Jas merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah!
Kalimat sarat hikmat kebijaksanaan ini, muncul dari tunggal Bung Hatta, sebagai proklamator sekaligus bapak bangsa, Bung Karno. Tak nyaman hati ini mengulas Bung Karno, sebagai penulis (sampai hari ini 3 serial tulisan), tanpa juga mengulas dwi-tunggalnya: Bung Hatta.
Lha wong lembaran uang kertas warna merah Rp100.000 gambar mereka berdua, sebagai dwi-tunggal. Juga nama bandara internasional di Tangerang, Banten. Masa iya, tulisan di Web ini tidak menampilkan mereka berdua? Bisa kuwalat jika tidak!
Secara pribadi, saya tak mengenal langsung Bung Hatta. Namun, ketika bekerja di PT Grasindo, sebuah badan penerbitan buku asuhan Jakob Oetama, saya berkesempatan bertemu dan bersahabat langsung dengan dua putri kandungnya: Halida Hatta dan Mutia Hatta. Dengan menantunya yang cerdas, Prof. Sri Edy Swasono kenal begitu saja. Pemikiran beliau yang sangat saya kenal, sebenarnya. Melalui orasi ilmiah dan buku tipisnya tentang Bung Hatta.
Sejarah, menurut Cicero, terdapat 5 dimensi. Jika dirangkum, historia docet –sejarah mengajar. Siapa yang tidak belajar dari sejarah, akan dikutuk oleh sejarah itu sendiri!
Dalam konteks ini, saya mengenang apa yang baik dari Pak Harto, Presiden RI ke-2. Pada 16 Agustus 1989, 44 tahun pasca Indonesia Merdeka, Soeharto sebagai presiden menegaskan perlunya pembangunan nasional Indonesia BERWAWASAN SEJARAH.
Sangat tajam. Kritis. Lagi mendasar apa yang Pak Harto tegaskan sekaligus gariskan.
Bung Hatta telah selalu menjadi pengawal hati nurani rakyat dan bangsa Indonesia – Prof. Sri Edi Swasono.
Saat ini misalnya. Banyak dari pembangunan kita melupakan, bahkan keluar dari sejarah dan jiwa perjuangan para founding fathers. Sebut saja, salah satunya, bagaimana Koperasi yang digagas Bung Hatta, kemudian masuk dalam Pasal 33 UUD 1945, hari ini seperti dilupakan bahkan ditinggalkan. Basis ekonomi kita adalah: kapitalistik –meminjam pernyataan Rizal Ramli.
Bahkan, koperasi –seperti Credit Union– sedang dalam upaya dikebiri. Berusaha dikelola secara kapitalistik oleh bukan pemiliknya, melainkan oleh otoritas negeri ini.
Basis ekonomi kerakyatan kita, sedang dalam bahaya. Vivere pericoloso menda! SOS!
Apa pembangunan berwawasan sejarah itu? Ya, kita kembali ke Mohammad Hatta.
Prof. Sri Edi Swasono sebagai ahli dan pengamat, pada Annual Memorial Lecture Bung Hatta II, 14 Maret 1990, memperingati 10 tahun wafatnya Bung Hatta menyatakan, “Melalui wawasan sejarah itu akan tampak, bagaimana Bung Hatta telah selalu menjadi pengawal hati nurani rakyat dan bangsa Indonesia”.
Kita bersetuju dengan Bung Sri Edi. Bukan karena ia menantu Bung Hatta, melainkan karena apa yang dikatakannya: benar adanya.