham sistem peladangan Dayak yang arif bijaksana, penuh dengan hikmat kebijaksanaan dan muatan kearifan lokal.
Berladang bukan hanya untuk mendapatkan padi yang produksinya 900 kg / hektar menurut perhitungan Jenkins. Namun, ladang memiliki multidimensi. Ada kesenian, adat, budaya, gotong royong, dan pesta ritual adat di dalamnya.
Maka ladang dilarang, sama dengan melarang hidup dan berada adat budaya dan kehidupan Dayak. *)