Yasuo | Japanese Entrepreneur with Indonesian Hearts

Saya turut-aktif pada launching buku ini. Pada satu hotel bintang di bilangan Kuningan, Jakarta. Turut larut dalam diskusi. Bahkan, bertanya satu hal.

Cukup sensitif sebenarnya. Jauh dari topik buku ini. Pertanyaan saya ihwal bantuan riset untuk suatu peristiwa tragedi “sungkup” yang dilakukan Jepang di Mandor, Kalimantan Barat.

Tapi yang menarik adalah ihwal buku ini. Banyak terbit biografi, tapi yang ini beda.

Di mana bedanya? Lazimnya, biografi yang dijumpai di gerai dan toko buku negeri kita tentang tokoh dalam negeri. Ini unik. Seorang Jepang ditulis dua orang Indonesia.

Adalah seorang Jepang ugahari. Lahir pada 20 Oktober di Shiga dari keluarga sederhana. Ia diberi nama Yasuo Furukawa. Masa kecil dilaluinya tatkala Jepang mulai lembaran baru, setelah diluluhlantakkan oleh kejamnya Perang Dunia II.

Ketika itu, keadaan serba susah. Namun, setiap warga Jepang, termasuk  keluarga Yasuo, pantang menyerah pada keadaan.

Masa kecil sadar atau tidak membentuk karakter dan habitus kerja kerasnya. Daerah pertanian di bagian barat Pulau Honsu yang dekat Kyoto ini menjadi saksi betapa Yasuo mengalami hidup susah. Membantu orang tua mencukupi kebutuhan hidup dari bertani.

Ayahnya seorang akuntan yang bekerja di sebuah perusahaan swasta dari pagi hingga sore. Setelah itu, banting tulang sebagai petani sampai jelang malam.

Tak jarang, ibunya pun turut membantu ayah bekerja sebagai petani. Di awal-awal masa kebangkitan Jepang, kerja keras dan kesederhanaan di mana-mana. Akan tetapi, hal itu menumbuhkan semangat berbela rasa. Setiap keluarga saling bantu.

“Sesama tetangga saling membantu karena ikatan persaudaraan yang kuat. Tidak jarang para tetangga saling memberi dan bertukar makanan, bahkan selalu tanggap jika ada yang mendapatkan kesusahan” (hlm. 007).

Suatu ketika, ia menemukan orang yang mau mengajarinya. Dan kini siapa tidak tahu? Furukawa Shell yang didirikan pada 1972, kini menjadi perusahaan multinasional. Itulah kanjou yang diperlihatkannya dengan ketajaman intuisi bisnis.

Anak bungsu dari tiga saudara ini pun tumbuh dalam suasana prihatin. Bercita-cita menjadi atlet senam, tapi kemudian fakta berkata lain. Ibu wafat dan Yasuo harus bekerja. Ia mulai berwirausaha. Ia mencoba usaha pembuatan water valve.

Setelah menikahi Fusako bengkel kerja bersama mereka bangun. Untuk menghemat biaya, keduanya tidak menggunakan tenaga tukang. Namun, suami-istri mengaduk sendiri semen dan menyusun batu bata.

Berbekal pengalaman dan intuisi, saking terbatasnya modal, Yasuo mulai usaha dengan coba-coba sesuatu yang tidak biasa. Dirancangnya cetakan (mold) dari tanah liat, meski sebenarnya harus dari bahan logam karena kesulitan modal tadi. Ketika yakin, water valve  yang diinginkan berhasil dibuat, cetakan logam.

Sungguh tidak mudah awalnya menjual produk bengkel kerjanya. Beberapa kali ditolak karena masalah kualitas. Penolakan ini tidak membuatnya patah semangat. Sebaliknya, memicu untuk mencari siapa yang bisa mengajarinya berhasil.

Suatu ketika, ia menemukan orang yang mau mengajarinya. Dan kini siapa tidak tahu? Furukawa Shell yang didirikan pada 1972, kini menjadi perusahaan multinasional.

“Itulah kanjou yang diperlihatkannya dengan ketajaman intuisi bisnis,” simpul Bambang Trim yang menjadi moderator pada peluncuran dan bedah buku Yasuo: Hidup tak Henti Memberi Arti. Penerbit Trim Komunikata (2016).

Acara yang digelar di Hotel JB Marriot, bilangan Kuningan, Jakarta, pada 16 Februari 2016 berlangsung meriah. Bukan sekadar menghadirkan pengusaha Jepang, lebih dari itu, mengupas kisah suksesnya di dalam hidup.

Sukses dalam bisnis tidak identik sukses dalam hidup. Lisman Suryanegara dan Zeni Zaelani, penulis buku ini, mengisahkannya. Betapa Yasuo memperhatikan keluarga, anak-anak, karyawan, dan lingkungan sekitar. Ia tabu mem-PHK-kan karyawan. Malah, yang pernah diputus kerja, diminta kembali lagi.

Nilai yang diwarisinya ialah “Bekerja sebagai jiwa dan nilai hidup. Uang bukan segalanya.”

Nilai itu berjalan dalam diri dan karya Yasuo. Di Indonesia, ia mendirikan pabrik di daerah Karawang. Karyawannya 99% orang Indonesia. Satu-satunya orang Jepang di perusahan itu adalah putra nomor duanya.

Suatu ketika, Yasuo kaget dan bertanya. Mengapa yang menjemputnya bukan sopir biasa? Ternyata, si sopir dipecat perusahaan karena masalah gaya hidup dan keuangan. Tiba di Jakarta, Yasuo meminta staf memanggil sopir. Kepadanya ditawari bekerja kembali dengan sepenuh hatu. Selain itu, diberi uang tunai.

Yasuo tidak memarahi si sopir, tetapi memberinya sentuhan kemanusiaan. Menjadi baikkah si karyawan setelah menjalani kesempatan kedua? Dari beberapa kasus sama, tidak semua. Namun, pelajaran penting dari Yasuo ialah: memberi kesempatan kedua.

Biografi ini memang tidak lazim: tidak ditulis berdasarkan kronologis, melainkan tematis. Tampak sengaja, sebab yang diutamakan ialah pesannya, bukan sisi lain. Bukan kisah sukses Yasuo dalam bisnis karena berhasil menjual banyak dan kaya raya, melainkan modal dasarnya menjadi kaya. Menjadi kaya adalah proses. Namun, modal dasarnya alah nilai-nilai.

Itulah seorang Yasuo. Seorang yang tak henti memberi arti dalam hidup.  

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply