Cukup Tiga Paragraf

“Dalam diri setiap orang ternyata ada kerinduan untuk menulis, untuk menyalurkan gagasan, pikiran-pikiran kritis, tetapi tidak punya waktu atau menulis panjang,” demikian ungkap Tengsoe Tjahjono suatu hari kepada saya. Awal pertemuan kami ketika saya mengikuti Asian Publishers Fellowship Program in Seoul 2014. Nama Tengsoe saya kantongi dari rujukan seorang penyair asal Bali, Oka Rusmini. Tengsoe saat itu tengah menjadi dosen tamu untuk Hankuk University of Foreign Studies di Korea Selatan.

Tengsoe Tjahjono, seorang sastrawan, penyair dari Kota Malang dan dosen di Universitas Negeri Surabaya. Jelas, sudah tak berbilang lagi karya-karya puisinya. Tengsoe juga dikenal sebagai penggagas cerita pendek tiga paragraf atau populer disebut pentigraf–istilah ini original besutannya.

Eksperimen ia ciptakan pada 1983 dan ia publikasikan lewat koran lokal Suara Indonesia di Malang. Cek ombak, istilahnya. Mengingat cerita pendek yang pendek atau short short story memang bukan sesuatu yang baru. Cerita dengan niat seperti ini sudah banyak bermunculan dengan berbagai nama, entah cerita mini, flash fiction, atau cerita pendek sekali (cerpenseli).

Tetapi, dalam kacamata Tengsoe, cerita tersebut kadang-kadang masih terasa panjang–kurang mengekspos “jatidiri” pendeknya di mana, mininya di mana. Pun, media sosial twitter yang menyediakan format cerita pendek hanya dalam 140 karakter, justru terlalu pendek untuk paripurnanya sebuah narasi. Kurang maksimal.

Maka, ia ambil jalan tengahnya, ia ciptakan cerita pendek tiga paragraf (pentigraf), sebuah format cerita yang sangat singkat, tetapi tanpa mengorbankan elemen-elemen narasi yang seharusnya ada: alur, tokoh, tema, dan latar.

Bisakah? Riset Tengsoe mengatakan demikian. Pada galibnya, semua cerita selalu ada awal, konflik (isi), dan akhir. Pola inilah yang lalu ia main-mainkan: akhir dulu, lalu awal, baru diikuti konfliknya. Atau, masuk melalui konflik, lalu akhir, baru ke awal.

Mudah bukan? Eitss… tunggu dulu. Sekilas tampaknya gampang. Namun, pentigraf bukan berarti cerpen yang diringkas menjadi tiga paragraf. Pentigraf tetaplah pentigraf. Konflik cerita benar-benar hanya selesai dalam format tiga paragraf. Tidak lebih, tidak bersambung. Yang sering terjadi banyak penulis terjebak dengan sekadar menulis curahan hati (curhat), puisi, monolog, atau deskripsi tanpa pengaliran dan tanpa konflik.

Ingin mencoba menulis pentigraf? Tengsoe Tjahjono Sang Bapak Pentigraf punya formula begini: (1) terdiri atas tiga paragraf, tiap paragraf hanya mengandung satu kalimat topik, dan maksimal total 210 kata; (2) pentigraf tetaplah sebuah cerita dengan elemen-elemen narasi di dalamnya; (3) hindari dialog, cukup satu kalimat langsung dalam tiap paragraf–tidak ada justru lebih baik.

Jadi, camkan saja formula Tengsoe itu. Jangan ikuti yang lain.

Konon, pentigraf sedang menjadi tren di dunia penulisan. Tengsoe pun sempat membangun “Kampung Pentigraf Indonesia” di media sosial facebook dan dihuni oleh ribuan pentigrafer. Sejumlah kitab pentigraf bersama juga telah diterbitan. Siapa saja yang tertarik boleh bergabung di sana. Welcome!

Masih penasaran dengan pentigraf dan Tengsoe Tjahjono? Siapkan secangkir kopi atau teh, seruput pelan-pelan sambil mendengarkan kedua podcast berikut ini.

https://open.spotify.com/episode/0z7l8WZ3hWe3Op6Ve31RId

https://open.spotify.com/episode/2I6PCaayu8gzZMBaS4pQqM

Photo by picjumbo.com on Pexels.com

Share your love
Avatar photo
Ariobimo Nusantara
Articles: 6

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply