Latar geografi, sosial, budaya serta keluarga. Semua itu disebut “inter-teks”. Atau realitas, yang saling kait. Sedemikian rupa, di dalam membangun pemahaman menyeluruh mengenai sosok, yang dituliskan biografinya. Mengapa? Itulah konteks, kon (bersama); teks (realitas, konsep, fakta, data).
Ini contoh. Bagaimana tokoh-sentral (Tjhai Chui Mie) ada dalam konteks. Singkawang dan Hakka sebagai latar sosial budaya serta keluarganya.
Orang Hakka menyebut kota yang dikelilingi pegunungan dan sungai ini dengan “San Khew Jong”. Arti harfiahnya: suatu kawasan dengan mata air mengalir dari gunung sampai laut.
Sekian lama hidup dan tinggal di San Khew Jong (Singkawang dalam bahasa Hakka), orang-orang Hakka banyak yang tak tahu lagi asal usul moyangnya. Kini generasi mudanya rata-rata merasa Singkawang adalah tanah air leluhurnya. Maka tak heran, denyut nadi kehidupan di Singkawang adalah pancaran wajah sebuah Chinese Town dengan warna lokal.
Hasil penelusuran interteks, menemukan etimologi sekaligus etiologi kata “Sambas”. San Khew Jong (Singkawang) awal mulanya adalah kampung kecil, bagian dari wilayah kesultanan Sambas. Adapun Sambas, dari dialek Hakka (Khek) setempat, yakni Sam = tiga dan Bas = Suku, mengacu ke tiga suku utama yang hidup dan bermukim di wilayah itu, yaki: Melayu, Cina, dan Dayak.
Dari sisi geografi, Singkawang terletak di wilayah khatulistiwa dengan koordinat di antara 0°44’55,85” – 1°01’21,51”LS 108°051’47,6”-109°010’19”BT. Adapun luas wilayahnya adalah 504 km². Ada pula sealir sungai yang melintas kota, yakni Sungai Singkawang. Dalam bahasa setempat, Hakka, sungai disebut keu. Dahulu kala, sungai mengalir adalah tempat mandi bahkan MCK alami bagi setiap warga. Anehnya, meski mandi di kali yang airnya tidak begitu jernih, tidak membuat kulit amoi-amoi menjadi kusam. Tetap saja putih, bersih, kuning langsat. Dan tetap anciang (cantik).
dari buku ini, halaman 2 – 5.