Sejak 2015. Ketika launching novel-sejarah yang saya tulis Keling Kumang di Sintang.
Kemudian kami sama-sama sebagai narasumber di RRI Pro2 Sintang. Saya mengenal Bandi Anak Raga setelah itu. Ia acapkali bercakap-cakap dengan saya dengan jako Iban. Saya Biyadauh, namun 80% bahasa kami, sama.
Lelaki dengan tato bunga terong yang dikenal sebagai Apai Janggut ini, sejak itu, intens saya bertemu, berdiskusi, dan menggali dari khasanah ingatan dan pengalamannya mengenai kerarifan lokal dan sejarah suku bangsa Iban.
Saya menginap di bilik miliknya, rumah panjai Sungai Utik, Kapuas Hulu. Saya mendapat kisah “untold story” darinya tentang berbagai hal.
Dari mengapa ia memelihara jenggot, pengaroh, mantra, ilmu gaib, hingga pada jerita tua pekara ngayap ba’ rumah panjai jeman ari kelia. Ini yang khusus, ia menyibak rahasia pada saya bagaimana cara ngayap supaya berhasil.
Akan saya kisahkan nanti pada satu bab, sebagai pengetahuan mengenai konstruksi sosial masyarakat Iban zaman dulu.
Apai Janggut dapat berjalan kaki dari Sungai Utik ke Putussibau hanya dalam tempo 2 jam, sementara mobil menempuh jarak sama (71 km) dalam tempo yang sama. Darimana kedigdayaannya itu diperoleh?
Sekadar untuk merawat ingatan akan tradisi yang kini sudah tidak lagi diterapkan. Saya masih ingat, ketika launching yang seru itu, Kadispen Kab. Sintang salah satu narasumber ketika itu. Ia menyarankan agar bagian “NGAYAP” jangan terlampau ditulis secara detail.
Saya renung-renung, benar juga jika dibaca anak-anak muda yang pikirannya kacau. Jika dibaca kalangan dewasa yang bependidikan, sudah tentu, itu akan menjadi penambah pengetahuan akan praktik perikehidupan sosial zaman dahulu, yang dilihat dalam sebuah mata rantai budaya, sehingga berada dalam sebuah konteks yang punya nilai dan kearifan.
5 tahun saya mempersiapkan materi buku ini. Bahwa ia pada 2019 menerima dua anugerah, Kalpataru dan Equator Prize, itu hanyalah pemantik dan fact finding.
Terima kasih kepada Keling Kumang Grup, terutama Mr. Yohanes Rj, ketua Pengurus CUKK, Eko Mikael, danCEO CU Keling Kumang, Mr. Valent Vernan yang memfasilitasi riset penulisan, hingga penerbitan buku ini.
Terima kasih kepada Munaldus Nerang —Liu Ban Fo— yang khusus berkisah pada saya mengenai kesaktian Apai Janggut. Yang berjalan kaki dari Sungai Utik ke Putussibau hanya dalam tempo 2 jam, sementara mobil menempuh jarak sama (71 km) dalam tempo yang sama.
Kepada St. Masiun, terima kasih infonya mengenai kegiatan dan keaktifan Apai di AMAN, dan tentang nasihatnya untuk menjaga hutan tetap lestasi. Telah pernah dihitung nilai sebuah kawasan hutan, nilai budaya dan alamnya jauh melampaui nilai ekonomi.
Tidak dikenal dalam sejarah suku bangsa Dayak “emas hidup”, tapi yang ada: air hidup. Emas bisa habis, tapi air yang jernih memberi kehidupan sepanjang masa, warisan / legacy yang ditinggalkan bagi anak cucu generasi berikutnya.
Terima kasih kepada Yani Saloh, yang dengan cermat dan detail menyuplai proses penganugerahan award. Semuanya untuk kemuliaan suku bangsa Dayak –seperti subjudul buku.
Sebelumnya, Apai Janggut sudah terbidik sebagai tokoh sepanjang masa –juga masa depan– dan masuk dalam senarai 100 TOKOH DAYAK, jilid 2.