Dari Lembah ke Coolibah, yang memenangkan Hadiah Majlis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 1999, karya Titis Basino cukup untuk dikenang. Setidak-tidaknya oleh saya, sebagai aquisition editor naskah novel ini, tatkala bekerja di PT Grasindo, sala satu anak perusahaan di lingkungan Kompas-Gramedia.
Karena “terlibat” dari awal, sejak proses kreatif, saya jadi mafhum di mana Coolibah. Dan siapa pemilih villa dan sebilangan kebun serta halaman di daerah Puncak, turun lembah, dekat Cianjur itu.
Baca Munaldus, alias “Liu Ban Fo”, Sastrawan Dayak Prolifik nan Produktif
Saya pernah beberapa kal ke Coolobah diajak Titis Basiono yang tajir. Naik mobil mewahnya, pada ketika itu, Mer4cedes Bensz, disopiri khusus. Di jalan tol, laju sekali, namun tanpa terasa. Tahu tahu dari Jakarta sudah tiba saja dalam beberapa tempo ke Coolibah.
Di jalan, kadang, kami berhenti untuk menikmati kulinetr. Ada ubi cilembu. Ada karedok. Ada batagor. Juga yang tak pernah alfa, kesukaan Titis Basino: sekoteng. Sehabis menikmatinya, badan terasa segar benar. Maklum, ketika itu hawa Puncak dingin.
Bukan sekadar mengikuti jejak pengarang
Tidak hanya sekadar mengikuti jejak pengarang, tetapi juga menemukan keindahan di setiap detil yang ia gambarkan. Setiap pohon, setiap sudut Coolibah, menjadi hidup di depan mata saya seperti sebuah lukisan yang hidup. Dan di balik keindahan alam, ada cerita-cerita yang tersimpan, menunggu untuk diungkapkan oleh halaman-halaman yang kita telusuri.
Baca Rumah Sastra Korrie Layun Rampan
Dari Lembah ke Coolibah bukan hanya tentang perjalanan fisik. Lebih dari itu, karya sastra ini mengabadikan kisah perjalanan jiwa yang membawa kita lebih dekat pada esensi kehidupan. Di antara gemuruh alam dan aroma kopi, kita menemukan diri kita terhubung dengan alam dan diri kita sendiri. Dan pada akhirnya, Coolibah bukan hanya destinasi, tetapi juga refleksi dari perjalanan kita sendiri menuju kedamaian dan pemahaman.
Siapa pengarang?
Titis Basino P.I lahir pada 17 Januari 1939 di Magelang (Jawa Tengah). Ia seorang (mantan) pramugari sebuah maskapai terkemuka di eranya, ketika masih muda.
Setelah menyelesaikan Sarjana Muda Sastera di jurusan Sastera Indonesia, Fakultas Sastera Universitas Indonesia (1962), beliau berkerja sebagai pramugari udara GIA (1963-1966). Cerpennya “Dia”, “Hotel”, dan “Suatu Keputusan”, memperolehi Hadiah Hiburan majalah sastera tahun 1963. Novelnya: Pelabuhan Hati (1978), Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983), dan Bukan Rumahku (1986).
Setelah sekian lama “tenggelam”, Titis Basino hadir lagi dalam kancah dunia sastera Indonesia dengan trilogi novel terbarunya Dari Lembah ke Coolibah (1997), Welas Asih Merengkuh Tajali (1997), dan Menyucikan Perselingkuhan (1998). Selain itu, beliau juga menghasilkan novel Aku Supiah Istri Hadiah (1998), Terjalnya Gunung Batu (1998), dan Aku Kendalikan Air dan Angin (1998).
Dari satu menjadi: trilogi
ada 3 novel yang sebenarnya menjadi satu untuk edisi Mastera. Selain Dari Lembah ke Coolibah (halaman 1 – 168) adalah novel Welas Asih Merengkuh Tajali (halaman 169-282) dan Menyucikan Perselingkuhan (halaman 245-465).
Jika bukan “terlibat” dari awal, niscaya saya tidak pernah tahu riwayat trilogi novel Titis yang memenangkan Hasiah Mastera ini.
Laporan Panel Penilai Hadiah Sastera MASTERA 1999
” ….. Ketiga-tiga novel dalam trilogi ini merupakan perjalanan falsafah seorang wanita yang disampaikan secara bersahaja dengan bahasa yang cukup baik yang boleh membawa pembaca untuk terus membaca dari awal hingga akhir. Banyak unsur falsafah yang digambarkan oleh penulis secara bersahaja dengan selitan unsur lucu yang menyenangkan, tetapi dengan tujuan bukan untuk mengajar melainkan untuk diselami secara halus. Yang lebih penting ialah penampilan watak seorang wanita yang sudah lanjut usianya dari segi psikologi dengan perjalanan sosial dan kerohaniannya yang akhirnya dilihat dalam bentuk untaian-untaian falsafah. Dalam lingkungan usianya 50-an, jarang-jarang sekali wanita seperti ini menampilkan dirinya sebagai gadis genit dan penggoda. Yang diungkap oleh penulis ialah batas-b?tas agama (Islam) yang biasa tetapi akhirnya penyelewengan itu disucikan. Tema trilogi novel ini tidak konvensional. Persoalannya digarap secara terbaik dan diungkapkan secara halus, dan pengarang cuba menyelami jiwa wanita secara menarik ….. ”
Demikianlah Laporan Panel Penilai Hadiah Sastera MASTERA 1999. *)