Semalam (03-02-2023) saya menyaksikan malam yang sungguh indah lagi mulia. Di sebuah statiun TV swasta. Yang menyiarkan langsung mata acara dari rangkaian 100 Tahun (Seabad) Nahdlatul Ulama (NU).
Pandang mata tak lekang dari tayangan. Selain menyentuh, juga menggugah. Dalam batin berkata, “Saya banget acara itu!”
Tak pernah saya memirsa TV setotok itu!
Mulai hari ini, saya akan menulis serial pengalaman dan relasi pribadi saya dengan orang-orang NU. Para sahabat. Kawan rapat. Dengan siapa saya biasa tukar pikiran dan saling berbagi. Kumulai dari launching buku pastor Katolik, yang dibedah intelektual muda Muslim luar biasa. Di mana saya modeator, disertai narsum lain: Arswendo Atomoliloto beberapa tahun silam.
Bagi setidaknya saya pribadi. NU itu bukan hanya miliknya. Ia milik semua bangsa. Tanpa sekat.
Saya lalu teringat ucapan Gus Dur yang bernas ini. “Jika kamu berbuat baik, orang tidak akan tanya: apa agamamu?”
Ketika menulis biogafi-politik Matori Abdul Djalil (1998) berjudul Dari Nu untuk Kebangkitan Bangsa, saya dan dua sahabat (Bimo dan Darmanto), saya kerap keluar masuk-pesantren menemui dan menggali narasumber. Kami juga bertemu dan wawancara langsung Gus Dur di kediamannya, di bilangan Ciganjur.
Di kampungku, kini, (kecamatan Jangkang, Kalbar) ada seorang wakil rakyat dari PKB tokoh Katolik, mewakili Katolik. Katanya, separuh bergurau, “PKB itu Partai Katolik Baru”.
Bergaul dan bergumul dengan warga Nahdliyin (NU), bagi saya, sudah biasa. Di awal reformasi, pernah menulis biografi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Matori Abdul Djalil, sehingga mafhum betul bahwa banyak kesamaan pandangan Katolik-NU: telur dari induk ayam yang sama.
Maka ketika bedah buku “Dibakar Semangat Pelayanan” karya Pastor Heri Kartono, OSC di gedung Bentara Budaya, Palmerah, Jakarta (17/01-2013) di mana yang membedah adalah intelektual muda Zuhairi Misrawi dan Arswendo Atmowiloto dan saya moderatornya, diskusi terasa mencelik, dan kena: agama itu membebaskan. Dalam bahasa timur tengah, saya tahu itu: tahrir!
Ya, mebebaskan dari segalanya. Dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, pedindasan, pengisapan oleh sesama, bebas dari rasa takut, bebas berekspresi, dan bebas secara lahir-batin. Namun, bebas yang bertanggung-jawab. Beretika moral. Vertikal dan horizontal, semuanya seimbang.
Mengapa bisa demikian? Matori Abdu Djalil cerita kepada saya. Ia seorang santri. Namun, waktu kuliah di perguruan tinggi Kristen. Lalu ketika Partai Kebangkitan Bangsa didirikan, banyak tokoh Katolik masuk dalam jajaran kepengurusan.
Di kampungku, kini, (kecamatan Jangkang, Kalbar) ada seorang wakil rakyat dari PKB tokoh Katolik, mewakili Katolik. Katanya, separuh bergurau, “PKB itu Partai Katolik Baru”.
Apa pun katanya, meski sarat nuansa politik. Selain jargon dan taktik pula meraih suara. Nyatanya, ia terpilih sebagai anggota dewan 2 periode.
Mungkin karena nilai universal kemanusiaan yang diusung oleh NU. Orang melihat buahnya, serasa “saya bingits”. Bukankah Katolik juga berarti, secara harfiah: universal?
Ada ada saja!
(bersambung)