Dalam buku The Power Elite (1956: 18), Mills mendefinisikan kaum elite sebagai “those political, economic, and military circles, which as an intricate set of overlapping small but dominant groups share decisions having at least national consequences. In so far as national events are decided, the power elite are those who decide them.”
Bagi power elite, yang paling pokok ialah memegang kendali dalam distribusi barang dan jasa. Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, politik, maupun sosial, para elit kekuasaan dapat diidentifikasikan ke dalam tiga indikator.
Pertama, siapa yang mendapatkan keuntungan (who benefits)?
Kedua, siapa yang memerintah (who governs)?
Ketiga, siapa yang menang (who wins)?
Jadi, di balik kebijakan BBM, fiskal, moneter, soseskbudpolhumkam, properti, dan tanah adalah perkawaninan haram antara TIGA KEPENTINGAN di atas!
Tapi yang benar-benar tidak dapat saya mengerti, seorang pejabat penting mengatakan bahwa di sana: tidak ada tanah adat.
***
Bahwa sesungguhnya kaum elite mengontrol golongan mayoritas, dan bagaimana bola perubahan tetap ada dalam genggaman kaum elite, tertuang dalam buku The Power Elite yang ditulis Mills pada 1956 (Oxford Press, 1956).
Dalam buku tersebut, Mills menjelaskan hubungan antara para pemimpin dari unsur-unsur militer, perusahaan, dan politik serta menunjukkan bahwa warga biasa merupakan subjek yang relatif tidak berdaya dan dimanipulasi oleh kaum elite bangsanya.
Inti pemikiran Mills terdapat dalam bab 12 dan bab 13 buku The Power Elite. Bab 12 “The Power Elite” dan bab 13 “The Mass Society”. Kaum elite, kata Mills, cenderung tetap mempertahankan status quo dengan berbagai cara, termasuk memperluas kegiatan persuasi massa yang dahulu dikenal dengan “mass deception” melalui media. Oleh karena itu, pembentukan opini publik menjadi target penting untuk dikontrol, dimanipulasi, dan diintimidasi.
Inti pemikiran Mills terdapat dalam bab 12 dan bab 13 buku The Power Elite. Bab 12 “The Power Elite” dan bab 13 “The Mass Society”. Kaum elite, kata Mills, cenderung tetap mempertahankan status quo dengan berbagai cara, termasuk memperluas kegiatan persuasi massa yang dahulu dikenal dengan “mass deception” melalui media.
Oleh karena itu, pembentukan opini publik menjadi target penting untuk dikontrol, dimanipulasi, dan diintimidasi.
Itu sebabnya, opinion-making (melalui media dan didorong oleh pendidikan) menjadi ciri khas untuk meraih dan mendapatkan power (kekuasaan). Kemudian, para elite akan menguasai massa, mengkonstruksi pemikiran dan membangun nilai-nilai baru, membentuk keinginan.
Bagaimana peran media? Media berperan sebagai agen perubahan yang mempengaruhi pendapat publik dan menciptakan apa yang disebut dengan “pseudo-world by the mass media”.
Artinya, media massa merupakan dunia-palsu (counterfeit) karena apa yang ditampilkan dan disajikan media adalah hasil konstruksi (realitas subjektif) pengelola dan pemilik media tersebut. Dan celakanya, justru hasil konstruksi oleh media tersebut yang dianggap benar oleh masyarakat. Inilah bentuk kontrol kaum elite atas massa.