the DRAGON Network| Sekali Lagi tentang Kuasa Budaya dan Jaringan

Sekali lagi, tentang KUASA BUDAYA dan Jaringan!
Bermula dari thaumasia. Rasa heran. Mengapa orang Cina tetap tidak luntur identitasnya, meski tinggal dan hidup di mana saja?
 
Di padang gurun, mereka bisa menjual pasir. Di Singkawang, bisa hidup sebagai petani. Di Kembayan, bisa hidup dari hanya mula-mula sewa ruko, kemudian lama-lama membeli ruko, lalu menjadi tuan takur. Di Amerika, Italia, saya menemukan restoran Cina ketika ingin makan nasi.
 
Apa sebenarnya yang membuat orang Cina tidak pernah luntur ke-Cina-annya, meskti tinggal di mana saja? Usai membaca dan memamah-biak buku ini, kita jadi mafhum pepatah petitih yang mengatakan, “Tuntutlah ilmu hingga ke Negeri Cina!”
 
Mengapa? Sebab memang negeri Tirai Bambu punya kekayaan yang tak akan habis untuk ditimba, dan digali. Salah satunya: kuasa budaya!
 
Kuasa yang orang kerap lupa, padahal terbukti sepanjang masa jauh lebih mustajab dan tahan lama dibanding kuasa lainnya, seperti: kuasa ekonomi, politik, dan sosial yang cenderung sementara.
***
Di balik apa yang tampak di permukaan bahwa etnis Tionghoa menyebar ke segala penjuru dunia (China overseas, atau kerap pula disebut diaspora, atau istilah kerennya hoakiau), sebenarnya menarik mengamati mengapa mereka bisa bertahan, bahkan sukses di mana saja?
Seperti kita ketahui, Cina perantauan saat ini tidak kurang dari 50 juta orang. Sebagian besar dari mereka tinggal di Asia Tenggara di mana mereka merupakan mayoritas penduduk Singapura, yakni 75%.
 
Ada pula terdapat populasi minoritas Tionghoa di Malaysia (23%), Thailand (14%), Brunei (10%), Indonesia (1%), Filipina, dan Vietnam yang juga minoritas namun cukup berkiprah di dunia bisnis dan perdagangan.
 
Orang Cina punya kekayaan yang tak akan habis untuk ditimba, dan digali. Salah satunya: kuasa budaya! Kuasa yang orang kerap lupa, padahal terbukti sepanjang masa jauh lebih mustajab dan tahan lama dibanding kuasa lainnya, seperti: kuasa ekonomi, politik, dan sosial yang cenderung sementara.
 
Setelah reformasi yang terjadi pada era Deng Xiaoping, sikap RRC terhadap orang Cina perantauan berubah secara dramatis. Cina perantauan bukan lagi dipandang sebagai “orang yang lari meninggalkan negeri Naga”, namun mereka dipandang sebagai orang yang dapat membantu pengembangan RRC melalui keterampilan dan modal mereka.
 
Selama tahun 1980-an, RRC secara aktif berupaya mencari dukungan dari orang Tionghoa perantauan di luar negeri dengan mengembalikan barang-barang yang telah disita setelah revolusi 1949.
 
Baru-baru ini kebijakan RRC telah berusaha untuk mempertahankan dukungan dari orang-orang Tionghoa yang baru saja pindah, yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa Tiongkok yang mencari pendidikan sarjana dan pascasarjana di dunia Barat.
 
Banyak diaspora Cina sekarang berinvestasi di negeri asal leluhurnya yang menyediakan sumber daya keuangan, jaringan sosial dan budaya, pertemanan, dan peluang.
 
Menjadi fenomena menarik: mengapa di perantauan hubungan batin dan kekeluargaan etnis Cina tetap kuat? Mengapa ada semacam “panggilan” untuk tetap memberi kontribusi kepada sesama etnis dan negeri leluhur?
 
Ada syarat tertentu, suatu jejaring bisa bekerja efektif. Yang pertama, tentu saja, ada semacam komitmen pribadi. Komitmen pribadi ini menyangkut integritas dan harga diri. Semenanjung Korea, Jepang, Isla Formosa, dan terutama Cina Daratan punya rasa malu yang tinggi. Kepercayaan adalah modal utama dalam berbisnis. Kiranya inilah yang menjadi sikap-mental umumnya orang-orang Cina, selain berkanjang, pekerja keras, ulet, dan berbelarasa di mana saja.
 
Rasa malu adalah sumber kebenaran dan kebijaksanaan. Orang yang memiliki rasa malu, akan merasa bersalah apabila melanggar rambu-rambu kejujuran dan kepantasan. Muaranya, rasa malu ini akan mendatangkan kepercayaan, dan kepercayaan (sosial) mendatangkan kepercayaan finansial.
 
Memang, orang-orang Cina perantauan cukup kuat dalam hal permodalan. Namun, tidak mudah pula mendapatkan kepercayaan begitu saja. Kepercayaan ini yang sulit didapat. Bukan saja menyangkut bagaimana mengemban amanah dan tanggung jawab kepada pemodal, melainkan juga kepercayaan dalam hal “merasa malu” tadi.
 
Jejaring bisa berbentuk organisasi. Di dalamnya, ada sekelompok orang yang bekerja untuk tujuan yang sama. Jika ada sekelompok orang yang bekerja untuk tujuan macam-macam, itu bukanlah sebuah organisasi.
The Dragon Network intisarinya ihwal kisah di balik sukses bisnis keluarga Tionghoa.
 
Akankah ke muka, di antara mengguritanya perusahaan multinasional ke berbagai belahan dunia, jaringan naga ini eksis, bahkan makin berjaya?
 
Buku ini memprediksinya. Salah satu kuncinya, adalah “kuasa budaya”. Bagaimana etnis yang tersebar di berbagai belahan benua, dan menguasai perekonomian dunia ini jejaringnya tetap bekerja, tergambar dengan terang benderang.
 
Dan agar tetap berkelanjutan, di bagian paling belakang buku ini sebuah subjudul menarik yang menjadi kunci: Creating a new business paradigm, strategy, structure, and system.”
 
Manakala sebuah paradigma sudah terbentuk, strategi didapat, struktur dibangun, serta sistem berjalan, maka itulah: jejaring yang bekerja.
 
Network That Really Work.
Itu pula yang tidak dimiliki organisasi/ jejaring etnis lain. Sedemikian rupa, sehingga organisasi/ jejeringnya menjadi stangan, mandeg, nyaris tak-terdengar eksistensi dan dampaknya, bahkan perlahan-lahan mati-suri.
 
Kuasa budaya dan kekuatan jaringan. Begitulah cara kerjanya!
sumber gambar: Sumber gambar: Tribun Pontianak
Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

One comment

Leave a Reply