Tersiar kabar burung. Presiden Jokowi berkenan datang di acara yang dihelat Pasukan Merah, TBBR, dengan sang Panglimanya: Jilah.
Jika benar kabar itu. Sungguh luar biasa. Tentu, ini faktor sang panglima. Dan pasukan merah, yang luar biasa. Suatu perhelatan akbar, yang diberi nama “Bahaump Bide Bahana”. Atau dalam khasanah Indonesianya: Temu Akbar Pasukan Merah TBBR. Sedianya dilangsungkan di Pontianak, Kalimantan Barat pada Selasa 29 November 2022.
Ada apa? Atau faktor apa yang mendorong Presiden RI datang ke acara, yang sedianya digelar di Pontianak dalam waktu dekat ini? That’s a question. Bisa jadi, terkait dengan peta kekuatan gerakan (moral dan sosial) pasukan merah ini. Berbagai aksinya, di negeri ini. Membela kaum lemah dan terpinggirkan, sudah jadi konsumsi media. Ini berita biasa.
Namun, pandangan Sang Panglima tentang Ibu Kota Negara (IKN), yang bisa jadi “cukup berbeda”, barangkali ini yang jadi magnit Jokowi bertemu. Mungkin juga ingin berdiskusi. Dan mendengar langsung, tanpa media dan perantara. Apa yang jadi isi hati. Sekaligus, kerisauan PJ ihwal IKN.
Siapa Panglima Jilah? Sosok yang meggemparkan dalam berbagai peristiwa penting di bumi Borneo?
Lahir di desa Sambora, Kecamatan Toho, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Tepat hari Jumat. Tanggal 19 Agustus 1980, kepadanya diberi nama “Agustinus”. Kemudian hari, ia dikenal sebagai Pangalangok Jilah atau Panglima Jilah.
Sering dipanggil, dan dikenal dengan sebutan “PJ” singkatan dari Pangalangok Jilah. Disapa PJ karena banyak orang sulit mengucapkan kata “Pangalangok Jilah”.
Banyak perjuangannya untuk suku, bangsa dan negara. Misalnya, pembebasan enam peladang di kabupaten Sintang. Lalu ada aksi massa di mana petani plasma menuntut haknya kepada koorporasi PT. PI di wilayah kecamatan Ngabang, kabupaten Landak. Selain itu, Jilah juga berperan dalam perjuangan masyarakat adat Kinipan, Kalimantan Tengah.
Siapa yang peduli pada masalah dan nasib sukubangsanya? Tidak ada! Kecuali sukubangsa itu sendiri! – PJ.
Bagaimana sosoknya sehari-hari? Bagaimana kisah ia jadi panglima? Sedemikian rupa, sehingga menginspirasi dan jadi idola banyak orang, utamanya kaum milenial di bumi Borneo dengan ribuan pengikut yang tergabung dalam pasukan merah?
Panglima Jilah turut memberi pandangan, pemikiran, dan harapan-harapan terkait pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta, pulau Jawa, ke Paser Penajam pulau Kalimantan.
“Telah selesai. Tinggal implementasi. Presiden RI Joko Widodo, atau populer dengan Jokowi, telah mengundangkan secara resmi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).”
Apa sebenarnya yang menjadi pangkal kerisauan dari Panglima Jilah terkait IKN? Apakah karena dia tidak dilibatkan langsung di dalam proses pemindahan ibu kota negara itu? Bukan! Apakah karena dia tidak menerima langsung hasil-hasil pembangunan, misalnya dia memiliki proyek di sana? Tidak! Apakah karena dia tidak menerima keuntungan dari melonjaknya harga tanah? Bukan! Apakah karena dia tidak diikutsertakan menjadi pagar sosial pengawalan pengamanan di sana? Tidak juga!
Jadi, apa? Apa gerangan yang menyebabkan Panglima Jilah merasa risau di sudut sudut hatinya sana? Mengapa ia menyimpan resah di relung-relung terdalam palung jiwanya atas ekses pemindahan IKN?
Sekali lagi, manakala sesuai dengan tujuannya, sesuai dengan esensinya, sesuai dengan peruntukannya, sesuai dengan pelaksanaannya; maka pemindahan ibu kota negara negara tidak ada masalah, bahkan sangat baik sangat positif. Hal ini tidak disangkal sama sekali, bahkan didukung penuh. Akan tetapi, siapakah atau pihak manakah yang dapat memastikan pelaksanaan IKN berbanding lurus dengan tujuannya?
Di situlah kerisauan mulai muncul. Adakah, atau siapakah, yang secara konsisten, berkanjang, tanpa lelah terus-menerus mengawal pelaksanaan pemindahan ibu kota negara sesuai dengan tujuan dan esensinya? Apabila hal ini dilaksanakan secara konsisten, maka “Welcome IKN!” Bahkan kita, sebagai penduduk asli Kalimantan, bersukacita dengan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan ini.
Kerisauan yang pertama adalah terkait dengan eksistensi penduduk asli Kalimantan dengan alam Kalimantan yang menjadi di bagian hidupnya atau staff of life. Bagi penduduk lokal, hutan dengan segala habitatnya dan segala biotanya, adalah kebersatuan.
Kedua, panglima juga risau akan hal ini.
Panglima Jilah mengkhawatirkan, mencemaskan, mengenai alam yang semakin rusak, deforestasi, akan mengancam kehidupan penduduk asli Kalimantan ke depan. Hal ini bukanlah kekhawatiran yang berlebihan. Diimbuhi oleh kasus-kasus terakhir para peladang dikriminalkan dan diseret ke meja hijau gara-gara praktik tradisi peladangan ulir balik yang membakar lahan ladang dari masa ke masa, dituding sebagai praktik yang tidak arif. Sedemikian rupa, sehingga dapat berbeda ada dilihat dari aspek hukum.
Panglima Jilah sangat mencemaskan peristiwa semacam ini terjadi mengingat bilangannya kian bertambah banyak dari hari ke hari. Jika penduduk lokal yang lemah dan nirmodal, serta tidak ada pembela itu vis a vis kekuatan dan perusahaan besar dengan jaringan yang menggurita:
Siapakah orang di belakang yang membela mereka?
Tak ada. Tak ada! Hanya Panglima Jilah saja yang berani dan sudi.
Ingin tahu semua tentang Panglima Jilah? Baca buku ini! Telah tersedia pula edisi digitalnya: e-book.