Empat tahun silam saya pernah mempertanyakan istilah yang dipakai oleh grup intelektual muda di Kalimantan Tengah, yaitu ‘Dayak Kapuas.’ Saya dibuat bingung oleh penyebutan mereka, yang dimaksud Dayak Kapuas itu kelompok apa dan dari Kapuas mana? Apakah Batang Biaju Kecil di Kalimantan Tengah atau Batang Lawai di Kalimantan Barat?
Sekitar abad ke-15 (zaman raja-raja), Kapuas Murung di Kalimantan Tengah dikenal sebagai Batang Biaju Kecil dan Kapuas Kalimantan Barat adalah Batang Lawai. Istilah ini bisa ditemukan dalam Hikayat Banjar serta naskah penjelajah Portugis bernama Tom Pires yang membahas Tanjungpura, Labai Lawai, dst.
Dalam konteks Indonesia dan Borneo, tatkala kita menyebut sungai Kapuas, maka pikiran orang tertuju kepada Batang Lawai. Mengapa? Sungai sepanjang 1.143 km yang melintasi provinsi Kalimantan Barat itu strategis. Apalagi Kapuas Lawai menyandang sebagai sungai terpanjang di Indonesia dan melintasi Kota Pontianak, Kabupaten Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi, Kapuas dan digadang-gadangkan menjadi Provinsi Baru di Kalimantan. Kapuas Lawai pun sebagai jalur penting di zaman Majapahit dan Demak, yaitu oleh keberadaan Bandar Labai Lawai.
Sungai Kapuas Lawai memiliki banyak anak sungai, sebut saja; Tayan, Sekayam, Kedukul, Sekadau, Belitang, Melawi, Ketungau. Jadi, orang-orang yang mendiami sungai itu (Tayan, Sekayam, Sekadau, Belitang, Melawi, Ketungau) adalah orang Batang Lawai.
Kerajaan penghuni Batang Lawai yang dikenal pada zaman Hikayat Banjar ialah kerajaan Sanggau, kerajaan Sintang, kerajaan Sekadau. Kerajaan ini dipimpin penembahan, yang membayar pajak kepada Sultan di Banjarmasin. Bahkan ketika Pangeran Samudera berperang melawan Pangeran Temenggung di Bandar Marabahan dan Sangiang Gantung awal 1500-an, orang Batang Lawai menjadi laskar Pangeran Samudera (bersama-sama orang Biaju). Kekalahan Daha yang dipimpin Pangeran Temenggung melahirkan Kerajaan Banjarmasin. Jadi, munculnya kerajaan Banjarmasin tahun 1526 juga karena peran serta orang Biaju (Kapuas dan Kahayan) dan orang Batang Lawai (Kapuas Kalimantan Barat). Perihal ini terlukis apik dalam bait-bait Hikayat Banjar.
Di zaman VOC, berdirilah kerajaan Pontianak di muara Kapuas. Pendiri kerajaan Pontianak sesungguhnya pedagang yang diminta keluar dari Bandar Banjarmasin, karena pedagang itu berseteru dengan pelaut Inggris. Di persimpangan sungai Kapuas dan Landak, saudagar ini mendirikan keraton. Dugaannya, keraton Pontianak satu-satunya kerajaan baru yang tidak mengetahui koloni politik sejumlah kerajaan yang pernah ditaklukan Majapahit dan Singasari.
Kerajaan yang berkoloni itu memiliki adat, mengakui dua pemimpin Borneo yang bergelar Sultan, yaitu sultan Banjar dan sultan Brunei. Di luar Banjar dan Brunei, semua raja bergelar penembahan atau penembahan ratu. Kehadiran keraton baru di kawasan Pontianak dengan gelar Sultan di era berbagai kerajaan nusantara hampir runtuh (sudah masuk Belanda) tentu saja mengubah adat yang sudah berlangsung sejak lama.
Jadi, dalam konteks Batang Lawai atau Kalimantan Barat, yang dimaksud Dayak Kapuas adalah Dayak di pinggiran sungai Kapuas, penghuni sungai Tayan, penghuni sungai Sekayam, penghuni sungai Kedukul, penghuni sungai Belitang, penghuni sungai Sekadau, penghuni sungai Ketungau, penghuni sungai Melawi. Mengapa disebut orang Kapuas? Karena untuk bisa mencapai laut, orang-orang itu harus berlayar melewati sungai Kapuas. Interaksi mereka dengan orang luar pulau bergantung 100 persen dengan fungsi sungai Kapuas.
Di pinggiran Kapuas adalah kelompok Dayak Senganan, Dayak Benawas, Dayak Pompangk, Dayak Desa. Di Sungai Sekadau ada Ketungau Tesaek, Jawatn, dsb. Di sungai Belitang ada Dayak Mualang. Di Sungai Melawi ada beberapa kelompok Ot Danum dan Seberuang (Ibanik). Di sungai Ketungau umumnya dihuni anak-anak suku kelompok Iban (Bugau, Demam, dsb). Aliran sungai Kapuas ke hulu muara Melawi ada kelompok Dayak Kantuk, Iban, dsb.
Jadi Dayak Kapuas di Kalimantan Barat sangatlah banyak. Mereka dikelompokkan ke grup Bidayuh dan Ibanik. Selain ada kerajaan Sanggau, Sekadau, Sintang, masih ada kerajaan kecil seperti Tayan, Belitang dan Melawi.
Bagaimana dengan Kalimantan Tengah? Sungai Kapuas di Kalimantan Tengah dikenal dengan Kapuas Murung. Sesungguhnya hanya 610 kilometer panjangnya. Daerah yang selalu bergejolak, baik di zaman kayau dan asang maupun di kala Perang Banjar. Dulu dikenal sebagai Batang Biaju Kecil. Betang Biaju Besar adalah sungai Kahayan.
Pada zaman Kolonial, kawasan Batang Biaju (Kapuas dan Kahayan) disebut Dajaklandeen (kawasan Dayak). Sesuai dengan Staatblad tahun 1898 no. 178 bahwa Afdeeling Dajaklandeen dengan ibu kota Kwala Kapoeas terdiri dari dua distrik, yaitu Districk Groote Dajak (Kahayan) dan Districk Kleine Dajak (Kapuas Murung).
Kawasan Groote Dajak terbagi ke dalam lima onderdistrik, yaitu Beneden Kahajan (Kahayan Kuala), Mideen Kahajan (Kahayan Tengah), Boven Kahajan (Kahayan Hulu), Roengan (sungai Rungan) dan Manoehing (sungai Manuhing). Kleine Dajak dibagi menjadi tiga onderdistrik, yaitu Beneden Kapoeas (Kapuas Kuala), Mideen Kapoeas (Kapuas Tengah) dan Boven Kapuas (Kapuas Hulu).
Siapakah penghuni sungai Kapuas Kalimantan Tengah? Jika mengacu ke Hikayat Banjar, sungai ini dihuni orang Biaju. Schwaner adalah orang Eropa yang pertama kali mendata penghuni sungai Kapuas pada tahun 1843-1847. Dalam catatan Schwaner hanya dua kelompok Dayak penghuni Kapuas Murung, yaitu Ngaju di bagian hilir dan Ot Danum di bagian hulu.
Apakah Ngaju berbeda dengan Biaju? Sebenarnya sama saja. Tetapi, secara politis ada kelompok yang nyaman disebut Ngaju dan ada yang tidak nyaman. Dayak Bakumpai adalah kelimpok Dayak yang mengidentifikasikan diri sebagai Biaju, namun agak sulit menyebut diri Ngaju. Serupa Bakumpai ada Dayak Sampit. Jadi, orang Ngaju pastilah boleh disebut Biaju, namun orang Biaju belum tentu nyaman disebut Ngaju.
Secara historis dan geneologis, kelompok Dayak Bakumpai, Dayak Sampit, Dayak Ngaju (Kapuas, Kahayan), Katingan, Mantaya berasal dari kelompok yang sama. Klan ini seringkali disebut sebagai utus Raja Bunu. Raja Bunu adalah manusia yang dipercaya menurunkan kelompok Biaju dan Ot Danum. Raja Bunu berlabuh di Bukit Samatuan (hulu Kahayan), dengan Palangka Bulau Lambayung Nyahu.
Secara umum, ciri bahasa yang digunakan orang sungai Kapuas berdekatan dengan orang sungai Kahayan. Menurut Tjilik Riwut, dialek Bara Dia yang merupakan ciri Ngaju Kapuas digunakan di sungai Kapuas, Kuala Kapuas, Sebangau Tengah dan Kahayan Hilir (Riwut, 2007; 65).
Penutupnya, jika merujuk ke kenyataan ini, siapa yang dimaksud dengan Dayak Kapuas? Kelompok Dayak Kapuas terdiri dari kelompok Iban dan Bidayuh (Kalbar) dan kelompok Biaju dan Ot Danum (Kalimantan Tengah). DAMIANUS SIYOK