Kodifikasi Hukum Adat | Dayak Jangkang Selangkah Maju

Dalam hal kodifikasi hukum adat. Dayak Jangkang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Selangkah maju.

Selama ini, masyarakat-adat dipandang “sebelah mata”. Karena, terutama, belum punya habitus literasi. Yakni membaca, apalagi menuliskan sejumlah tacit knowledge –yang menjadi khasanah kebijaksanaan. Selain perbendaharaan nilai-nilai yang nirbatas warisan leluhur, yang diwariskan generasi ke generasi.

Tak banyak orangtua yang mengalihkan ingatan kolektif, ingatan diri-pribadi, ke dalam tulisan.

Namun, di Jangkang. Sebuah wilayah terpaut dua kecamatan dari Kuching, Sarawak, Malaysia. Dua sepuh, tetua adat, menuangkan –mengKODIFIKASIkan– hukum adat setempat, ke dalam buku dan mempublikasikannya.

Luar biasa!

Upaya itu, patut mendapat selamat. Disertai angkat topi, tabe selamat!

Orang Jangkang dalam suatu upacara adat.

Hukum Adat sejak dahulu kala telah tumbuh dan berkembang serta dipatuhi oleh masyarakat adat, akan tetapi tidak tertulis. Menurut orang tua terdahulu, Adat dan Hukum Adat adalah suatu usaha untuk mendidik secara tidak langsung sesama manusia agar hidup beradab, sopan, berbudi pekerti, dan bertata krama.

Berbagai sebutan untuk Dayak Jangkang. Bisa: Jangkang, Jongkakng, Djongkang, Djongkakng. Tinggal kita sepakati yang baku: Jangkang. Akan tetapi, sebagai penggolongan yang baku di aras antar-bangsa, dan di kalangan kami –para etnolog– biasa dengan ISO 630-3: djo sebab telah menjadi kesepakatan para ilmuwan.

Di satu pihak, Hukum Adat tetap berlaku di kalangan masyarakat Dayak. Di pihak lain, Hukum Negara pun tetap dipatuhi. Oleh karena itu, Hukum Adat tidaklah meniadakan Hukum Negara. Pada zaman Orde Baru (Orba), pengaruh dan wibawa para fungsonaris adat berangsur-angsur pudar disebabkan oleh beberapa faktor yang diikuti pula dengan bangan adat istiadat dan penyimpangan-penyimpangan dalam penerapan hukum adat. (Baca juga artikel terkait ini https://bibliopedia.id/menafsir-letak-temawang-labai-lawai/?v=b718adec73e0)

Dengan demikian, diharapkan penanganan penyelesaian kasus pelanggaran hukum adat dapat dilaksanakan dengan benar, adil, dan bijaksana.

Hal itu sesuai dengan motto:
Ukump nya’ bolinokng
Adat nya’ bopugokng

Hukum dan norma untuk perlindungan
Adat buat pegangan (hidup)

Salute untuk kedua sesepuh. Membuktikan, usia bukan hambatan untuk berliterasi!

Lepas dari semua itu. Dayak wajib ditulis “dari dalam”. Mengapa? Sebab kita yang paling tahu tentang kita. Hari ini, jangan lagi kita ditulis orang, melainkan menulis diri sendiri. Menarasikan realitas, esensi, identitas kita. Jangan lagi mengutip, melainkan kita yang: dikutip.

Literasi adalah jalan membangun (kembali) citraan Dayak yang di masa lampau dengan sesuka hati ditulisi orang. Begitu banyak bias terjadi dalam dokumen dan narasi orang asing tentang Dayak. Semua itu wajib dikoreksi!

Baru mulai. Namun, monografi sejarah dan asal usul Dayak Jangkang  telah terbit. Juga topik lain seputar etnis yang ditengarai berjumlah 48.000 jiwa, dengan 11 anak-suku itu.

Di kalangan pergaulan dan pengenalan etnis-etnis antar-bangsa, Dayak Jangkang digolongkan ke dalam klasifikasi: Austronesia, Melayu-Polinesia,  Land Dayak. Adapun kodenya dalam dunia internasional adalah ISO 630-3: djo. Hal ini karena, pada ketika penggolongan, Jangkang ditulis: Djongkakng. Sedemikian rupa, sehingga disingkat: Djo.

Jadi, ada berbagai sebutan untuk Dayak Jangkang. Bisa: Jangkang, Jongkakng, Djongkang, Djongkakng. Tinggal kita sepakati yang baku: Jangkang. Akan tetapi, sebagai penggolongan yang baku di aras antar-bangsa, dan di kalangan kami –para etnolog– biasa dengan ISO 630-3: djo, sebab telah menjadi kesepakatan para ilmuwan. *)

Narasi Dayak Jangkang dapat ditemukan di The Joshua Project. Ada pula di Wikipedia. Semuanya ditulis orang dalam. Silakan kunjungi.  https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Jangkang

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply