Berebut Ikan Asin dengan Anjing| Kisah Bertahan Hidup di Asrama

Sepotong ikan asin, waktu Siesta (istirahat siang) itu sungguh kisah yang tak bisa kulupa. Hingga kini. Meski seorang di antara kami sudah Profesor, tak mengapa peristiwa sedih di hari Minggu itu, kukisahkan di sini…
 
 
Asrama seminari kami, Nyarumkop dulu sekali…Pergantian dekade ’70-an menginjak 1980-an.
 
Sistem pendidikannya dikenal ketat dalam hal disiplin. Maklum, didikan para padri dan bruder Katolik, yakni para Ordo Fransiskan (OFM Cap) yang dikenal ugahari –serba-sederhana– meniru sang pendiri, St. Fransiskus Asisi.
 
Semua waktu ada peruntukannya. Beberapa dalam istilah Latin, maklum sudah lama, saya hanya ingat beberapa saja.
1. potus: tea break, jam 10.00 setelah istirahat pelajaran, sekitar 15 menit.
2. siesta: istirahat tidur siang 1 jam setelah makan siang antara jam 14.00-15.00.
3. opus manuale: kerja tangan/ berkebun/ membersihkan sekitar halaman dan sekolah secara bergiliran; jam 15.00-18.00.
4. silentium: tidak boleh omong/ ribut waktu jam belajar mandiri; antara jam 19.00-21.00
 
Belakangan, kami tahu. Sepotong ikan asin itu dibawa melintas kami oleh si anjing dari dapur umum yang dikelola para suster.
 
Ada banyak lagi, lain waktu saya jelaskan. Kali ini mau berkisah ihwal pengalaman no. 2, waktu siesta.
 
Sedang yang lain tidur, kami –anak-anak asrsama yang dikenal bandel dan kreaif– tidur-tidur ayam di gang dekat ruang makan.
 
Saya masih ingat: Jitmen (William Chang), Benyamin, Doraman, Djulin, Agus Clarus geng kami, kawan satu kelas.
 
Ada pula kakak kelas, Jaya Shaputra, Anis, David, dan Kanis.
Di tengah keheningan siang yang panas, tiba-tiba muncul anjing warna kuning. Di mulutnya terjepit seekor ikan besar, ikan asin.
+ eee, lihat! ada lauk datang –kata seorang teman
mata kami tertuju ke situ semua.
+ Ayo kita kejarrr!
 
Kami pun mengepung anjing itu. Pagar betis. Ketakutan karena hendak dipukul, si anjing melepas buruannya. Kami mengambilnya, mencucinya, membakarnya, lalu makan ikan asin itu dengan lahap sembari mencari sisa nasi di muk atau piring masing-masing.
 
Belakangan, kami tahu. Ikan asin itu dibawa ke kami oleh si anjing dari dapur umum yang dikelola para suster.

Anak-anak asrama memang sejak dini belajar kreatif dan bertahan hidup.

Jika terkumpul banyak, kisahan seperti ini, akan saya bukukan!

Suatu waktu, kami (saya, William Chang, dan Benyamin) mengambil sawo pastor samping gereja. Saya yang manjat. Dua sahabat di bawah, menampung sawo yang saya petik.Setelah terkumpul, sawo-sawo itu kami bawa agak jauh. Pada sebatang pohon, kami tutupi sawo-sawo hasil buruan siang itu dengan daun-daun. Setelah 3 hari, kami ke situ, tak ada yang tahu: semua sawo, matang –sawo matang.

Mencurikah kami?

“Tidak!” kata William Chang, yang kini profesor.

“Kita hanya mengambil seperlunya. Lagi pula ini siang, ngambil namanya. Kalau malam, baru: mencuri!’

Memang sahabat ini kelihatan bibit profesornya sejak muda!

Tapi lain waktu saja saya kisahkan lagi pengalaman di asrama. Semuanya bermuara ke: survive.

Tidak terlalu parah amat melanggar moral dan etika sebenarnya.

Tapi memang gokil habis!

ilustrasi: istimewa
Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 730

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply