Menyebut nama Surapati, orang segera mengingat Tamanggung Dusun Hulu, yang menurut Schwaner sudah dikenal sejak 1835. Baik Schwaner maupun Perelaer menuliskan bahwa pasukan Surapati bertempur dengan aliansi Kahayan-Kapuas-Katingan di Terusan (muara Kahayan) pada saat itu. Peleaer menuliskan itu Perang Asang terbesar yang tercatat di Tanah Dayak, karena Surapati harus kehilangan ribuan orang-orangnya, yang dikepung sekitar 6.000 pasukan aliansi tadi.
Beberapa penulis menyebutkan nama Surapati sebagai peserta pertemuan Kepala Suku di Tumbang Anoi 1894, meskipun penulis wiki menyatakan Surapati meninggal tahun 1875 karena sakit dan sepuh. Landrukkerij 1848 mencatat Surapati kepala sub distrik Dusun Hulu, Siang dan Murung sejak 1848. Sebagai kepala distrik, Surapati memimpin sekitar 8.340 penduduk Dusun Hulu dan 8.500 penduduk Tanah Siang (Schwaner 1853).
Dalam literatur Belanda, nama Surapati ditulis sebagai Soera Pattie, Suro-patty atau Soero Patti. Surapati adalah nama yang dipakai ketika dikukuhkan sebagai Temenggung orang Dusun Hulu (Schwaner, 1852;5). Schwaner menjelaskan bahwa orang-orang di kawasan Tanah Dayak menggunakan nama-nama yang dianggap berpengaruh dalam sejarah.
Tamanggung Surapati adalah andalan Antasari dalam Perang Banjar. Di kawasan Surapati, Antasari hendak mendirikan Ibu Kota Kerajaan Martapura di Ringkau Kattan dan mendirikan markas yang sekaligus sebagai istana Penembahan Hulu Montallat, yaitu Benteng Tongka.
Agak sulit menggambarkan pribadi Surapati, karena dia tidak memiliki lukisan seperti halnya Sutaono, Damang Lehman, Tamanggung Ambu Djaya Negara ataupun Pangeran Hidayatullah. Namun perkara nama, Surapati paling dikenal dan paling dikenang dari siapapun di Tanah Dayak. Pada zaman asang dan kayau, Surapati adalah nama yang disegani penduduk Kahayan, Kapuas, Katingan dan Mentaya. Berbagai peperangan berbau asang dan kayau selalu melibatkan orang-orang Surapati. Schwaner, Perelaer, Maks, Michielsen, Pijnapple adalah penulis yang selalu menyebut nama Surapati berulang-ulang. Karena nama Surapati inilah, penghuni sungai Kapuas, Kahayan, Katingan dan Mentaya selalu membangun kuta untuk mempertahankan diri.
Schwaner menulis, bahkan karena Surapati, para kepala suku di Hulu Kahayan tidak menyukai Pemerintah. Pemerintah dianggap gagal memberikan rasa aman kepada warga Kahayan, padahal warga sudah memberikan pajak kepada pemerintah. Salah satu pemimpin kuta yang menyampaikan itu kepada Schwaner adalah Awat, pemimpin Kuta Tampang (Schwaner, 1854; 34-35). Soal ketakutan penghuni lanskap Kahayan dan Kapuas terhadap Surapati bahkan menjadi materi rapat para kepala suku dan masyarakat Kapuas – Kahayan tatkala HG Maks, civiel gezagheber Distrik Tanah Dayak berkunjung pada tahun 1853 dan 1857.
Dalam Perang Banjar, baik Tamanggung Surapati maupun Pangeran Antasari sebetulnya berperang untuk Pangeran Hidayatullah, yang gagal naik tahta pada tahun 1857. Ketika Pemerintah Hindia Belanda menghapus kerajaan Banjar tahun 1860, maka Surapati berperang untuk Pangeran Antasari.
Dalam periode Perang Banjar, kawasan Dayak yang menjadi aliansi Antasari secara total sebetulnya hanya distrik Dusun Hulu dan Tanah Siang, kawasan dimana Surapati sebagai pemimpin. Schwaner menjelaskan melalui paper berjudul Aanteekeningen Betreffende Eenige Maatschappelijke Instellingen en Gebruiken der Dajaks van Doesson, yang terbit tahun 1852 bahwa Dusun Hulu dan Tanah Siang memiliki kesamaan kebudayaan dan tidak pernah bermusuhan.
Apakah semasa perang Banjar ini Surapati juga melepaskan dendamnya semasa perang Kayau dan Asang? Agak samar-samar, setidaknya di tahun 1860, musuh bebuyutan Surapati (dalam hal asang dan kayau), yaitu pemimpin sungai Sirat yang dikenal Mawong (Patih Singa Negara) diserang oleh orang-orang Surapati. Permusuhan Antasari dengan Mawong tercatat sebagai permusuhan yang paling melelahkan oleh Perelaer. Surapati pernah mengepung Kuta Mawong selama tiga bulan, membawa artileri ringan dan senjata api, namun pulang dengan kegagalan.
Penulis dan komandan prajurit Belanda yang kagum dengan Surapati agaknya Letnan Perelaer. Bagi letnan yang pernah bertempur di kawasan Barito dan Kapuas ini Surapati adalah bintang perang Banjar. Perelaer menyaksikan sendiri keberanian orang-orang Dayak Dusun dan Siang dibawah kepemimpin Surapati. Itulah sebabnya, tanpa Surapati, agaknya Perang Banjar hanya seumur jagung, paling-paling hanya sampai tahun 1862.
Akhir tahun 1861 dan awal tahun 1862 Hidayatullah menyerah, Aminullah menyerah dan Antasari dilanda putus asa. Pada tanggal 6 Oktober 1861, Damang Lehman, panglima andalan Hidayat memimpin 30 kepala suku bergelar Pambakal dan Kiai di Tanah Banjar yaitu; Kiai Derma Widjaya (Matarip), Kiai Raksa Pati (Kariamoedin), Kiai Mas Tjakro Yoedo (Loeka), Kiai Poeipa Yoeda Negara (Kotter), Gusti Plandoek (putra Pangerang Amir), Pambakal Awang, Kiai Djaya Soerna (Dimon), Kiai Setro Widjaya, Kiai Derma Yoeda (Loera Anam), Kiai Moeda Kentjana (Boekoesin), Pangeran Ali Bassa (Gusti Issah), Kiai Goena Widjaya (Arbain), Kiai Soeroeng Rana (Sahiboel), Pambakal Noto, Kiai Pati Djaya Kasoema (Sanim), Kiai Derna Lenana (Ayoedin), Kiai Yoeda Widjaya (Garsma), Kiai Wira Yoeda (Doerachman), Pambakal Oenoes, Tommonggong Gamar, Toewan Saäban, Kiai Wira Karsa, Kiai Yoeda Karsa, Kiai Mangon Karsa (saudara laki-laki Gamar), Kiai Djaya Pati, Anden Achmat (putra Radhin Chalip) berserta 260 pengikut mereka menyerah dan ‘menyatakan sumpah setia’ kepada Pemerintah Kolonial Belanda di depan Mayor Koch di Martapura.(Rees I, 1865; 303).
Tanah Banjar menyerah, namun tidak demikian dengan Surapati, dia tetap menggebu-gebu semangat perangnya bahkan saat di masa tuanya. Tidak perlu menunggu tahun 1861 atau 1863, tanpa Surapati, agaknya Perang Banjar sudah menunjukkan titik jenuh di akhir tahun 1860. Karena kala itu Pangeran Hidayat sudah kelelahan di kawasan Kusan dan Tjantong, sedangkan Antasari sudah hampir putus asa. Ketika berharap bantuan dengan orang-orang Dayak di kawasan Pasir, Sultan Pasir melarang mereka memberikan bantuan militer kepada Antasari (Rees II, 1865; 344 – 345).
Jika Sultan Pasir melarang orang-orang Dayak menjadi laskar Antasari, di akhir tahun 1860, Raja Kutai sebagaimana ditulis oleh Rees malah mengusulkan kepada Residen Verpick di Banjarmasin pada November 1860 bahwa Kutai siap menyediakan pasukan Dayak dalam jumlah ribuan untuk memerangi aliansi Surapati dan Antasari. Dikarenakan Verpick menyadari bahwa pasukan yang dibangun oleh Hidayat dan Antasari pernah ditaklukan oleh orang-orang Kutai, maka Verpick mengizinkan pasukan itu memerangai orang-orang di Dusun. Bahkan apabila berhasil mengalahkan Surapati dan para kepala suku yang menjadi aliansinya, maka mendapatkan hadiah. Kepala Surapati dihadiahi f500 (gulden), sedangkan kepala Mas Anom dan Singa Pati dihargai f250 gulden (Rees I, 1865: 345).
Bagaimana proses usulan Sultan Kutai ini? Pada tanggal 10 Oktober 1860, Tamanggung Surapati mengirim surat kepada Sultan Kutai dengan isi seperti ini; ‘Saya Djang Pati Djaya Radja (Soerapati), yang memegang kuasa di seluruh negeri, ditujukan kepada rekan-rekan Singa Pati dan Ferdana Pati di Kutai, memastikan apakah masyarakat di Kutai menjadi aliansi dari Belanda dan tunduk kepada mereka? Jangan mengikuti saran mereka dan saya mohon dijawab dengan jujur, agar saya mengetahui hal ini, sebab pangeran kita, Pangeran Antasari dalam keadaan putus asa.”
Dalam Surat 10 Oktober 1860 itu Surapati mengatakan Antasari sedang berputus asa, dia ingin mengetahui keberpihakan Sultan Kutai. Sayangnya, oleh Pangeran Kutai, surat itu diberikan kepada wakil residen di Kutai, yaitu Dahmen. Selanjutnya Sultan Kutai mengusulkan agar kawasan Dusun Hulu digempur dan Sultan siap mengorganisir pasukan Dayak dari Bahau, Modang, Wahea serta Bugis dan Banjar.
Atas dasar usulan Sultan inilah Residen Verpick mengerahkan pasukan dari Amuntai, Tabalong, Kutai, pasukan Soeta Ono dari Sihong, pasukan Kiai Rangga Niti dari Marabahan, pasukan Raja Pagatan dan Batulicin serta pasukan Belanda yang terdiri dari orang Eropa dan Jawa, dengan kapal Perang dan artileri berat. Pasukan aliansi Verpijck ini terus-menerus menggempur kedudukan Surapati sejak April sampai November 1861, sampai jatuhnya Benteng Tongka. Surapati benar-benar diuji dalam perang. Pasukannya tidak pernah menyerah, meskipun banyak menjadi korban.
Setelah Verpick membuat persiapan, Sultan Kutai sendiri yang berangkat memimpin ekspedisi menggempur Dusun Hulu, khususnya Bukit Tongka pada April 1861 dan Oktober 1861.
Jauh sebelum itu, yaitu pada akhir Desember 1859, Surapati dan orang-orang Dusun menenggelamkan Kapal Onrust yang ditumpangi pasukan Bangert dan Van de Velde. Letnan Sluyterman menuliskan bahwa mandau Surapati mengenai Van de Velde dan mandau Ibon (anaknya) mengenai Bangert. Peristiwa Onrust ini membuat Verpick meradang dan melakukan aksi balas dendam. Usop menyebutkan Kolonial Belanda berkabung pada 1 Januari 1861 karena ulah pasukan Surapati ini. Oleh karena itu, pasukan Verpick dengan kapal perang Suriname, Celebes, Van Os dan Java melakukan aksi balas dendam dengan menggempur pasukan Surapati di sepanjang Barito. Tamanggung Surapati harus meninggalkan rumahnya di Bahan dan mengungsikan keluarganya.
Perelaer mencatat, hanya pasukan Tamanggung Surapati yang berani menghadang kapal perang Suriname, Montrado, Celebes, Boni dan Van Os yang dilengkapi persenjataan lengkap dan meriam 30 pon.
Ketika Antasari meninggal karena sakit 1863, Surapati meneruskan Perang Banjar bersama-sama dengan Putra Antasari, Gusti Mad Seman dan Gusti Mad Said. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan jika Perelaer berpendapat bahwa Surapati lah sosok yang membuat Perang Banjar menjadi lama. Perang yang seharusnya selesai di tahun 1863 berlanjut sampai 1905.
Dalam perjalanannya, laskar yang dibawah komando Surapati menghasilkan perang yang tercatat paling berdampak.
Damianus Siyok