Biografi Ayahku |Ayahmu Mana?

Tiap orang yang mengidolakan ayahnya. Pasti sang ayah itu: baik. Baik dalam segala hal. Kecuali dalam hal: dosa. Baik dalam lahir batin. Dalam pikiran, ucapan, apalagi perbuatan dan tindakan. Juga baik dalam hal kelalaian. Sebab sang ayah senantiasa berbelarasa. Ia tidak akan membiarkan anaknya berlama-lama terjerumus, masuk jatuh ke dalam tubir jurang kubangan kehancuran.

Pendeknya sang ayah adalah hero. Melebihi siapa pun. Peran yang hanya bisa disandingkan dengan ibu tentunya. Saya, ketika menulis narasi ini, sama sekali tidak terlintas dalam alam pikiran bahwa ada orang di dunia ini yang tidak mengakui peran ayah begitu besar dalam hidupnya. Setidaknya, menurunkan kepadanya gen. Tanpa ayah, mana mungkin kita lahir ke dunia? (Tentu “bekerja sama” dengan ibu!)

Ayah kami kini telah kembali ke alam baka. Usianya mendekati purna: 87 tahun. Tak ada keluhan. Tanpa mengeluhkan sakit. Kondisinya biasa saja sebelum koma lima hari menjemputnya: Minggu, 12 Maret 2023. Sebelum akan makan siang, ayah kejang-kejang. Lalu semenjak itu, hilang kesadarannya. Untuk kemudian menghadap Sang Pencipta pada petang menjelang malam, 16 Maret 2023.

Saya tak berada di sampingnya, ketika malaikat maut menjemptnya. Sayang sekali! Seumur-umur, saya belum ada pengalaman melihat langsung manusia putus-nyawa. Padahal waktu menemani ayah, 2 minggu sebelum koma, saya ingin sekali. Saya hanya bisa mendengar kesaksian dari adik-adikku bagaimana ayah mengembus napas terakhir.

“Tarikan napasnya dalam. Ada sedikit bunyi tersekat pada perut dan kerongkongan. Untuk kemudian dilepasnya. Itulah napas yang penghabisan,” kata adik bungsu ragil kami, Emanuel.

“Sebelumnya, ayah mengulas senyum. Tapi keluar satu dua air mata,” imbuh Nuel. “Mungkin air-mata perpisahan. Atau bahkan air mata bahagia?”

Tatkala jadi wakil keluarga, sebagai saudara tertua kedua. Sebab Maliki, anak Sareb pertama “gak kuat” pada upacara pelepasan ayah di gereja. Bukan sambutan. Tapi eulogi namanya. Saya berkata, “Apa beda lahir dan mati? Tidak ada! Sama-sama keluar air mata. Jika pada kelahiran, seorang menangis dan semua orang tertawa. Waktu mati, sebaliknya. Semua orang menangis, tapi seorang tertawa!”

Mungkin saja air mata ayah yang keluar, waktu mengembus napas terakhir itu: air mata bahagia. Itu awalnya menghadap “api biru”. Alam baka. Keabadian. Kata Plato, mbah guru saya, “Raga adalah penjara jiwa”. Maka ayah telah merdeka! Sebab tubuh material, sedangkan jiwa immaterial.

Tapi beruntung. Dalam keadaan masih koma. Kami cerita mengenai proses kreatif Biografinya. Yang saya tulis, bersama si bontot, Fidelis.

Buku setebal 230 halaman itu, bukan ece ece. Komplet. Ada ISBN-nya: 978-623-5890-20-3. Dicetak  PT Gramedia Printing pula. Terbit awal tahun 2022. Ketika ayah masih bisa membaca. Dan menikmatinya. Betapa terlihat ia bangga dengan buku itu.

Beberapa buah buku dicetak eksklusif, full color. Sudah tentu, ayah mendapat yang spesial itu. Untuk kawannya yang masih hidup, Sumoi, ia minta diberikan spesial yang sama. Kami menurutinya.

Kembali ke laptop, buku itu, ketika ayah koma. Kami semua adik beradik, 9 orang, plus para  ipar duduk dekat sampingnya. Saya telah mengambil 3 buku kesayangannya. Selain ini, buku tentang Bung Karno. Dan buku oleh Parakitri Tahi Simbolon, Menjadi Indonesia. Buku ini dia suka. Gaya bahasanya enak dibaca. Alurnya ceritanya mengalir. Sastrawi. Kandungan gizinya, luar biasa kaya.

Buku Menjadi Indonesia yang terbit tahun 1995 oleh Penerbit Buku Kompas ini, tebal. Hampir 700 halaman. Hard cover, dengan jaket dan flap (lidah) pula. Ketika ke Jakarta, sengaja ayah menukarkannya dengan punya saya yang kondisinya masih prima. Saya oke saja. Sebab saya mafhum: ayah seorang bibliofili juga. Bahkan, ayah orang pertama yang “mengajari” saya gila-buku.

3 buku itu kami kisahkan prosesnya. Ketika sampai biografinya, ayah yang koma, mengangkat kepala. Tangannya seperti mengarah ke saya, meminta buku itu.

Kami semua tercengang. Tak menyangka akan menyaksikan pemandangan yang cukup aiaib  dan tak lazim itu!

Dengan terbitnya biografi ayah kami. Saya, sebagai anak dan penulis yang cukup dikenal luas, tidak merasa berutang. Sebab pasti akan ditanyai orang begini: Biografi orang kamu tulis dan terbitkan. Masa’ biografi ayahmu tidak?

Tatkala diskusi mengenai barang apa yang dibawanya di dalam peti nanti? Maka buku itu antara lain yang diputuskan dibawa ayah ke alam baka bersamanya. Saya yang meletakkannya ke dalam peti ayah. Aku hanya sanggup diam saja. Meski jauh di palung terdalam sana, hatiku tersayat. Air mata sempat jatuh beberapa titik. Namun, saya tidak sampai menyeka airmata. Lacrima yang pasti sangat berarti.

Untunglah! Biografinya terbit sebelum kepergiannya. Ia bangga sekali rupanya. 

Biografi sosok ayah? Mengapa tidak! Bukankah ayah adalah orang terhebat dalam perjalanan sejarah dan kehidupan sebuah keluarga?

Meski demikian, amat sangat jarang orang menulis dan mener­bitkan biografi tentang ayahnya. Padahal, tanpa ayah, tidak dapat dibayangkan, betapa sebuah keluarga tidak punya cukup tiang penyangga un­tuk sebuah bangun keluarga kokoh, baik dalam makna harfiah maupun kiasan.

Itu yang mendorong ditulis dan diterbitkannya buku ini. Mengisahkan lelaki yang lahir tengkurap pada suatu malam menjelang fajar pada 1 Juni 1936 di kampung Sekantot, bonua Engkarong. Seorang opas dari Balai Sebut yang menghitung tanggal, bulan, dan hari lahir memberinya nama: Sjarif –sebagaimana tertera pada ijazah Sekolah Rakyat (SR) Negeri dengan cap tiga jari miliknya yang terbit pada 1 Agustus 1954. Setelah pandai menulis-membaca, ia mengganti namanya sendiri menjadi: Sareb. Sebab jika dibaca dari belakang, katanya, namanya akan menjadi berkah bagi semua: Beras.

Lelaki berpostur mungil, periang, lucu, cerdas namun suka iseng ini loncat kelas di SR dua kali. Berbekal tamat SR, ia diminta jadi guru. Lalu anggota DPRD Kabupaten Sanggau.  

Banyak kisah hidup dan peristiwa dialaminya. Mulai dari masa kecil usia 4 tahun membantu ibu bekerja karena ditinggal ayah kandung, dihadang deru bunyi pesawat tempur Jepang ketika bekerja di ladang, gubuk terbakar, kurap, diangkat jadi jongos pastor Herman, menemukan “tulang rusuk yang hilang” di Terusan waktu menjadi guru muda di Empodis; hingga pada pengalaman diinterogasi petugas polisi militer di Sanggau untuk dibawa ke Pontianak.

Banyak kisah menarik, sekaligus lucu, terangkai dalam buku ini. Kiranya buku ini bukan hanya semata-mata untuk kami, anak-anak, cucu, dan cicitnya. Melainkan juga bagi siapa saja, yang mengidolakan sang ayah.

Dengan terbitnya biografi ayah kami. Saya, sebagai anak dan penulis yang cukup dikenal luas, tidak merasa berutang. Sebab pasti akan ditanyai orang begini: Biografi orang kamu tulis dan terbitkan. Masa’ biografi ayahmu tidak?

Ini juga bukti. Akan penegasan kata-kata yang kerap saya ucap, di mana saja ketika kegiatan literasi. “Verba volant, scripta manent”. Sebab apa yang diucapkan itu berlalu, tapi yang dituliskan, kekal abadi.

Ayah yang kami sayangi! Maafkanlah, jika masih ada “utang” yang belum lunas!

We all love U, daddy!

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply