Varuna-dvipa: Nama Borneo era Pengaruh Hindu-India

Membahas topik “Sejarah Dayak”, kita diperangkap untuk masuk ke suatu belantara yang sungguh mahaluas. Meskipun bukan “terra incognota”[1], nama kolektif untuk menyebut indigenous people, penduduk asli pulau terbesar ketiga dunia dengan luas 743.330 km² ini dapat kita buat demarkasi berdasarkan tonggak waktu kronologis yang menjadi pancang sejarahnya.

Tonggak sejarah terkait dengan pokok kajian kita adalah: Sejak bila pertama kali terminologi “Dajak” digunakan, dan diperkenalkan kepada dunia? Kiranya, waktu-kronologis bernilai historis dengan dampak yang diterima umum dan mendunia itu, patut untuk dijadikan sebagai awal. Sebelumnya adalah pra-kondisi. Yakni faktor-faktor yang turut membentuk dan menjadikannya. Atau evolusi, yang kadangkala tidak diprediksi sebelumnya sebagai unintented consequences, menjadikannya demikian. Sedemikian rupa, sehingga seperti halnya Pertemuan Tumbang Anoi 1894 yang diinisiasi Kompeni Hindia Belanda untuk tujuan “mengguasai” Dayak, tanpa diperhitungkan sebelumnya, berubah menjadi tonggak sejarah pembentukan identitas, sekaligus munculnya spirit keDayakan dan sensus Dayakensis[2] di kalangan penghuni asli bumi Borneo ketika itu.

Dari Mana Kita Mulai?
Pertanyaan metodologis, sekaligus epistemologis, ini kiranya wajib untuk dijawab lebih dahulu sebelum lebih lanjut kita beranjak ke gagasan inti. Dari mana harus mulai menukilkan “Sejarah Dayak?”

Jawabannya adalah: Sejak pertama ketika terminologi “Dayak” digunakan, atau dimaklumkan kepada dunia. Itulah tonggak sejarah Dayak. Sebelumnya adalah prakondisi. Setelahnya adalah pembentukan identitas, pengembangan, penguatan, atau tindakan dan hal-hal lain serta peristiwa penting yang berkaitan dengan Dayak. Dalam kronologi Dayak hal itu dapat dilihat dengan cukup gamblang bagaimana yang disebut dengan “tonggak sejarah” itu memainkan peranannya dalam kedayakan secara keseluruhan.

Dalam horizon sejarah itulah, kita menempatkan metodologi dan sistematika buku ini. Bahwa “Dayak” tidak tiba-tiba ada, ia “menjadi Dayak” berproses, mengalami dinamika. Sebagian menyatakan bahwa Dayak perlu pengakuan dunia luar, namun sebagian besar, tidak setuju. Untuk apa pengakuan dunia luar, jika sejarah telah menulis demikian, sekaligus memaklumkan kepada dunia sepanjang segala abad, bahwa kitalah yang empunya tanah ini? Bukankah telah tertulis di mana-mana, entah di Wikipedia, di Google, entah di ensiklopedia[3] bahwa Dayak adalah “indigenous people of Borneo’s Island” (penduduk asli Borneo) sekali tertulis demikian, tetap tertulis atau yang dalam dunia literasi dikenal pepatah Latin “Quod scripsi, scripsi”[4]. Tidak mungkin, dan tidak bisa, menghapus memori kolektif akan kebenaran universal, sekaligus apa yang sudah menjadi aksioma serta pengetahuan umum.

Berbeda dengan Jawa, Bali, dan Madura yang nama pulau sekaligus identik dengan sukubangsanya, Dayak tidaklah demikian. Untuk sebagian kalangan, terutama anak-anak muda, mereka menginginkan sukubangsa penghuni pulau dengan populasi sedikitnya 7 juta jiwa ini diberi nama: Pulau Dayak.

Bagaimana prospek perjuangan ke arah penamaan nama sukubangsa penghuni asli dan nama pulau satu dan sama “Dayak” itu? Mungkin saja terjadi, jika ada kekuatan atau tekanan (pressure) yang memaksa. Dalam hal perubahan nomen clatur nama geografi, nama jalan, dan nama kota di Indonesia; bukanlah hal yang sudah biasa? Sebagai contoh cukup di sini dimajukan dua saja. Pertama, Ujung Pandang menjadi Makassar[5] kembali pada 1999. Dan kedua, Irian berubah nama menjadi: Papua[6].

Mengacu kepada preseden tersebut, tidak ada yang tidak mungkin. Suatu waktu, di kelak kemudian hari, siapa tahu Dayak menjadi seperti Jawa, Bali, dan Madura yang nama penduduk asli sama dengan nama pulau?

Jika boleh jujur, banyak di antara kita yang gendang telinganya masih asing mendengar “Varuna-dvipa”. Istilah apa pula ini gerangan? Menjadi subjudul buku babon sejarah Dayak pula? Tidakkah ini mengada-ada, bahkan mislead?

Setelah mempertimbangkannya lama, dengan kepala dingin, serta mencermati footnotes dan senarai pustaka –terutama pustaka yang membahas era kemaharajaan, feudatori serta pengaruh Hindu-India di Nusantara, maka hati penulis berketetapan untuk dengan sengaja memasukkan alias nama pulau terbesar ketiga dunia itu menjadi subjudul buku sejarah Dayak ini. Selain agar khalayak tercelik bahwa sebelum Borneo ada nama lain bagi Kalimantan, juga bertujuan untuk “mengikat” dalam satu kesatuan yang utuh: Bagaimana prasasti pertama di Borneo menjadi tonggak sejarah dan bagaimana peradaban dan budaya sukubangsa penghuni aslinya berdinamika dari masa ke masa.

Sebelum masuk lebih jauh ke topik pembahasan, ada baiknya kita berhenti dulu untuk sama-sama menyamakan persepsi. Terutama mengenai tonggak sejarah peradaban suku bangsa penghuni pulau Varuna-dvipa yang terpatri dalam prasasti Yupa.

Menyamakan persepsi, tidak sama sebangun dengan memaksakan opini apalagi kehendak kita kepada orang lain yang mungkin berbeda. Akan tetapi, menyamakan persepsi dapat bisa mulai dari membuat definisi dan membatasi ruang lingkup, agar maksud tidak melebar, bias, dan multitafsir.

Catatan belakang:

[1] Terra incognita atau terra ignota adalah istilah yang digunakan dalam kartografi untuk wilayah yang belum dipetakan atau didokumentasikan. Ungkapan ini diyakini pertama kali terlihat dalam Geografi Ptolemy tahun 150. Istilah ini diperkenalkan kembali pada abad ke-15 dari penemuan kembali karya Ptolemy selama Zaman Penemuan.   Sesungguhnyalah kita semua memiliki terra incognita kita sendiri, yang menghuni kita tetapi lebih suka kita hindari, dan apa yang disebut Jung sebagai “bayangan”. Contoh lain dari tanah yang tidak dikenal itu terjadi di bidang pengetahuan dan, khususnya, bidang ilmiah. Para ilmuwan bekerja, secara real time (seperti proses penelitian,penulisan, dan publikasi karya ini) untuk mendapatkan landasan pada misteri alam semesta, sedemikian rupa, untuk memperluas batas cakrawala.

[2] Dapat diterjemahkan secara letterlijk sebagai: sentimen atau rasa ke-Dayakan. Patut dicamkan, “sentimen” bukan pertama-tama negatif maknanya sebagaimana yang orang kebanyakan mengerti. Akan tetapi, kalau kita membuka kamus, sentimen berarti: merasa, mencerap, menghayati. Sentimen digunakan sejak akhir 14 untuk mengacu ke suatu “pengalaman pribadi, perasaan sendiri.” Etimologinya dari kata Prancis Kuno “santement”, diderivasi dari kata Latin Abad Pertengahan “sentimentum” yang berarti: perasaan, kasih sayang, pendapat, merasa. Dalam citarasa pengertian kata semacam itulah, sentimen digunakan di sini.

[3] Tertulis yang demikian ini dalam ensikpoledia Britanica: Dayak, also spelled Dyak, Dutch Dajak, the non-Muslim indigenous peoples of the island of Borneo, most of whom traditionally lived along the banks of the larger rivers. Their languages all belong to the Indonesian branch of the Austronesian (Malayo-Polynesian) language family. Dayak is a generic term that has no precise ethnic or tribal significance. Especially in Indonesian Borneo (Kalimantan), it is applied to any of the (non-Muslim) indigenous peoples of the interior of the island (as opposed to the largely Malay population of the coastal areas).

[4] Ungkapan ini ditengarai berasal dari ucapan Pontius Pilatus meskipun pemuka penting era Al Masih diadili ini mungkin mengatakannya dalam bahasa Yunani, bukan Vulgata latin. “Apa yang telah kutulis, saya telah menulis” (INRI) sebagai tanggapan atas permintaan dari para imam kepala untuk menghapus tanda pada salib Yesus “INRI” yang menyatakan Dia adalah “Raja Orang Yahudi” (Yohanes 19:21-22). Tentu saja, pernyataan ini konteksnya adalah respons kekuasaan atas rakyat yang menekan saat itu, yang agak meremehkan, dan mungkin apatis terhadao sikap dan pernyataan sederhana tentang otoritasnya.

Untuk konteks kita pada saat ini adalah bahwa jika kita entah secara secara online maupun bukan, perlu belajar menggemakan kata-kata itu, untuk mencamkan kata-kata itu. Karena apa pun yang kita tulis bisa kembali menghantui, sekaligus berpotensi menjadi bumerang. Tanpa ingin terdengar melodramatis, pengakuan seperti itu mungkin merupakan pengakuan yang harus kita buat, bukan karena posisi berkuasa tetapi karena ketidakberdayaan kita sendiri. Karena itu, di dalam menulis, kita harus hati-hati, selalu menjaga akurasi, presisi, dan mengedepankan kebenaran. Bahwa kurang cermat bisa terjadi, akan tetapi berbobong dengan sengaja, tidak bisa untuk diampuni.

[5] Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 menetapkan Kota Ujung Pandang berubah kembali namanya menjadi Makassar pada13 Oktober.

[6] Menurut Kompas.com dengan judul “Sejarah Perubahan Nama Irian Jaya menjadi Papua”: Pada tahun 1963, setelah bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), wilayah ini disebut sebagai Provinsi Irian Barat sejak hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto sewaktu meresmikan tambang tembaga dan emas freeport. Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001, diamanatkan nama provinsi Irian Jaya diganti menjadi Papua.

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 737

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply