Media baru (the new media) adalah lawan dari media konvensional.
Dengan “media baru” dimaksudkan sebagai media digital, yaitu antitesis dari media lama yang berbasiskan analog. Seperti dicatat Manovich (2001) bahwa “…many new media objects are converted from various forms of old media…. Converting continuous data into a numerical representation is called digitalization” (hlm. 28).
Baca juga Marketing on the Internet https://bibliopedia.id/marketing-on-the-internet-2/?v=b718adec73e0
Yang termasuk media baru adalah Internet, Web sites, computer multimedia, computer games, CD-Roms dan DVD, dan virtual reality yang menggunakan komputer untuk distribusi dan ekshibisinya (hlm. 19).
Media baru setidaknya memunyai tiga fungsi penting yakni: 1) menghubungkan khalayak dengan informasi dan layanan, 2) memungkinkan kerja sama dengan orang lain, dan 3) membuat konten baru, layanan, komunitas, dan saluran komunikasi yang membantu siapa saja menyampaikan informasi dan jasa.
Sesuai dengan apa yang dikemukakan McLuhan (1964) bahwa unsur manusia yang paling dominan di balik pelaksanakan fungsi media tersebut “media is the extension of man.” Meneruskan teori McLuhan ini, dapat dikatakan bahwa baik teknologi media maupun isinya sepenuhnya berada dalam kendali manusia.
Sebelum Pandemi Covid-19, orang masih menganggap media baru –menggunakan jaringan Internet sebagai media komunikasi—adalah maya. Namun, setelah Pandemi Covid-19 dirasakan bahwa media baru sungguh-sungguh nyata.
Jika teori McLuhan diterapkan untuk kasus media baru, dapat dikatakan bahwa apa pun bentuknya maka setiap teknologi adalah perpanjangan dari manusia.
Karena itu, media baru bukan semata-mata sebatas alat, melainkan yang paling esensial di dalamnya adalah unsur manusia.
Kita dapat menyebutkan dan membuat senarai tipe manusia yang interplay di dalam media baru yang dimaksud. Mereka dapat individu, kelompok, komunitas, kerumunan, atau organisasi.
Sebelum Pandemi Covid-19, orang masih menganggap media baru –menggunakan jaringan Internet sebagai media komunikasi—adalah maya.
Namun, setelah Pandemi Covid-19 dirasakan bahwa media baru sungguh-sungguh nyata. Bahkan kini media baru merupakan media tempat orang berkomunikasi, berinteraksi, dan saling mendapatkan keuntungan.
Dapat dikatakan bahwa manusia zaman digital ini, tidak melekat dan merupakan bagian dari teknologi sebagaimana dikemukakan Fidler (1997) tentang mediamorfosis.
Teknologi baru tidak selalu baru tetapi bergantung pada perkembangan teknologi sebelumnya dan aplikasinya. Teknologi yang benar-benar baru biasanya bukan ciptaan media itu sendiri.
Seringkali alat pemasak tekanan teknologi dari inovasi militerlah yang memberikan kesempatan untuk aplikasi sipil di kemudian hari, dan untuk media. Satelit pada awalnya dikembangkan dan diluncurkan (1960-an) untuk aplikasi militer mereka – pengawasan dan komunikasi. Internet pada awalnya diciptakan untuk kenyamanan militernya untuk menemukan bentuk komunikasi yang kuat yang tidak dapat dihancurkan oleh beberapa rudal balistik antar-benua Rusia (ICBM).
Cornford dan Robins (1999) berbicara tentang ‘akomodasi antara lama dan baru’ dan menunjukkan bahwa ‘media baru seringkali sangat bergantung pada konten media lama yang dikemas ulang’.
Bahkan interaktivitas bukanlah hal baru dalam dirinya sendiri (telepon radio): melainkan mungkin kecepatan dan keterikatan interaktivitas di belakang teknologi, yang baru. ‘Teknologi baru . . . memungkinkan produsen produk dan layanan media baru untuk memantau, menyegmentasikan, dan menargetkan audiens dengan cara baru’ (Cornford dan Robbins, 1999).
Gagasan determinisme teknologi merupakan argumen bahwa teknologi itu sendiri membentuk masyarakat dan dapat menjadi penyebab perubahan sosial.
Tanpa listrik, Internet, gagal-jaringan jangankan sehari. Sejam saja tanpa akes dan kehadiran media dan teknologi komunikasi itu; kita gamang. Rasanya “tak bisa hidup” tanpanya lagi.
Sementara teknologi apa pun mungkin memiliki jenis potensi, itu tidak dengan sendirinya memiliki kesengajaan. Itu harus digunakan dan dikembangkan, dan industri media menentukan perkembangan itu. Mungkin secara bersamaan benar, bahwa begitu teknologi tertentu telah mencapai tingkat perkembangan dan ketersediaan tertentu, maka sifat pasti dari penggunaannya yang berkelanjutan, terutama oleh konsumen, tidak begitu mudah untuk dikendalikan.
Peluang tidak begitu mudah dibayangkan. Dan apakah teknologi bekerja untuk manfaat sosial atau kerusakan sosial tidak pasti maupun konsisten.
Posisi klasik dan sebagian besar menentang teknologi dan media muncul pada 1960-an dan 1970-an dalam tulisan-tulisan Marshall McLuhan (McLuhan, 1994; McLuhan dan Fiore, 1967) dan Raymond Williams (1974).
McLuhan memajukan gagasan tentang kekuatan teknologi dalam budaya listrik baru – kekuatan untuk menciptakan era baru hubungan yang kompleks. Teknologi berbasis listrik ini memiliki keunggulan untuk frase penangkapan – “desa global” (big village) adalah salah satunya.
McLuhan berbicara untuk televisi pada saat menerima banyak pers yang buruk, berbicara kritis. Dia melihat televisi sebagai media yang melibatkan indra, dan menentangnya dengan keterasingan sensorik dari apa yang dia gambarkan sebagai budaya media cetak Gutenberg.
Dia tertarik pada efek sebanyak pada penyebab. Dia melihat media sebagai perpanjangan dari indra. Dia tertarik pada karakteristik media, dan melihat media lebih dari sekadar pembawa konten – media itu sendiri adalah pesannya, bagi McCluhan. Baginya, teknologi merupakan faktor penentu dalam pengembangan dan penggunaan media, meskipun ia juga akan melihat perkembangan baru seperti World Wide Web sebagai peluang bagi pengguna.
Seperti yang dikatakan Bolter dan Grusin (2000), ‘Gagasan bahwa teknologi komunikasi elektronik baru akan menentukan organisasi sosial kita, jelas tidak mengancam perusahaan yang memproduksi dan memasarkan teknologi tersebut.’ Pasar tidak melihat media baru berada di luar kendali mereka.
Jika sebelum Pandemi Covid-19, media baru dirasakan maya, tidak nyata. Namun, selama adan Pasca Pandemi Covid-19 sungguh ada. Bahkan menjadi keniscayaan.
Tanpa listrik, Internet, gagal-jaringan jangankan sehari. Sejam saja tanpa akes dan kehadiran media dan teknologi komunikasi itu; kita gamang. Rasanya “tak bisa hidup” tanpanya lagi. *)
Post-script: Penulis alumnus Program Pascasarjana UPH, jurusan Media Studies.
sumber: gambar https://www.google.com/search?q=the+new+media+after+covid+19