Endorsement.
Apa, ya, padanan yang pas dalam bahasa kita? Khususnya dalam dunia perbukuan. Peneguhan, penguatan, fiat, nihil obstat, bahkan salute; barangkali. Biasanya, diberikan oleh otoritas. Atau seseorang yang dianggap cakap di bidangnya.
Saya mencari etimologi, awal mula maknanya, ketemu yang berikut ini:
Saya tak tahu. Mengapa sastrawan sekelas Korrie Layun Rampan meminta saya memberi endorsement untuk novelnya yang juga menang Sayembara Roman DKJ ini, tapi bukan nomor wahid.
Semula, saya maksudkan untuk Epilog. Namun, “Masukkan sampul buku belakang saja, agar terbaca semua!” kata Korrie.
Maka jadilah seperti ini. Cukup berjejal huruf-hurufnya. Bagi Anda dengan mata minus. Sukar mengeja setiap patah kata. Biarlah saya ketik, dan muat kembali, Endorsement itu!
Korrie, saya, dan sastrawan Titis Basino.
***
Setting dalam sebuah novel memang bukan suatu hal yang teramat substansi. Apalagi, dibandingkan isi cerita dan alur. Namun, tanpa tanpa setting. Sebuah novel tak punya kaki tempat berpijak di bumi. Ia abstrak. Bak karya filsafat.
Dalam Api Awan Asap (AAA) karya sastrawan kawakan, Korrie Layun Rampan, setting yang dipilih pengarang adalah tanah kelahirannya, Kalimantan Timur. Kalau menurut logika, mestinya novel ini berjudul Asap Api Awan. Sebab awan adalah butiran air atau es kecil yang terlihat mengelompok di atmosfer, yang terjadi karena bantuan debu atau asap akibat industri yang higroskopik.
Agaknya, pengarang secara sadar tidak mengikuti alur seperti itu. Dengan AAA, pengarang mendeskripsikan paradoks antara kearifan tradisional masyarakat Dayak mengelola hutan di satu pihak. Sementara tindakan pengusaha HPH dan HTI di pihak lain yang membuka hutan Kalimantan Timur dengan cara membakar lahan.
…..” Bau asap menyeruak dari luar lou. Kebakaran hutan seperti momok dan hantu yang menyerang kawasan desa dan kota. Di cakrawala mengantung awan-awan asap yang datang dari berbagai arah… mendung yang menggantung, bukan mendung mengandung hujan tapi, mendung asap api yang datang dari lahan orang kaya dari kota” [hal. 34]. Pembakaran hutan oleh HPH dan HTI inilah penyebab kawasan Kaltim tidak hanya berawan clody tetapi juga tertutup awan overcast” .
Karena mengenal setting pengarang dengan amat cermat melukiskan suasana. Kita diajak mengembara, memasuki belantara di mana indigenous people Dayak Benuaq bermukim, menyatu dengan alam dan hidup bergantung pada alam. Di sebuah kawasan, tepi sungai Nyawatan, penduduk membangun low betang, rumah panjang.
Dari lou itu, dua sahabat Jue dan Saktan setelah menempuh perjalanan 300 kilo meter, memasuki gua untuk mengambil sarang burung wallet. Jue yang baru sebulan menikahi Nori, putri Petinggi Jepi, bertugas masuk ke dalam gua sambil pinggangnya diikat dengan taki plastic; sementara Saktan menunggu di luar. Karena diam-diam, Saktan juga mencintai nori. Saktan lalu mengerat tali plastik itu. Akibatnya Jue tersesar dalam gua yang gulita.
Dua puluh tahun setelah peristiwa itu terjadi, takkala malam terakhir dari delapan malam upacara perkawinan adat Saktan-Nori, tiba-tiba Pune, putri Nori dari bibit Jue, terperosok dalam sebuah lubang aneh. Kakinya terasa dipegang orang dari bawah.
Orang-orang mengira yang mencekal kaki pune adalah hantu. Namun, setelah khalayak ramai-ramai menarik Pune dari longsoran tanah, tiba-tiba muncul seseorang seperti manusia purba ke permukaan tanah. Badannya putih pucat karena tak pernah kena sinar matahari. Rambutnya panjang melewati tumit, dan matanya sipit. Tak ada yang bisa mengidentifikasi bahwa manusia tanah yang dikira tonoy itu adalah Jue, kecuali Nori dan Petinggi Jepi.
Adegan yang penuh suspense itu, sekadar menunjukkan salah satu kelebihan pengarang di dalam bertutur. Hal ini tentu semakin memperkuat setting dalam novel ini yang juga menekankan betapa sebenarnya orang Dayak (Benuaq) sangat memperhatikan pelestarian lingkungan hidup.
Unsur-unsur magis khas suku Benuaq juga diangkat penulis. Membuat bulu kuduk berdiri. Ternyata lubang celaka yang merongga, yang mencederai Pune, persis disitu dahulu berdiri sepokok beringin. Beringin itu ditebang, dibakar, lalu di atasnya didirikan low (hlm. 101). Kini areal sekitar pohon beringin itu dijadikan arena untuk urusan upacara.
Dengan demikian, AAA boleh disebut “jilid kedua dari novel Korie sebelumnya yang juga memenangkan sayembara penulisan roman DKJ 1976 dan mengambil setting Kalimantan Timur.
Menurut saya, AAA dari segi mutu dan teknik penceritaan, tak kalah disbanding Upacara. Bahkan, jauh lebih dahsyat!
Dan juga jauh lebih matang.
Silakan Anda membaca dan memabahbiaknya. Novel dengan setting tempatan Kaltim ini, sungguh memikat. Ia lebih indah dibaca daripada dicerita.
Rasakan nuansa keberpihakan pengarang. Tak syak. ApiAwan Asap Korrie membara sekaligus membakar semangat keDayakan kita.