Apakah anjing mengandung sifat-sifat Budha?”
“Mu!”
Jawaban tidak-esensial secara filosofi. “Joshu Mu” adalah koleksi koan yang luar biasa. Mumonkan, suatu pertanyaan tradisional yang diberikan kepada murid-murid Zen (hlmn. 93).
Tentu saja, kandungan gizi buku ini banyak. Semuanya “daging”. Namun, saya tertarik pada bagaimana praktik Zen. Dan apa manfaatnya buat kita untuk keterampilan hidup.
Zen mengajarkan. Agar jawaban atas pertanyaan harus diberikan dengan kalimat afirmatif. Seperti diketahui dalam logika formal. Hanya kalimat afirmtif yang dapat diukur benar/ salah. Pada narasi tersendiri, hal ini akan dibahas nanti.
Dalam konteks Zen koan, pertanyaan bagi murid Zen. Logikanya adalah: Semua makhluk memiliki sifat-sifat Budha. Demikian pula seekor anjing sebab dia makhluk.
Namun, jawabannya adalah “Mu”. Mengapa? Sebab secara harfiah berarti: tidak sesuatu pun bisa ada tanpa sang ada. Apa artinya?
Metaforanya, bagi yang paham filsafat, adalah konsep “emanasi”. Kok bisa serupa? Bsa saja! Padahal tidak membaca, apalagi menjiplak. Itulah mengapa dalam filsafat kami diajarkan: kebenaran itu bulat. Cara menangkap, mengerti, dan memiliki kebenaran itu yang tidak utuh. Kadang jawaban tidak salah, hanya: belum lengkap.
Para murid Zen sengaja dikondisikan masuk ke dalam puncak keragu-raguan yang luar biasa. Di sana akan terjadi pemurnian motivasi. Dalam dunia persilatan, teknik yang sama pun dilakukan sang guru sebelum menerima muridnya
“Mu” sangat berarti. Dalam bangun logika, sudah masuk ke bentuk-bentuk Deduksi -sebagaimana Organon, khususnya Analytica Priora di mana dikenal 6 bentuk Deduksi sebagai modus, tropos, atau jalan untuk sampai pada kesimpulan.
Kesimpulannya: Semua Deduksi hanya bermuara pada dua deduksi universal yakni fgur pertama dan kedua. Kesimpulan dengan dua premis, masing-masing merupakan kalimat kategorial.
Seperti contoh di atas!
Ujian paling berat Zen justru pada saringan pertama. Misalnya, “Mengapa Saudara ke tempat sepi begini, sementara di kota menawarkan hiburan duniawi yang begitu nikmat? Kembalilah ke kota! Tempat ini sepi. Makanan dan minuman tidak selezat di kota. Saudara tidak akan betah!”
Zen kōan adalah suatu teknik (cerita, dialog, pertanyaan, atau pernyataan) yang diajukan sang guru, di mana para murid Zen diuji dan dicobai untuk pada akhirnya mastering berbagai ilmu –dan terutama dan utama– latihan mengendalikan diri.
Para murid Zen sengaja dikondisikan masuk ke dalam puncak keragu-raguan yang luar biasa. Di sana akan terjadi pemurnian motivasi. Dalam dunia persilatan, teknik yang sama pun dilakukan sang guru sebelum menerima muridnya.
Bagi orang awam, biasa, ragu-ragu itu tidak baik. Namun, para suhu Zen memandangkan tidak. Mengapa? Sebab, dalam pencarian kebenaran sejati: keragu-raguan adalah permurnian. Suatu bentuk penghormatan, aau jalan, menuju kebenaran.
Tes wawancara kerja mungkin mengadopsi, setidaknya terinspirasi, dari Zen kōan ini.
Oleh karena Zen kōan cukup dalam maka ia diambil sebagai metafora di untuk menjelaskan esensi dan keberadaan sesuatu. Semacam pemurnian. Pembelajar dibuat ragu-ragu, bertanya, mengolah semua fakta dan informasi, menyaringnya, kemudian menjadi miliknya. Hasil olahan itu menjadi keputusan dan ketetapan.
Mula-mula pembelajar, atau siapa pun, ragu-ragu terlebih dahulu. Bahkan skeptis.
Beberapa malah telah punya mindset sendiri. Bahwa pemimpin yang melayani hanya milik dan berlaku untuk kalangan tertentu saja.
Tapi melalui patihan “Zen Kōan”, para murid Zen menjadi teguh. Jika dilihat sekilat. Maka latihan Zen ini seperti para siswa seminari.