Olah pikir, filsafat sebenarnya tidak (mesti) mengerutkan dahi. Hal-hal sederhana, adalah awal pangkal berfilsafat.
Heran (thaumasia) adalah awal pangkal filsafat. Mengapa saya ada? Apa sebab siang berganti malam? Begitu seterusnya, sepanjang waktu? Adakah yang mengatur? Kalau ada, di mana ia berada?
Bertanya, dan bertanya, adalah juga awal filsafat. Dalam khasanah filsafat formal, bertanya hingga 5 lapis dan menemukan jawabannya ini, dikenal dengan Socratic Inquiry. Atau mautik.
Jadi, sebenarnya, filsafat adalah kegiatan setiap orang. Setiap manusia. Mengapa nasib saya begini? Mengapa tinggal di istana, bukan di gubuk bambu? Semua itu adalah olah-filsafat.
Primo vivere, deinde philosophari. Urusan perut dahulu, berfilsafat kemudian, setelah kenyang. Sebenarnya, tidak segitunya juga. Setiap orang, pasti berfilsafat. Ketika ia heran. Dan bertanya. Itu sudah berfilsafat.
Filsafat dalam bahasa kita, dari Ph dalam Yunani Φ (kapital) dan φ (huruf kecil) menjadi f (ef) dalam Indonesia. Jika P (pe) itu pi (π), sedangkan φ itu phi . Apalagi bukan psi (ψ) seperti dalam psi-kologi.
Jadi, penulisan Philosiphia yang benar: Filosofia, atau filsafat. Makna harfiahnya “cinta akan kebenaran.” Sebab manusia hanya cinta, atau mendekati saja pada kebenaran. Kebenaran yang sesungguhnya adalah Sang Maha Benar. Manusia hanya mendekati saja. Dalam konteks ini, ada pepatah “Scientia nostra, scientia tuae comparata, ignorantia” –St. Agustinus. “Pegetahuan manusia, dibandingMu, ya Tuhan, tak ada seujung kukunya.”
Muncul pertanyaan: apa itu keBENARan? Dalam suatu kesempatan narasumber seminar, saya memberi definisi: Kebenaran adalah kesesuaian antara indera (manusia) dengan objek yang diinderai.
Contoh: indera saya (lidah, rasa) menangkap bahwa gula itu manis. Warnanya putih. Dan memang betul bahwa objeknya demikian. Maka penginderaan/pengetahuan kita tentang objek itu: benar. Padahal, baru 2 saja sifat atau ciri gula yang kita inderai, yakni gula pasir, bukan gula aren/tebu. Belum ciri lain, misal: akan larut bila dimasukkan ke dalam air. Oleh sebab itu, dalam logika (salah satu cabang filsafat), makin banyak ciri suatu objek yang kita ketahui, makin sempit pengertian objek itu, makin terarah, hanya objek itu saja.
Dengan bahasa filsafat dapat dirumuskan: Semakin bertambah ISI term, makin berkurang LUASnya.
Misal ISI term sebagai berikut: substansi: berbadan, makan, minum, berindera, berbulu, berjenggot, berkuku genap, bertanduk, bergeronggang, memamah biak, hewan piaraan, dan makan rumput. Pasti sempit keLUASannya, terarah ke KAMBING, bukan manusia.
Contoh ini dapat diteruskan untuk kasus lain.
Hal yang paling sulit belajar fisafat adalah “harus” memahami pemikiran orang lain (filsuf) dengan mengosongkan pikiran diri sendiri, tanpa penolakan atau bersetuju. Di sini banyak kawan saya dahulu, ketika belajar filsafat formal, menjadi “gila” sungguhan. Atau pusing. Atau merasa sulit. Karena ia melawan, bukan mengikuti dan memahami aliran/ pemikiran yang bertentangan dengan pengetahuan dan keyakinannya.
Jadi, belajar fisafat syarat utamanya: mengosongkan diri. Mengosongkan gelas. Untuk menerima. Inilah yang tidak setiap orang bisa!
Filsafat kerap dianggap kegiatan yang hanya dilakukan para arif bijaksana. Olah pikir hampir selalu dihubungkan dengan para cerdik cendikia, kaum terpelajar, dan mereka yang punya waktu luang. Orang awam, atau rakyat kebanyakan, seolah-olah sama sekali tidak berfilsafat. Mereka dianggap kurang berpikir.
Hal itu bisa dimaklumi, terutama jika diungkit asal usul dan sejarah filsafat. Pada zaman Yunani kuna, kegiatan berfilsafat memang hanya dilakukan kaum elit tertentu.
Para ahli pikir (filsuf) saat itu menggunakan seluruh daya dan kemampuannya untuk mencoba menerangkan berbagai fenomena. Mereka heran akan gejala alam. Mereka bertanya-tanya mengenai asal usul segala sesuatu. Mereka juga menggugat apa yang oleh umum dianggap sebagai hakikat. Mereka merenungkan segala peristiwa. Lalu mencari tali-temali serta menyimpulkan.
Apa yang mereka lakukan sekilas tampak aneh. Orang awam, karena harus memenuhi kebutuhan faalnya sehari-hari mencari nafkah lahiriah, hampir tidak punya waktu melakukan seperti yang mereka lakukan. Karena itu, muncul istilah ”Primo vivere, deinde philosophari” (yang paling utama ialah urusan perut, berfilsafat kemudian, setelah kenyang).
Jika dicermati, istilah itu sarat dengan makna, dan menjelaskan mengenai adanya tingkat-tingkat pengetahuan. Sebagaimana diketahui, tingkatan pengetahuan yang terendah adalah pengetahuan yang diterima begitu saja tanpa pemikiran yang menimbulkan soal.
Pengetahuan ini tidak menghasilkan kepastian, hanya perkiraan. Namun, pengetahuan ini sudah cukup untuk rakyat kebanyakan. Selanjutnya, tingkatan menengah yang dicapai dengan jalan bukti (dialektis), namun masih belum menghasilkan.
Sementara tingkatan pengetahuan tertinggi, yakni orang yang melatih diri dalam filsafat. Ttingkatan pengetahuan ini terutama dipopulerkan filsuf Ibn Rush (1126-1198).
Terlepas dari tingkatan-tingkatan itu, yang sama dalam filsafat ialah kegiatan olah pikir manusia yang terarah pada upaya mencari sebab-musabab segala sesuatu yang paling hakiki.
Hal ini sesuai dengan definisi filsafat sebagai ”Scientia rerum per causas ultimas”. Namun, pengetahuan manusia ini hanyalah sebuah noktah kecil di hadapan Tuhan Yang Maha Luas (atau dewa pada zaman kelahiran filsafat di Yunani kuna).
Itu sebabnya, manusia yang berfilsafat tidak sebijaksana dewa. Hanya dewa (Tuhan) yang Maha Bijaksana. Manusia yang berfilsafat hanyalah mendekati kebijaksanaan Tuhan (dewa) dan cinta pada kebijaksanaan (philo = cinta; sophia = kebijaksanaan).
Dalam konteks ini, filsuf terkenal, St. Agustinus mengatakan, “Scientia nostra, scientia tuae comparata, ignorantia (St. Agustinus, Confess 11: 4,6). Pengetahuan manusia, di hadapan Tuhan, tak ada apa-apanya.
Meski demikian, pengetahuan manusia tetap banyak faedahnya –setidaknya bagi manusia itu sendiri. Pengetahuan menjadikan manusia makhluk sempurna di antara segenap makhluk.
Dengan pengetahuan, manusia dapat membedakan mana yang salah dan yang benar, yang baik dan yang buruk, dan yang terbatas dan tak terbatas. Dengan pengetahuan itu pula, manusia mempertanyakan pengetahuan yang telah ia ketahui. Maka muncullah filsafat ilmu yang disebut epietemologi.
Apakah epistemologi? Epistemologi ialah salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan. Menurut F. Heylighen (1993), “Epistemology is the branch of philosophy that studies knowledge. It attempts to answer the basic question: what distinguishes true (adequate) knowledge from false (inadequate) knowledge?”
Hari ini bangsa Indonesia baru dalam proses menuju masyarakat industri maju. Karena itu, masih cukup banyak yang berkutat dengan masalah perut, sehingga kegiatan berfilsafat dan mempertanyakan pengetahuan benar dan salah masih menjadi hal yang mahal.
Meski demikian, kita patut bangga bahwa hampir semua universitas di negeri kita memasukkan filsafat ilmu menjadi mata kuliah tersendiri.
Hal ini penting bukan saja karena sejak dini menyiapkan generasi muda berpikir kritis, tetapi lebih-lebih karena dengan mengajarkan filsafat ilmu, kalangan perguruan tinggi telah membentuk budaya ilmiah di seluruh kampus.
Filsafat terapan adalah setiap perkata yang menggunakan akal budi untuk hidup.
Setiap orang, siapa saja, yang sanggup “memanipulasi” akal budinya untuk hidup, dia sudah berfilsafat.
Sementara “filsafat mbulet” hanya sekadar bertanya, bertanya, dan sekali lagi: bertanya. Ketika pertanyaan bersua jawaban, sudah menjadi ilmu lain. Jawaban pertanyaan adalah pertanyaan lagi!
***