DAYAK SEBAGAI NAMA KELOMPOK BESAR

Catatan Ringan istilah ‘Melayu dan Pedalaman’ atau ‘Pesisir dan Pedalaman’ dalam berbagai festival, pertunjukan terbuka dan kegiatan kesenian di Kalimantan Tengah

Istilah ‘Melayu dan Pedalaman’ ada dalam bahasan saya kemarin. Selanjutnya tertuang dalam pendapat yang dimuat www.bibliopedia.id dengan judul MENGULIK ISTILAH PEDALAMAN DI TANAH DAYAK.

Kembali ke perkara diksi, apa menariknya membahas diksi ‘Melayu dan Pedalaman’ atau ‘Pesisir dan Pedalaman’ dalam penamaan tarian dalam pertunjukkan besar di Kalimantan Tengah, entah itu festival, konser ataupun pertunjukan seni lainnya. Sama sekali tidak menarik! Hai Bung, Non, itu kata siapa? Pertunjukan itu ditonton oleh banyak orang, dibagikan ke berbagai media sosial dan tentu saja menciptakan sejumlah pendapat dan tafsir.

Apa itu DIKSI? Kamus Besar Bahasa Indonesia menyabarkan diksi sebagai pilihan kata yang tepat dalam mengungkapkan sesuatu untuk memperoleh efek. Diksi ‘pesisir dan pedalaman’ untuk orang Dayak yang membaca dokumen sejarah, memiliki landasan literasi yang mumpuni akan memberikan efek tersinggung.

Kita kembali ke pertunjukan. Yang menonton pertunjukan itu ada orang Bule, Jawa, Cina, Madura, Banjar, Padang, Bugis, NTT, dsb. Dari ras malayik, negroid, mongoloid, kaukasoid, dsb. Penonton yang tidak belajar sejarah Dayak dan Melayu akan menerima mentah-mentah sebuah nama dari pertunjukan yang anda tampilkan. Apakah itu tidak membuat celaka?

Kita tidak membahas keindahan gerakan dan harmoni antara music dan tarian semata. Tarian etnik ini bicara identitas. Para penari mewakili emosi suatu kelompok.

Kita kembali ke nama. Setiap nama punya sejarah, setiap sejarah punya pelaku dan setiap pelaku ingin disebut sesuai dengan nama yang sebenarnya. Orang Dayak Ngaju, biasanya menyematkan nama family (keluarga) di belakang namanya, orang Batak menyematkan marga dan orang Iban menyematkan nama orang tua, orang Amarika menggunakan nama ayah di belakang nama ayah (Will Smith, Buss Junior, dsb). Bahkan, sebuah tempat (sungai, danau, gunung) memiliki nama yang jelas agar diketahui dan bisa didokumentasikan abadi.

Demikian juga tarian, musik, nyanyian harus punya nama atau judul. Tidak bisa diberi nama generik, misalnya tarian Dayak atau tarian Melayu. Baik Dayak maupun Melayu punya sejarah dan nama. Apakah tarian dari masyarakat Dayak Ngaju, Kadorih, Delang, Dusun, Maanyan, Iban, Kantuk, Kanayatn harus jelas.  Jika Melayu, tarian itu dari Melayu mana, Kotawaringin, Pontianak, Sambas, Sanggau, Sekadau atau dari Johor, Malaka, Minangkabau? Melayu Borneo itu berbeda sejarah dengan Melayu Johor ataupun Malaka. Melayu Pontianak berbeda sejarah dengan Melayu Sanggau. Melayu Kotawaringin berbeda sejarah dengan Melayu Sambas. Itulah sebabnya penamaan suatu benda, hasil kreasi harus berlandaskan sejarah dan literasi yang kuat.

Diksi soal tarian ‘pesisir dan pedalaman’ juga rancu. Masyarakat pesisir itu siapa dan masyarakat pedalaman itu siapa. Orang Biaju (Ngaju, Bakumpai) bermukim dari pesisir sampai pedalaman. Orang Melayu Borneo, bermukim dari pesisir sampai pedalaman. Jadi, diksi ini harus dikoreksi. Dan jangan lupa, pada masa silam, istilah pesisir itu bermakna superior (penuh dengan keunggulan) dan pedalaman itu inferior (bermutu rendah). 

Jika hanya disebutkan Dayak, tanpa embel-embel misalnya Dayak Ngaju, Dayak Maanyan, maka itu menyangkut identitas generik kaum ‘inlandshe van Borneo’ atau orang asli Borneo. Jadi, semua harus diberi nama atau judul dengan tuntas dan jelas. Jika tarian itu produk kreasi sanggar atau seseorang, tentu lebih mudah memberikan nama. Jangan dibuat rancu.

Untuk kawasan Kalimantan Tengah, apabila membahas soal sejarah nama Dayak dan Melayu, baiklah para sejarawan, budayawan, pegiat literasi, jurnalis membaca dokumen Perjanjian Sultan Banjar dan Belanda dari 1635 – 1860 (ada banyak perjanjian). Pada masa Sultan Tamjidullah ada penjelasan, siapa Dayak, siapa Melayu, Siapa Banjar. Dipertegas lagi semasa Sultan Sulaiman, berlanjut ke Sultan Adam. Untuk penamaan lokal, silakan membaca Hikayat Banjar. Untuk mengetahui siapa itu Biaju dan Dayak lain, buka kembali Hikayat Banjar, silakan membaca tulisan Schwaner, Prichard ataupun Schareer, Harderland, dsb. Itu semua dokumen tua yang menjadi rujukan para peneliti dan penulis Barat ataupun colonial. Kamus tua yang memberikan definisi soal Dayak karya John Crawfurd bisa menjadi rujukan. Kamus bernama Malay – English Dictionary and Grammar ini terbit tahun 1843.

Buku yang membahas Biaju, Ngaju, Barito atau kawasan Tanah Dayak sangat banyak. Baik berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Indonesia, Melayu ataupun berbahasa Dayak. Jadi, sudah sangat cukup untuk menjadi acuan dalam menentukan nama-nama yang tuntas. Buku-buku tulisan orang Dayak sendiri bisa membaca karya Marko Mahin, Hergomenes Ugang, dsb.

Tulisan ini kembali mengulang istilah di luar ‘Melayu dan Pedalaman’ yaitu ‘Pesisi dan Pedalaman’. Jika rujukan untuk membuat istilah ‘pesisir dan pedalaman’ dari data colonial, maka pasti dari kata ‘beneden’ dan ‘boven’. Dalam konteks Kalimantan Tengah, itu tidak tepat. Jika anda membuka Landrukkerij Calender Batavia, maka anda akan tahu, orang Dayak itu tersebar dari pesisir sampai ke perhuluan. Untuk Kahayan (kawasan Kota Palangka Raya) tahun 1845 misalnya, Eerste hoofd der Beneden Kahajan itu Raden Singa Patie, Eerste hoofd der Midden Kahajan Tamanggung Soera Djaya dan Eerste hoofd der Boven Kahajan. Untuk lebih jelas, bisa membaca buku karya Schwaner yang berjudul  Borneo: beschrijving van het stroomgebeid van den Barito volume I dan II, di sana Schwaner menjelaskan kampung-kampung Dayak di Kalimantan Tengah. Saat Schwaner menjelajah pada era 1843 – 1847, hampir seluruh kawasan Kalimantan Tengah dihuni Dayak, kecuali Mendawai dan Sampit (Sampit dihuni Dayak dan Banjar, lihat Pijnapple 1854) dan Pangkalan Bun (ada keraton yang merupakan bagian dari kerajaan Banjarmasin).

Diksi yang tepat? Jika menggunakan istilah ‘Melayu’ maka di belakangnya pakailah ‘Dayak’. Jika menggunakan Melayu dan Pedalaman maka tafsiran dari diksi yang digunakan adalah ‘Melayu sebagai superior’ dan ‘Pedalaman sebagai inferior’. Jika diksi yang dipakai adalah ‘Pesisir dan Pedalaman’ jelaslah tafsirnyan ‘pesisir adalah kelompok superior’ dan ‘pedalaman kelompok inferior’. Mengacu saja ke nama yang jelas, Dayak dan Melayu dengan penegasan kawasan tempat tinggal dibelakangnya, misalknya Dayak Tamuan, Melayu Kotawaringin. Nama tadi sudah menjadi kesepakatan umum, meskipun harus ditelaah banyak lewat studi literasi, minimal diksi yang dipakai tidak membuat suatu kelompok merasa direndahkan atau ditinggikan.

Jadi, sebelum mengemas acara untuk Festival Isen Mulang, HUT Kota Palangka Raya dan HUT berbagai kabupaten di Kalimantan Tengah, baiklah Dinas Pariwisata dan Para Penyelenggara Acara (EO) menuntaskan istilah yang terlanjur menjadi pakem bertahun-tahun.

Damianus Siyok

 

Share your love
Avatar photo
Damianus Siyok
Articles: 20

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply