Tanpa Kompas, Serasa belum Pas!

Terus terang. Terang terus: Kompas yang membesarkan saya. Baik dalam arti harfiah maupun simbolik.

Artikel pertama dimuat 11 Maret 1984. Saya kolomnis hingga 2005 dan memutuskan untuk berhenti nulis pendek. Harus naik kelas, jadi penulis buku!

Tanpa Kompas, serasa belum pas!–Jakob Oetama.

Honor sekelas saya di Kompas waktu berhenti jadi penulis/ artikel rp2.500.000/ artikel. Kalo misal hari ini dimuat, besok sudah bisa ambil honornya.

Waktu saya masih di Malang, honor dikirim pake wesel pos. Tahun 1984 itu besar lho, satu artikel di Kompas rp125.000. Kompas emang kaya, konglomerasi pers, waktu jaya-jayanya ketika itu. Pak Jakob, sebagai pendiri dan pemilik, masuk papan atas pembayar pajak negeri ini (seingat saya urut 30-an).

Tanpa Kompas, serasa belum pas!

Bukan saja karena sajian gizi beritanya akurat, dan paling tepercaya. Juga oleh sebab etos kerja wartawan dan para awak, serta nilai yang dibangun para pendirinya. Saya yang bekerja di anak perusahaan Kompas –20 tahun– merasa betul helaan napas nilai itu diembuskan baik oleh Alfons Taryadi, Pak Swan, Parakitri sohib saya, St. Sularto (lebih dari sohib), Jimmy S. Harianto, JUP, Tony Widiastono, Ansel da Lopez, August Parengkuan, Richard Bagun, TD Asmadi dan tentu Pak Jakob yang kerap menanamkan nilai waktu pidato.

Selain konten berita, etos kerja, serta nilai yang ditanamkan pendiri. Survey dan pooling Kompas, terbukti, jarang meleset. Ini yang membuat koran nomor wahid bukan saja di negeri Pancasila, melainkan di Asia Tenggara, itu tetap ditunggu-tunggu rilisnya.

Namun, kini. Jika benar. Miris hati ini mendengarnya. Gejala memang telah ada, Kompas makin kurus, tipis, dari hari ke hari.

Sebagai anak kandung Grup Kompas-Gramedia, tanpa Kompas memang benar, terasa: belum pas.

Saya haykul yakin. Seperti Intisari. Yang meski bertiras sedikit, tetap dicetak (ada) sebagai simbol.

Demikian harapan. Supaya Kompas, sebagai simbol anak-kandung Grup KG, tetap dipertahankan mati-matian, hingga kapan pun. Unit usaha lain boleh lenyap, tapi Kompas tidaaak! Ia adalah sejarah. Kehormatan. Juga harga-diri. Sekaligus jati-diri.

Mengapa saya berlangganan Kompas, meski bisa mengakses edisi PDF-nya? Tak lain tak bukan. Anda mafhum sendiri mengapa?

Namun, jika perusahaan kertas yang selama ini menyediakan bahan-dasar kertas untuk mencetak Kompas gulung-pabrik; lalu mau pakai apa edisi analog (cetak) Kompas?

SOS!

Jangan sampai Kompas tak-ada. Meski komt pas morgen–terlambat datang– seperti terbitan perdana. Ia tetap setia mengunjungi Pembaca.

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply